Wisata Rumah Hantu
Crossover : Westlife Vs
Supernatural
post on FB 31 Desember 2012
Note :
- Terilhami Novel Original
Supernatural “Nevermore – Horor Edgar Alan Poe” karya Keith R. A. De Candido,
dan sedikit meminjam deskripsi wilayah dan sejarah dari Novelnya.
- a bit plot of 'Asylum'
episode hehehhhehe - *sumprit belum pernah bikin cerita beginian
sebelumnya
- Setting, Tahun 2006
And…., Bryan tidak keluar dari Band
- Nicky 28 tahun; Shane 27
tahun; Bryan, Kian, dan Mark 26 tahun; Dean 27 tahun; Sam 23 tahun.
Bronx – New York
Westlife is coming to America
“Amerika, here we are!!!” pekik Kian Egan girang
dengan menongolkan kepalanya keluar jendela samping mobil Volvo sewaan mereka
yang melaju melintasi Jembatan George Washington .
“New York, baby !!!” sahabatnya Bryan McFadden tidak
kalah hebohnya. Dia berdiri di atas jok menyembulkan kepala keluar atap mobil
yang memang bisa dibuka.
Nicky Byrne hanya geleng-geleng
kepala melihat tingkah dua sahabatnya yang bak anak kecil udik dari pedesaan
dibawa ke kota besar metropolitan.
Mereka memang sedang berada di
Amerika untuk beberapa hari. Pengambilan video klip untuk salah satu single di
album terbaru mereka, mengambil tempat di New York, karena single tersebut langsung
menembus pasar Amerika, juga mereka akan melakukan konser kecil di sebuah klub
terkenal. Pengambilan video klip sudah dilakukan kemarin dan besok malam konser
kecilnya. Sebagai grup musik yang tergabung dalam sebuah boyband bernama
“Westlife” dari tanah Eropa bernama Negara Irlandia, mereka sangat bersyukur
akhirnya mereka dapat menembus pasar Amerika yang bukan isapan jempol belaka
sangat sulit ditembus. Dan saat ini, mereka sedang menikmati waktu kosong
mereka di sini, sebelum bertemu dengan rutinitas mereka sebagai artis pop.
HItung-hitung liburan.
Lain lagi dengan Mark Feehily
yang memiliki cara memiliki sendiri menikmati perjalanan mereka, yaitu
memperhatikan dengan seksama apapun yang mereka lewati. Mulai dari
memperhatikan orang-orang yang berjalan cepat bak dikejar anjing, orang
marah-marah yang terjebak macet di setiap perempatan, sampai
gelandangan-gelandangan yang mengisi trotoar jalanan. Agak takjub ia
melihatnya. Di kampung halamannya tidak ada macam seperti ini. Dublin dan Sligo
meskipun bukan lagi kota kecil yang sepi dan kosong, tetap jarang ia terjebak
macet, KECUALI jika mereka akan konser. Jalanan Dublin bisa penuh dengan arah
tujuan Cork Park. Tapi yang membuatnya paling takjub adalah gedung-gedung kaca
pencakar langit, apa itu namanya “Empire State Building”, maklum di Dublin
terlebih di Sligo mana ada gedung pencakar langit setinggi itu. Mark
benar-benar takjub.
Sementara itu, Shane Filan dengan
penuh konsentrasi membaca buku panduan wisata berjudul “Tempat yang Wajib
dikunjungi Di New York.”
“Shane, masih jauhkah?” tanya Kian menengok
saudara sepupunya yang masih tenggelam dengan buku panduannya.
“Sebentar lagi, katanya.”
“Sebenarnya kita mau ke mana sih ?” Mark ikut mengomentari.
“Ke tempatnya Edgar Alan Poe,” timpal Shane santai.
“Huh ….siapa ?”
“Penulis horror terkenal, Edgar Alan Poe…,” sahut Nicky.
Mark tergugu, “Heh? Nggak ada
tempat lain yang enak dikunjungi, apa, selain ke tempat berhantu begituan.”
“Siapa bilang berhantu ….?” protes Kian.
“Itu, rumahnya penulis horror, apa nggak rumahnya juga jadi horror?”
sungut Mark.
Kian mengerling nakal, “Mhmmm,
bisa jadi berhantu, Mark…”
“Kenapa sih kita nggak ke tempat Patung Liberty aja…” Mark masih protes.
“Kan kemarin kita dari sana, kamu sampai nggak mau pulang memandangi
Putri Liberty yang segede gaban, sampai kepalamu tengeng sendiri kelamaan
mendongak…,” Shane harus tersenyum geli.
“Dan aku hampir masuk angin kelamaan kena angin di sana, gila anginnya
kenceng amat kemarin di sana,” sungut Nicky.
Shane dan Kian susah payah
menahan tawanya.
Kian merangkul sahabatnya dengan
mesra menenangkan, “Jangan takut, Mark, aku akan melindungimu di sana kalau ada
apa-apa, tidak akan kubiarkan apapun terjadi padamu.”
Mark langsung nyengir nggak
jelas, “Thanks Ki…”
BROOTT!!!
Suara memalukan tiba-tiba
terdengar bak bom atom dilanjutkan dengan aroma telur busuk menyeruak di kabin
mewah Volovo keluaran terbaru.
“BRIAAAAANNNNNNNN!!!!!!!!!!!” keempatnya
memekik dengan kesal, langsung tahu sumber suara bom itu.
“Maaaaffff teman-teman …., kayaknya aku
masuk angin deh ….,” sahut si empunya suara memalukan masih dengan kepala di
luar.
“Makanya masuk !!!!” Nicky menarik tanpa
ampun kaos bagian bawah sahabatnya.
“Hey !!!” protes Bryan. “F******K” diikuti
pekikan kesal.
“Apa lagi, siihhh !!??”
“Sempet-sempetnya burung jelek itu buang kotoran di kepalaku!!!” tubuh
besar Bryan menghempas di jok kulit dan menunjukkan noda segar dan cari di
ujung rambut pirangnya.
“EURRRGGHHHH!!!” Kian dan Nicky kompak
menjerit jijik.
Buru-buru Bryan mencabut beberapa
lembar tisu dan membersihkannya.
“Jangan lupa mandi, Bry …!” Shane
mengingatkan.
“Iya ….!”
“Eh, sudah sampai tuh…,” Kian berseru
begitu melihat area sebuah rumah klasik dengan tulisan di depan “Pondok Poe” dan
supir mereka menepikan mobil tak jauh dari rumah itu, karena sulit mendapat
parkir yang dipenuhi mobil mobil wisawatan yang berkunjung ke Pondok Poe.
“Mudah-mudahan tidak banyak yang mengenal
kita,” desis Mark pelan. “Aku sedang nggak mau dikerubuti fans.”
“Dih, kayak kamu terkenal aja…” Shane menyenggol Mark usil.
Pukulan kecil mendarat di lengan
Shane.
