Wednesday 1 May 2013

Real or Not Real


Genre                   :  Gore/Sadistic/Hurt/Comfort

Rating                   :  M untuk bahasa dan visualisasi bahasa

Summary             : Death/Swearing/physical abused/tormented.

Warning              :  Cerita ini hasil full kegilaan imajinasi NenekMeladyTorture yang tiba-tiba akhirnya datang semalam, demi