Shane sudah siap membalas kalau
saja, Nicky tidak teriak dan membuka pintu menyuruh mereka keluar mobil.
“Oke…, tur dimulai…,” Kian penuh persiapan
dan semangat siap dengan handycam
di tangannya.
***
Di tempat lain sekitar 3 jam
perjalanan jaraknya, pada waktu yang sama …..
“Sekali lagi kita mau ke mana sekarang ?” tanya Dean Winchester masih
mengunyah Burger Bacon yang dibeli di warung fastfood untuk sarapannya di dalam
mobil Chevrolet Impala ’67 kesayangannya, warisan dari mendiang ayahnya sebagai
hadiah ulang tahunnya yang ke-18 tahun, 10 tahun yang lalu.
“Ng… The Bronx, New York, tepatnya dekat Rumahnya Poe …” Sam Winchester
membaca kembali koran pagi ini, setelah tadi ia mencari mungkin ada kasus
menarik untuk mereka, dengan laptop terbuka di pangkuannya. Satu kasus cukup
menarik untuk mereka selesaikan, dan tentu saja setelah abangnya menyelesaikan
sarapannya. Masih tercium kuat aroma bawang putih yang Dean selalu minta
tambahan lebih di setiap Burger Bacon yang dipesannya. Sam sampai pusing dengan
aromanya- sempat ia mengira dirinya telah berubah menjadi Vampir- salah satu
makhluk yang mereka buru, karena mulai trauma dengan bau bawang putih.
“Poe ? Edgar Alan Poe, ke sana lagi ?? kan kita baru bulan kemarin
membereskan kasus di sana, masak sudah ada lagi ?” sungut Dean.
“Bukan…, bukan di rumahnya Alan Poe.., tapi tetangganya …,” Sam menyibak
halaman-halaman di layar laptopnya hasil pencarian singkat dan cepat melalui
internet selama Dean menikmati sarapannya. Untung saja pulsa modemnya masih
mencukupi. “Rumah kosong tua, di jalan nomer 250 B. Dulunya milik Profesor
Thomas Amberson. Dia ilmuwan gila yang suka bereksperimen dengan para
pelayannya.”
“Bereksperimen? Bereksperimen gimana ?”
“Yaaa…, jadi kelinci percobaannya dia….,“
“Terus masalahnya di mana ?”
“Dua minggu yang lalu ada sekumpulan 5 orang anak selesai berdarmawisata
ke Pondok Poe, iseng-iseng main ke itu rumah, dan masuk ke dalam. Nah kayaknya
mereka menemukan laboratorium si professor di sana. Kayaknya juga bangun deh
tuh arwah professor dari sana, dan tuh anak semuanya dibunuh sama tuh
professor. Mereka sempat dikabarkan menghilang selama bebarapa hari sebelum
akhirnya jasad mereka ditemukan dengan wujud mengerikan,” Sam menjelaskan
panjang lebar, hasil pencarian info singkatnya.
“Bunuhnya gimana ?”
“Ng….,” Sam membaca lagi korannya, memastikan dengan benar. “Kepala
mereka pecah, tanpa ada bekas pukulan benda tajam ataupun tumpul.”
Dean mendengarkan dengan seksama.
“Yakin nggak ada bekas pukulan benda tajam ataupun tumpul ?”
“Ya…. Tapi mau periksa korbannya
sekarang juga sudah telat, mereka semua sudah dikubur semua, sudah lebih dua
minggu ini dari waktu kejadian itu.”
“Jadi sekarang kita kita langsung ke tuh rumah ?”
Sam mengangguk ragu pada
kakaknya.
Dean menimbang sejenak. Bukan
menimbang tentang kasusnya, tapi perlukah dia membeli apple pie sebagai pencuci
mulut sebelum berangkat ke Bronx.
“Oke, kita langsung ke rumah professor, tapi sebelumnya kamu harus
beliin aku apple pie dulu, Sam.”
Sam melotot protes, “Dude…, kenapa harus aku yang beli
pienya ?”
“Karena uangku habis untuk beli bensin ‘Kekasihku’-ku ini, sementara
akupun butuh bensin tambahan.”
Sam semakin melotot protes.
“Sam…, nggak ada pie, nggak ada kasus lho …” Dean setengah
mengancam dengan mata mengerling nakal. “Nanti setelah kasus selesai, aku main
poker lagi, dan akan kuganti uang pie mu,” dengan nyengir tanpa rasa bersalah,
karena sudah pasti pekerjaan mereka sebagai pemburu hantu terseksi di jagad
Amerika, tidak menghasilkan uang banyak. Sudah bagus kalau ada yang membayar
mereka, karena lebih banyak beramalnya - alias tidak dibayar- dibanding mendapatkan
bayaran dari pekerjaan mereka. Main poker dan memalsukan kartu kredit adalah
sumber keuangan mereka. Menyedihkan memang, tapi mau bagaimana lagi, profesi
sebagai pemburu hantu memang bukan teramasuk 10 pekerjaan idaman manusia,
terlebih idaman makhluk halus, menempati urutan pertama, malah.
Sam hanya bisa geleng-geleng
kepala setengah kesal dengan abangnya yang istimewa ini, sebelum dengan sangat terpaksa keluar
dari mobil hanya untuk membeli sepotong pie untuk abang tersayangnya di Mini
Market. Heran, kenapa juga mereka bisa
bersaudara….? Yah, hanya Tuhan yang tahu.
***
Tur mengunjungi dan mengelilingi
Pondok Poe hanya memakan waktu satu jam, dengan penjelasan Sang tour Guide yang
sangat membosankan bagi Mark tentang penulis horror yang konon paling terkenal
di Amerika, siapa itu namanya ‘Edgar Alan Poe’ , ‘namanya saja sudah aneh bin nggak elit. Terkenal mana sama Stephen King? Oh
beda jaman. Karena itu Mark menarik nafas super lega saat
mereka mencapai pintu keluar Pondok Poe, dan tur berakhir.
“Gimana, Marky, tidak menyeramkan, kan ??” Kian merangkul sahabatnya
penuh semangat.
“Nggak. Sam sekali tidak meyeramkan ….,” Mark menyahut santai.
Shane dan Kian mengangguk
tersenyum lega.
“Aku lapar !!” seru Bryan mengagetkan mereka.
“Tuh, di seberang jalan ada café. Kita makan dulu di sana, sebelum
pulang,” Nicky mengusulkan.
“Wokeh !” keempatnya menyahut setuju, dan segera menuju kafe yang
dimaksud.
Di kafe mereka memesan makan
siang ala amerika, burger dan salad. Tidak kenyang sih, tapi lumayan buat
pengisi perut. Mereka kan keturunan karnivora berat, perut mereka diisi
rerumputan ya tidak berefek.
Bryan sedang menikmati Double
Beef Burgernya saat sudut matanya menangkap sebuah rumah bagus di seberang ujung
jalan - ‘Jalan Poe’ . Rumahnya besar bergaya colonial Amerika. Dari
luar terlihat pagarnya tinggi dan terbuat dari besi. Dari jauh terlihat rumput
alang-alang menutupi halaman depannya. Seperti yang lama tidak dihuni.
Rasa penasaran dan ingin tahu Bryan
bangkit. Dan begitu seorang pelayan melintasinya, ia langsung mencegatnya,
“Maaf, rumah yang besar itu, rumah kosong ya ….?” dengan menunjuk rumah
besar itu dari balik jendela.
Pertanyaan Bryan langsung
mengundang perhatian keempat sahabatnya. Kesemuanya langsung mengarah kea rah
yang Bryan maksud.
“Ng… ya…., lebih dari 20 tahun rumah itu tidak dihuni.”
“Oooo, kenapa ?” Shane langsung tertarik begitu melihat wujud rumahnya
yang besar dan klasik, jenis rumah kesukannya.
“Angker katanya.”
“Angker? Angker mana sama rumah Poe ?” sela Mark curiga.
Pelayan itu tersenyum geli,
“Rumah Poe hanya sebagai objek wisata, nah kalau yang itu, sungguhan. Konon
rumah itu dihuni oleh arwah professor pemilik dari rumah itu. Dan dua minggu
yang lalu baru terjadi pembunuhan brutal di sana. 5 pemuda ditemukan tewas
dengan kepala pecah.
“OH YA!?” Kian dan Bryan memekik berbarengan.
Sementara Mark menelan ludah.
Shane dan Nicky tergugu mendengarnya.
“Kusarankan kalian tidak mencoba untuk main ke sana…,” lanjut sang
pelayan dengan bijak.
“Siapa juga yang mau main ke sana…,” sungut Mark lirih.
Sang pelayan tersenyum tipis,
dengan memandang kelima pemuda tamunya ini yang dari logatnya, jelas mereka
bukan orang Amereka, seperti orang Inggris atau Irlandia.
“Terima kasih atas sarannya …,” Nicky menyahut dengan sopan.
Pelayan itu mengangguk dan
berlalu dari mereka.
Bryan, Kian, dan Shane
melayangkan pandangannya kembali ke rumah besar itu, segala rasa penasaran
mengumpul di kepala mereka. Mark menangkap pandangan mereka.
“Lads, jangan
macem-macem deh, kalian dengar kan kata pelayan tadi …. Jangan main ke sana,
jadi singkirkan rasa penasaran mereka.” sungut Mark.
“Kok tahu kita mau ke sana ….?” Kian melirik Mark menantang nakal.
“Karena aku tahu kaliaaannnn!!!” pekik Mark setengah kesal.
“BUWAHAHHAHAHA” meledaklah tawa Bryan dan Kian
“Aku mau ke sana …,” timpal Nicky menghabiskan cangkir tehnya …., meski
jauh lebih enak teh irlandia di rumahnya.
“Nix !!!”
“Aku mau,” sahut Shane.
Bryan dan Kian tersenyum
kemenangan, dengan melirik nakal Mark.
“Aku nggak mau ikut!”
“Terserah, kamu kalau mau menunggu di mobil, silahkan saja,” Bryan
tersenyum menenangkan.
Mark merengut, dia selalu kalah
dengan kelima temannya.
“Enak aja, disuruh nunggu sendirian di mobil, mending ikut kalian,”
sungut Mark.
Kian langsung merangkul
sahabatnya kembali dengan mesra menenangkan, “Jangan takut, Mark, aku akan
melindungimu di sana kalau ada apa-apa, tidak akan kubiarkan apapun terjadi
padamu,” mengulang kalimat yang sama.
“Berasa denger rekaman kaset jelek deh…,” desis Mark pasrah.
Keempat tertawa geli melihat
sahabat termuda mereka yang paling penakut.
“Yuk,” Shane mengomando begitu melihat makan siang mereka telah selesai.
Selesai membayar, mereka langsung
menuju rumah besar itu.
Dan adrenalin tegang mereka
langsung bangun begitu berdiri di depan pagar besi tinggi itu. Rumah tua, tak
berpenghuni, rumput ilalang yang tinggi-tinggi menutupi jalan setapak menuju
teras. Kesan angker begitu terasa. Bagaimana masuknya, juga ?
“Lads…,
kayaknya ini bukan ide yang bagus deh…, kita pulang yuk….,” Mark masih mencoba
merubah rencana kawan-kawannya.
“Eh, itu ada celah masuk ke dalam,” alih-alih mengikuti saran Mark,
Nicky malah menunjuk sebuah bolongan sebesar setengah tinggi manusia dewasa tak
jauh dari pintu gerbang besi.
“Ayolah…., nggak akan apa-apa …..,” Kian langsung menggandeng sahabatnya
mengikuti ketiga kawannya yang sudah melewati lubang itu.
Rasa penasaran dan tertarik
mereka semakin memuncak saat mereka menginjak teras lebar itu. lantai kayunya
sudah tertutupi debu dan kayu-kayu kering.
Bryan mencoba membuka pintunya.
“Bisa dibuka, lads….,” dengan senyum
sumringah senang. Ia sempat mengerling mata mata keempat kawannya sebelum
membuka pintu lebar-lebar.
KRIEEEEKKKKK
Decit pintu tua dan karatan cukup
membuat bulu kuduk mereka meremang berdesir dingin.
Kian terkesiap dengan pegangan
kuat di lengannya, dan geleng-geleng kepala dengan wujud lebih tinggi beberapa
centi darinya menggenggam kuat lengannya.
“Maaf Ki ….,” Mark nyengir
pasrah.
Mata mereka menyapu ruang depan
rumah besar ini. Di hadapan mereka tangga besar melingkar dengan megahnya.
Masih tersisa beberapa furniture tua yang semuanya tertutupi debu tebal. Sarang
laba-laba menutupi setiap sudutnya. Untunglah sinar matahari masih dapat masuk
dari jendela besar di samping kiri, sementara samping kanan terdapat pintu
besar yang menghubungkan ke ruang tengah, hingga ke dapur.
“Seperti di rumahnya Casper …,” Bryan
tersenyum lebar.
“Casper …?” Mark tak mengerti.
“Yup, ‘Casper, the friendlyghost’ …,” Nicky menjelaskan.
“Terus
kita tinggal menunggu munculnya Casper dan tiga hantu nakal teman-temannya itu,
meluncur dari tangga itu gitu …?” sela Shane terkekeh.
Mark geleng-geleng kepala masih
tidak mengerti.
“Kamu suka nonton film kartun nggak sih ?” Nicky terheran sendiri.
“Hey, bukan aku kan yang sudah punya anak…,” protes Mark sebal.
“Lha, apa hubungannya….?” Nicky protes.
“Guys, cukup !” Shane
melerai keduanya.
Kian terkekeh geli, seraya
menyalakan handcam-nya yang
menyapu seluruh ruangan ini. Hanya ada satu kata yang ada di kepala mereka. ‘Spooky.’
“Kira-kira di mana professor itu membunuh korbannya, ya….,?” Bryan
penasaran.
Keempat menengok protes,
mengartikan, ‘jangan sembrono, Bryan.’
Mereka mulai menyelusuri setiap
ruangnya, dan bertakjub, dengan rumah besar ini. Tidak membayangkan ada rumah
besar ini di Amerika terlebih di tengah kota begini, sementara rumah rumah di
samping kiri dan kanannya tidak besar.
Mereka naik ke lantai dua, dan
menemukan sebuah kamar besar yang masih lengkap dengan tempat tidur besi yang
besar. Jendela besarnya pun masih lengkap dengan tirai yang telah lapuk.
Mereka takjub sendiri,
darmawisata ke pondok Poe, tidak ada apa-apanya dengan masuk ke rumah besar
ini.
PLASH PYAAAR !!
Sebuah kilatan sesaat tiba-tiba
mengagetkan dan membutakan mata mereka.
“AWW!!!!!” Kian mememekik kaget dengan menutup kedua matanya, handycam-nya terlepas dari tangannya.
Butuh beberapa saat untuk Kian
perlahan membuka mata.
“Mark ….?” panggilnya langsung.
“Aku di sini….!” Suara berat langsung menjawab melegakan Kian, terlebih
sosok itu berada tak jauh dari dirinya.
“Shane ….?” Kian memanggil yang lainnya.
“Nicky… Bryan… ?” Mark mencoba memanggil.
Tapi tak ada suara.
Saat pandangan mereka kembali
jelas, kedua menyapu kamar besar itu dan menyadari Nicky, Shane, dan Bryan tak
lagi bersama mereka.
**
Dean memarkirkan impalanya di
depan rumah besar itu. Diliriknya wujud rumah berhantu itu.
“Cukup spooky dari luar…,”
Dean berkomentar lalu keluar dari mobilnya.
Sam ikut memeriksa wujud luarnya,
“Yeah, cukup menggambarkan rumah berhantu ….,” sebelum keluar dari meluruskan
kedua kaki panjangnya. Tubuhnya yang setinggi 193 cm cukup tersiksa
terperangkap dari impala Dean selama 2,5 jam perjalanan tadi.
Mereka segera mempersiapkan
senjata perang mereka : senter dan pistol garam batu, dan pistol sungguhan
untuk jaga-jaga, kalaua pengganggunya ini manusia bernyawa. Dua senjata paling
dasar yang sering mereka gunakan dalam menyelesaikan pekerjaan mereka, yaa…,
itu kalau kasusnya adalah roh penasaran, tapi kalau bukan, beda lagi
senjatanya.
Dean memeriksa samping kiri rumah
sementara Sam memeriksa samping kanan rumah, sebelum keduanya masuk ke dalam
rumah bersama-sama, dan menyadari pintu telah terbuka.
“Ng…., sepertinya ada yang berdarma wisata
lagi ini ….,” Dean geleng-geleng kepala.
Sam menghela nafas, “Semoga belum
terjadi apa-apa…,” seraya mengeluarkan EMF dari saku jaketnya.
“Semoga, berita yang kemarin itu, hanya isapan jempol belaka…, nggak
benar terjadi….,” lanjut Dean menyiagakan dirinya dengan senjata andalannya.
“Sepertinya bukan isapan jempol, EMFnya bergerak parah…, banyak penghuninya
ini rumah,” sahut Sam dengan memperhatikan alat pendeteksi roh di tangannya,
yang berdecit ribut dengan lampu berwarna merah.
“Crap!”
Kedua menghela nafas menyiapkan
diri dan masuk ke lebih dalam dan menyapu ruangan dengan senter mereka, juga
tangga besar melingkar ke atas.
“Aku membayangkan wujud roh anak kecil meluncur dari tangga itu,” Dean
menyeringai nakal.
Sam melirik kakaknya dengan datar
setengah kesal, “Dikiranya kita ada di film Casper apa …!?” tidak habis pikir
dengan sifat kekanak-kanakan abangnya.
“Hey, siapa tahu…?” masih menyeringai nggak jelas.
Sam hanya geleng-geleng kepala.
“Helloooo,” Sam mencoba memanggil. “Ada orangkah ….?”
“BRYAN !!!! SHANE !!
“NICKY !!!
Sahutan memanggil mencari
terdengar dari atas, diikuti kemunculan dua pemuda tanggung yang panik dengan
wajah pucat.
“Paling nggak bukan roh anak kecil yang muncul,” Dean sempat berbisik
pada adiknya, sebelum berseru pada mereka , “HEY !?”
Jantung Kian tak menentu dengan
paniknya begitu menyadari Shane, Bryan dan Nicky tidak bersama mereka lagi.
Secepat kilat Kian langsung
menarik tangan Mark untuk keluar dari kamar itu, dan mencari ketiga sahbatanya.
Rumah ini memang berhantu!
“BRYAN !!!! SHANE !!” pekik Kian memanggil.
“NICKY !!!
“HEY !!?”
Kedua terkaget dengan seruan lain
memanggilnya, terlebih dengan wujud dua pria berbeda ukuran yang satu cukup
tinggi, dan yang satu tinggi sekali.
“Ada apa ??” pria yang lebih pendek
langsung menanyakan dengan wajah penuh perhatian.
“Kawan kami hilang ….,” jawab Kian seraya memperhatikan pria ini.
Penampilannya cukup keren, kaos oblong dilapisi kemeja polos dan diakhiri jaket
kulit belel. Kian suka jaketnya.
“Kawan…? Berapa orang kalian?” pria yang ‘tinggi sekali’ bertanya. Dia
terlihat lebih muda dari pria yang pendek, dan wujudnya terlihat seperti anak
kuliahan, culun. Bajunya kemeja kotak-kotak dikhiri jaket katun bertopi.
Jaketnya terlihat kesempitan di tubuhnya.
“Berlima…,” Mark menjelaskan, dengan mendongak. Baru kali ini ia melihat
orang setinggi ini. Keith Duffy pun tidak setinggi ini.
“Bagus, berlima…,” sungut yang pendek pada rekannya. “Di mana
hilangnya….?” kembali pada Kian.
“Di kamar utama, kami baru saja masuk ke dalam sana , lalu tiba-tiba
sebuah sinar menyilaukan mata kami, dan saat kami membuka mata, ketiga kawan
kami menghilang,” Kian menjelaskan.
“Di mana kamarnya,” lagi yang lebih pendek bertanya.
“Yang itu …,” Kian menunjukkan.
Pria itu langsung menuju kamar
yang ditunjukkannya. Mereka mengikutinya dengan mengendap di belakangnya.
Pria yang lebih tinggi ikut masuk
ke dalam kamar. Kian dan Mark mengintip dari pintu memperhatikan dua pria aneh
itu memeriksa kamar itu.
“Apa mereka itu polisi ?” Mark bertanya
setengah berbisik.
“Kayaknya bukan deh …., aneh saja, kalau ada polisi model begitu …,”
sahut Kian sekenanya, dan kembali bersiap dengan kedua pria itu keluar menuju
mereka setelah selesai memeriksa kamar.
Dean mengangguk begitu dirasa
selesai memeriksa kamar ini. EMF Sam berdecit semakin parah. Ada kasus di rumah
ini. Diliriknya dua pemuda yang berbeda ukuran mengintip di pintu. Dari logat
keduanya, sudah pasti mereka bukan orang Amerika, mereka wisatawan tulen.
Wisatawan bego, rumah beneran berhantu dimasuki! Dihampirinya keduanya.
“Baiklah, siapa nama kalian,….,” tanya Dean
ramah.
“Aku Kian, dan ini Mark…,” pemuda yang
lebih pendek berambut pirang menjelaskan.
“Aku Dean, dan dia Sam. Kami akan mencari dan menyelamatkan ketiga teman
kalian, tapi demi keselamatan kalian berdua, lebih baik kalian keluar dari
rumah ini, Sam, akan mengantarkan kalian _ ”
“ENAK SAJA!” potong pemuda bernama Kian, langsung. “Kami tidak akan
keluar sebelum ketiga kawan kami ditemukan. Kami masuk ke rumah ini berlima dan
keluar dari rumah ini pun harus berlima juga ,” protesnya keras, mengejutkan
mereka.
Dean menoleh pada Sam lalu
tersenyum canggung setengah menahan kesal.
“Baiklah, kalau kalian ingin mencari kawan kalian. Tapi tahukah kalian
kalau rumah ini benar-benar berhantu ?”
“Yea, setelah kawan kami benar-benar menghilang,” pemuda jangkung
bernama Mark menjawab dengan polosnya.
Sam hampir terkikik, tapi
ditahannya.
“Kalau sudah tahu berhantu kenapa dimasuki !!??” Dean kesal menahan
emosinya.
“Dia yang maksa!” seru Mark menunjuk Kian.
“Bryan, bukan aku!” protes Kian langsung.
“CUKUP!” Dean semakin kesal. Kedua wisatawan asing ini, ternyata tidak
hanya bego, tapi seperti anak kecil. “Cukup kalian berdua. Kita harus mencari
ketiga kawan kalian sekarang. Kita berpencar. Kau, terlihat berani, ikut
denganku,” menunjuk Kian. “Sementara kau, ikut Sam…”
“Siapa kamu berani memerintahku…,” Kian terpancing kesal.
“Kami adalah yang akan menemukan kawan-kawan kalian dan mengeluarkan
kalian dari sini,” Dean menyahut dengan tegas.
Kian menelan ludah. Ia melirik
pada kawannya, lalu mengangguk.
“Bagus…, sekarang kita bergerak,” komandonya, dan mereka pun berpisah.
*
Sam memeriksa seluruh lantai
bawah rumah ini, sementara Dean dan pemuda yang banyak bicara itu memeriksa
lantai atas. Pemuda yang bersamanya ini tak banyak bicara, cenderung mengunci
diri, dan Sam bisa membaca, anak ini penakut.
“Apa dia bos-mu?” suara berat pemuda hampir membuat Sam terlonjak kaget.
Akhirnya dia bersuara! Tapi dengan pertanyaan yang tidak enak didengar.
“Bukan, dia abangku” Sam menjawab jengah. Tidak sekali ini orang
menyangka Dean adalah bos-nya.
“Oh…, tapi dia terlihat terlalu memerintah, kukira dia bosmu …,” sahut
Mark tidak enak.
“Yeah, memang dia sedikit ‘bossy’ ….”
sahut Sam pelan.
“Seperti Kian…,” lanjut Mark lirih.
Sam hanya menengok tipis. “Aku
tahu bagaimana rasanya …” memberikan senyuman tipis.
Mark membalasnya dengan tidak
nyaman lalu ikut tersenyum.
“So, kalian sedang liburan kah ? dari logatmu dan temanmu, pasti bukan
orang Amerika kan?” Sam yakin.
“Irlandia,” Mark menjawab dengan bangganya. “Kami sedang ada pekerjaan
di sini, tapi sekalian liburan juga.
“Pekerjaan? Tugas sekolah ?” Sam yakin wajah mereka terlihat muda,
pastilah mereka ini masih kuliah.
“Manggung, dan membuat video klip di sini. Lagipula aku sudah terlalu
tua untuk kuliah,” Mark terkekeh.
Sam emngerenyit heran, “Berapa
umurmu ?”
“26 …”
Sam terkatup, ’26? bahkan lebih tua dari dirinya ! Dia
sendiri masih 23 tahun. Hahahhaa….’
“Kenapa ? kau pikir berapa umurku ?” Mark sedikit tersinggung.
“20 tahun…,” Sam malu sendiri. “Ng…, kau mengatakan tadi, membuat video
klip ? Kalian pemain band ?” langsung mengalihkannya.
“Boyband…, Westlife, dari Irlandia…. Kami berlima, aku, Kian, Shane,
Nicky dan Bryan,” Mark menjawab setengah tak bersemangat. “Dan besok kita
tampil di Club …. ”
“Ooohh, keren tuh …,”
Mark hanya tersenyum, “terima
kasih, dan kalau Shane dan Nicky dan Bryan tidak diketemukan…., bagaimana
kelanjutkan kami.
“Jangan takut, kita akan menemukan temanmu, dan besok kalian bisa
manggung berlima lagi..”
Mark mengangguk, “Ng… kau belum
pernah mendengar nama grup band kami ?” masih penasaran.
Sam harus menggeleng dengan penuh
penyesalan, “Maaf, aku tidak begitu mendengarkan musik, itu dunianya Dean ….?”
“Dean…? ah, ya kakakmu.”
Sam mengangguk. “Kau banyak
bicara juga rupanya, kukira ….,”
“Ya, kata orang, aku sering mengejutkan orang , hehehehe….”
Sam ikut tekekeh, “Jangan
khawatir, Dean pasti menemukan mereka, dia itu hebat soal beginian.”
Mark hanya mengangguk tersenyum.
“Tunggu, sepertinya aku menemukan sesuatu ….,” Sam menemukan cairan
kental berwarna hijau lumut di dinding.
Sam memegangnya dan menciumnya,
dan menyimpulkan sesuatu.
“Apa itu …?”
“Ektoplasma ….,” dan langsung mengambil ponsel Motorolanya.
*
Kian berdiri di belakang pria
angkuh ini dan memperhatikan setiap gerak geriknya. Agak malas juga bertemu
dengan orang yang tukang merintah begini. DIkira siapa dia …? Sudah tidak bisa
senyum, bicaranya ketus, judes pula. Siapa namanya, Dean…? Juga siapa mereka
ini, mau-maunya mengurusi beginian?
“So, apa kalian polisi
?” Kian penasaran akhirnya membuka suara terlebih dahulu.
Pria itu menoleh. “Bukan …., kami
hanyalah orang yang cukup sinting mau melakukan pekerjaan ini…,” menjawab
sinis.
“Pemburu hantu ?” Kian memastikan. “Seperti di film ‘Ghostbaster’ itu ?”
Dean hanya mengangguk. “Tapi kita
lebih keren dari orang-orang di film Ghostbaster,” tersenyum pahit.
“Dan pemuda tiang listrik itu …?” lanjut Kian ragu.
“Hey, adikku itu yang kau sebut tiang listrik.”
Kian terkatup, “Oh, maaf…. ,”
mengurungkan pertanyaan selanjutnya.
“Kau bisa menemukan ketiga kawan kami ?” tanyanya penuh pengharapan,
mengganti pertanyaan.
“Kuusahakan, ya …., oh…., lain kali kalau ada cerita rumah berhantu,
jangan pernah masuk ke sana!” dengan ketus tidak enak didengar.
Kian menelan ludah dan
mengangguk.
TIba-tiba terdengar intro music
‘Back To Black’ dari AC/DC’ dari ponselnya.
Kian sempat menangkap Dean
menengok kaget padanya, atau lebih pada ponselnya, sebelum mengambil ponsel
dari saku celananya, dan membaca nama di layar, ‘Anto Byrne’.
“KIAAAAANNNN DIIIII MANA
KALIAAAAANNNNNN??????” pekikan panik terdengar panjang dari seberang sana,
hingga harus menjauhkan batangan itu dari telinganya.
“Kita masih main sebentar…”
“Jam berapa pulang ….?”
Kian tergugu, dia sendiri tidak
tahu akan pulang jam berapa, dan yang pasti, tidak tahu apakah Bryan, Shane,
dan Nicky akan ketemu lagi.
“Masih belum dipastikan….”
“Masih belum bisa dipastikan??? Ingat kalian besok ada wawancara radio
pagi-pagi, jangan sampai kalian pulang mala mini dalam keadaan mabuk, atau
kalian akan mengacaukan semuanya.”
“Tenang Anton, kita nggak akan pulang dalam
keadaan mabuk, dan besok kita pasti akan tampil maksimal. Kami tidak akan
mengacaukannya, tahu sendiri kan, ini juga impianku, mana mungkin aku berani
mengacaukannya,” sungutnya kesal.
“Iya… iya…, ya sudah… pokoknya jangan pulang malam-malam, dan jangan
nakal, jaga sikap kalian, ini di negara orang.”
“IYA !” Kian menyahut kesal sebelum mematikan hubungan telepon setelah
Anton memutuskannya terlebih dahulu.
Kian menarik nafas gusar setengah
panik sebelum menengok pada Dean yang memperhatikan dia.
“Kau harus menemukan mereka bertiga, atau tour managerku akan
menggantungku.”
“Tour manager ?” Dean tertarik.
“Yeah, kami tergabung dalam boyband –
Westlife dari Irlandia,” sahut Kian mantab.
Dean hampir terkikik dengan kata boyband…, tapi kemudian teringat,
“Tunggu, Boyband Irlandia, Westlife…., kalian menyanyikan lagu cover versionnya
‘I’m All Out of Love’-nya Air Supplay, kan!???” wajahnya langsung bersemangat
sangat berbeda dengan wajah ketus dan judesnya tadi.
“Iya, kau tahu !?” Kian terkaget
sumringah.
“Hell, itu
lagu favoritku, aku pernah dengar lagu kalian di radio…!” penuh semangat dengan
wajah ikut sumringah, “I’m All out
of love I’m so lost without you, I know you were righ, believing me so long,” langsung
menyanyikan bait lagunya.
Kian mengrenyitkan keningnya,
begitu Dean bernyanyi , ’Gila, ini
orang sama sekali ga bisa nyanyi! Fals ke mana-mana nadanya!’
Kian tersenyum basi.
“Maaf…, aku sangat bersemangat,” Dean malu
sendiri. Wajahnya merah, dan itu bintik-bintik di hidungnya nampak jelas sekali.
“Boyband ya ….? Tapi tadi ringtone mu …, Back in Black nya AC/DC…”
“Aku mungkin tergabung dalam sebuah boyband, tapi jiwaku masih rock, man…, dan AC/DC adalah pahlawanku
…”
“NGGAK MUNGKIN!! Sama dong! AC/DC juga
pahlawanku,” wajah sumringah kembali muncul di sana. Kian jadi ngeri
sendiri lihat ekspresi pria ini yang tak terkendali, seperti anak kecil!
“Hells Bells, Highway to Hell….,” Dean
penuh semangat menyebutkan lagu-lagu AC/DC kesukaannya.
“Yeah…’You shook me all night long’ !” Kian ikut bersemangat juga.
“Hehehee, kita harus hang out
bareng nih….”
“Yeah…, tapi setelah menemukan tiga kawanku dulu,” Kian mengingatkan.
“Yeah, pastinya…, jangan takut mereka pasti kita temukan, aku jamin,”
kembali ke fokus utama.
Kian mengangguk gugup.
Tiba-tiba terdengar intro ‘SMOKE
IN THE WATER’ dari sebuah ringtone.
Dean terkesiap dan langsung
mengambil ponselnya.
Kian tersenyum kulum, ‘gila, ringtonnya smoke in the water! Keren
banget !!!’
“Yeah, Sammy ….? Oh, oke…, kita ke sana sekarang.”
“Ayo…, Sam menemukan sesuatu di lantai
bawah tanah,” seraya menutup teleponnya, dan berlari ke lantai bawah tanah.
Kian mengejar mengikuti.
Mereka turun ke bawah menuju
posisi Sam terakhir.
“Sammy, apa yang kamu temukan,” seru Dean
begitu mendekati adiknya, masih bersama cowok yang satunya.
“Ekstoplasma, Dean, ada arwah galau berat di sini,” Sam memberitahukan
dengan menunjukkan ektoplasma berwarna hijau lumut kental.
Tiba-tiba
PLASH PYAAAR !! Sebuah
kilatan sesaat tiba-tiba mengagetkan dan membutakan mata mereka.
Mark dan Kian langsung pucat
pasi, “Ya, Tuhan, jangan lagi!” tinggal menunggu siapa yang diambilnya sekarang
“Sam ?” seru Dean langsung mengecek
adiknya.
Tidak ada suara. Jantung Dean
langsung berpacu kencang. Lebih kencang lagi saat pandangannya kembali normal,
hanya satu orang yang berkurang. Makhluk itu
“SAM ??? SAMMY!!!???” pekik Dean
setengah panik, hampir ia terkena asma, kalau dia tidak langsung menarik nafas
dalam-dalam mengaturnya. “Brengsek!” sungutnya dan langsung memeriksa dinding
tempat Sam menemukan ektoplasma.
Dean meraba dinding itu.
Mengetuknya beberapa kalai. Ada udara di sana. Dean merapatkan telinganya pada
dinding itu.
“Ada ruangan di balik ini. Bantu
aku membobolnya!” seraya mencari apapapun yang bisa membobolnya tembok ini.
**
“TIDAAAAKKKKK, TINGGALKAN AKU!!
JANGAN BERANI KAU SENTUH AKU , AAARRRRGGGHHHHH!!!!!!”
“Ayolah katakan, apa hasrat terdalammu? Apa
keinginanmu, apa yang kau benci? Kau ingin keluar kan?? Kau ingin bebas….”
“TIDAAAAAKKKK AAKAAAANNNNN, AAARGGGGHHHH
!!!!!!”
“HEY, LEPASKAN DIA, JANGAN GANGGU DIA
!!!!!!” Shane memekik panik dari balik jeruji.
Roh berwujud professor gila itu
menatapnya, dan dalam kedipan mata sudah ada di hadapan Shae mengagetkannya.
“Sabar…, kau berikutnya ….,”
Shane menelan ludah gugup pucat
pasi, dan mundur terduduk ketakutan terlebih dengan kembali terdengar pekikan
menyakitkan Bryan. Dari balik jeruji ini ia dapat melihat Bryan terikat di atas
meja pasien, dan makhluk itu, professor tua gila dengan wajah mengerikan dan
rambut acak-acaka, melakukan sesuatu di kepala Bryan. Bryan memekik marah dan
kesakitan. Profesor itu sedang mencoba membuka isi dalam kepala Bryan.
Sepertinya ia ingin menguji isi pikiran Bryan. Shane merinding sampai
terpipis-pipis memlihatnya. Tak percaya semua ini terjadi, dan berharap
hanyalah mimpi. Semua terjadi dalam sekejap mata. Saat sinar itu datang bak
blits lampu kamera wartawan membutakan matanya, ia seperti terbang sesaat dan
sadar-sadar sudah berada di dalam kurungan ini bersama Nicky dan Bryan. Ia
cukup lega ia tidak sendiri, tapi begitu makhluk itu mengambil Bryan, dan
menjadikan dia objek eksperimen dia di atas meja itu itu, Shane berharap, ini
semua tidak terjadi. Ia sangat menyesal mengikuti keinginannya untuk masuk ke
rumah berhantu ini. ‘Ini rumah
benar-benar berhantu!!!’
“Nix….,” panggil Shane hati-hati melihat kawannya masih tergugu pucat.
“Shane…, kalau aku tidak selamat tapi kau selamat, titip pesan ya …,
bilang Georgy, aku sangat mencintainya, dan terima kasih telah memberiku dua
putra yang cakep dan tampan-tampan,” ucapnya nanar tak memandang kawannya.
Shane hanya mengangguk, meski ia
tidak tahu apakah ia akan selamat, atau akan bernasib sama dengan Bryan.
“Titip juga hal yang sama untuk Gilly, ya,
kalau kau yang selamat dan aku tidak….,”
Nicky pun hanya mengangguk.
“Aku benci liburan ke Amerika….,” desis
Shane pelan.
PLASH
“UHUK!”
Tiba-tiba muncul di tengah mereka
sosok tak dikenal.
“Hey,” pria itu langsung tersadar dengan apa yang baru menimpanya, dan
langsung tersenyum sumringah melihat Shane dan Nicky. “Kalian!? Bryan, Shane ,
atau Nicky?” dengan penuh semangat.
Nicky terkaget heran, ‘siapa pria ini tahu nama mereka’
“Aku Sam, aku mencoba menolong kalian. Dua
teman kalian, Kian dan Mark bersama kakakku, semoga tidak apa-apa.”
Nicky dan Shane tersenyum lega.
“Aku Nicky, dia Shane…,” Nicky menjawab.
“Lalu Bryan…?”
Shane menunjuk keluar kandang
pada sebuah meja dengan objek penderita di atasnya.
Sam terkatup melihatnya.
‘Profesor itu sedang melakukan eksperimen.’
“Apa yang sedang dia lakukan ??” Sam memperhatikan dengan seksama aksi
professor itu.
“Membuka isi kepala dan pikirannya.”
“Heh ?” Sam memastikan penghilatannya. “HEY!!!! PROFESOR JELEK !! BUTUH
PASIEN ?? COBA PAKAI AKU !!” seru Sam
penuh keberanian.
Arwah professor itu terpancing
dan menengok padanya. Dipandanginya beberapa saat Sam itu, sebelum tersenyum
kulum. Dan dalam hitungan detik, Sam sudah berpindah posisi dengan Bryan.
“Bryan !” pekik Shane dan Nicky penuh kelegaan melihat kawannya telah
kembali bersama mereka, tapi Sam. Mereka menengok meja pasien, dan pria yang
baru mereka kenal itu sudah terikat dia sana siap menjadi objek penderita hantu
professor itu.
“KAU TIDAK AKAN BISA MEMBUKA ISI KEPALAKU…,”
“Ayolah, katakan yang sebenarnya isi hatimu. Apa hasrat terpendammu? Kau
sebenarnya membenci dia kan? Kau sudah muak selalu diperintah oleh dia….kau
ingin bebas…..” dengan menyentuh kepala objek Sam.
“Tidak akan !
AAARRRRRGGGGGGHHHHHHHHHH!!!!!!!!”
BRAK !!!!!
“HEY JANGAN BERANI KAU SENTUH ADIKKU,
PROFESOR JELEK !!!” seruan marah langsung terdengar begitu mendengar dinding
terbongkar dengan tiba-tiba dan muncul tiga pria di sana, dan menembakkan
sesuatu pada hantu itu yang berfek wujud sang professor memencar menghilang di
udara.
“SAMMY! Kau tak apa-apa? Apa dia sudah
menyakitimu ?” Dean setengah panik, dan lansgung membuka semua ikatan Sam, dan
memeriksa wajah adiknya dengan seksama mencari ada lukakah di tubuh adik
tersayangnya ini.
“Aku nggak apa-apa, dia belum sempat
membuka kepalaku,” Sam tergugup sesak menahan sakit sisa sentuhan tipis hantu
tadi.
“Bagus…., ayo kita keluar dari sini.”
“Mark, Kian….!” seru Shane dan Nicky girang
penuh kelegaan.
Dean langsung menuju penjara
kecil itu dan mengganti pistolnya yang tersembunyi di balik kemejanya.
“Mundur kalian…,” dengan membidik gembok
penjara itu.
DOR !
Pintu kandang langsung terbuka,
dan bak pertemuan dalam adegan opera sabun, mereka berempat berpelukan,
sementara Bryan masih setengah sadarkan diri.
“Ayo, pelukannya dilanjutkan nanti saja,
kita harus cepat keluar dari sini, sebelum dia muncul lagi,” Dean menggiring
semuanya keluar.
“Apa yang kau tembakkan tadi?” Kian penasaran.
“Garam batu…,” sahut Dean ringan
dan membawa mereka keluar dari sana.
Namun saat tepat di pintu depan.
Pintu telah terkunci. Dean dan Sam langsung mencoba semua jendela dan pintu
yang ada. Tapi tidak ada satupun yang terbuka.
“Semuanya terkunci, dia mengurung kita di sini,” lapor Sam memucatkan
kelima pemuda Irlandia itu.
“BRENGSEK!” rutuk Dean kesal.
“Dean ….,” suara Sam tergugup.
Dean menengok dan melihat hantu
professor itu muncul kembali, mendekati mereka.
“Cari batangan besi ! dan
hantamkan padanya!” seru Sam.
PLASH
Hantu itu langsung memencar
menghilang begitu batangan besi itu menyentuh wujudnya.
Tiba-tiba Dean teringat sesuatu,
“Di mana kalian menghilang pertama tadi ??”
“Di kamar utama…,” jawab Kian.
Dean mengangguk, “Sam kau jaga
mereka di sini….” dan langsung lari naik ke atas menuju kamar utama.
Penuh emosi dan kekesalan, Dean
mencari lagi sesuatu yang mungkin terlewatkan saat menyelusuri lantai atas ini.
Ia membuka semua celah dan
ruangan kecil di kamar ini. Tidak ada tidak ada yang tersisa.
Dean beralih pada ranjang besi
itu. DIbaliknya dengan ia menemukan lantai ini memiliki ruangan. Segera
dibukanya dan mendapati kerangka manusia berusia uzur meringkuk mengenaskan di
sana.
“Hoooo, di sini rupanya kau berakhir,” Dean
tersenyum dengan puasnya. “Well, saatnya
kau beristirahat dengan tenang, Prof, sebelum kau mempertanggung jawabkan
perbuatanmu,” seraya mengeluarkan sekantung garam dan menaburinya ke seluruh
kerangka itu, lalu mengeluarkan pematiknya.
“Sampai ketemu, UHUK !!!” Dean terkaget
dengan tiba-tiba hantu professor itu, menangkap kepalanya dan memegang kuat
tempurung kepalanya.
“ Kau punya rahasia berat …., keluarkankah….”
Dean menggeliat melawan,
tangannya yang satu mencari pematiknya yang terjatuh tadi.
“P…per..gi.. ke.. ner.a..ka..sanaahh!” Dean meraih pematiknya dan
menyalakannnya lalu melemparnya ke kerangka itu, membakar kerangka tua itu.
“AARRRGGGGHHHHH!!!!!!” hantu itu memekik
kesakitan lalu terbakar, dan menghilang untuk selama-lamanya.
Dean menarik nafas lega.
Dan begitu yakin tugasnya
selesai, ia langsung turun ke bawah.
“Kalian tidak apa-apa?” tanyanya langsung
pada mereka semua, menuruni tangga berputar. “Sammy?”
“Kami tidak apa-apa,” sahut Sam dengan menengok
kepada kelima pemuda Irlandia ini.
“Bagus….,” Dean mengangguk penuh kelegaan.
“Sudah terbuka pintunya,” seru Mark lega
setelah mencoba membuka pintunya..
Kesemuanya tersenyum dan menghela
nafas lega.
****
Di depan limosin mewah keluaran
terbaru berdampingan dengan Chevy Impala keluaran tahun 1967
“Sekali lagi terima kasih sudah menyelamatkan kami,” Kian berucap
mewakili kawan-kawannya.
“Sama-sama, tapi lain kali, carilah objek wisata yang menarik, tapi
jangan ke rumah hantu,” Dean berpesan.
Kelimanya mengangguk pasti.
“Kau yakin tidak mau melihat penampilan kami besok malam?” tanya Mark
lagi.
“Kita lihat besok ya, mudah-mudahan kita masih di sini …,” Dean
tersenyum.
Shane, Mark, Kian dan Nicky
tersenyum, sementara Bryan tergugu takjub dengan wujud tinggi Sam.
“Kau tinggi sekali….,” gumam
Bryan takjub. Dia sendiri sudah 188 cm tingginya, tapi pria ini jauh lebih
tinggi darinya.
Sam hanya terkekeh renyah.
“Oke, sampai bertemu lagi …,?” Sam dan Dean
berpamitan dan berjabat tangan pada semuanya.
Saat Dean dan Sam masuk ke dalam
mobil mereka, Kian tak dapat menahan untuk bersuit suit,
“Chevrolet Impala 1967 tidak ada yang bisa
menandingi kecantikannya, beneran, kita banyak kesamaannya, man,” Kian terkekeh.
Dean tersenyum lebar, “Pastinya,
” sebelum menjalankan mobilnya, dan melambaikan tangan pada mereka semua.
Bryan, Nicky, Shane, Kian dan
Mark menghela nafas kelegaan.
“KITA PULANG !!!” pekik Bryan dan masuk ke
dalam limosin.
“Sudah kubilang, ide yang paling buruk berdarma wisata ke rumah hantu,”
rungut Mark.
Tiba-tiba ponsel Kian berbunyi
lagi,
“Iyaaaaaa, Antooooonnnn, kita pulang sekarang …..!!!”
“Aku benci liburan ini …,” timpal Shane
“Aku benci Amerika…” lanjut Nicky
“AKU BENCI KALIAAAAANNNNN SEMUAAAAAAA !!!” pekik Mark penuh
kekesalan.
*****
“Aku suka anak itu …,” ucap Dean dengan
tersenyum kulum sambil menyetir. “Dan aku suka Westlife…”
Sam menengok pada abangnya, takut
ia salah dengar. Dean suka
boyband??? Yang benar saja !!!
Dean membalas tatapannya heran
adiknya. “Hey, mereka nyanyi lagu kesukaanku …. ‘I’m All out of love I’m so lost without you,
I know you were righ, believing me so long,” langsung menyanyikan
bait lagunya.
Sam langsung menutup telinganya
dan meringkukkan tubuhnya menempel di jendela. Satu lagi yang membuat Sam
kenyang berada satu atap mobil dengan abangnya selain bau bawang putih, yaitu,
suara sumbang Dean.
Dean terkekeh puas, “Oh, Sammy”
Dinyalakan kasetnya dan
membiarkan lagu ‘Eyes of Tiger; dari Survivor, mengiringi perjalanan mereka
kemanapun kasus baru membawa mereka.
@@@THE END @@@
SO ??? ANEH YA ??? TIDAK SEPERTI
YANG DIBAYANGKAN ???? MAAAAFFFFF !!!! :D
No comments:
Post a Comment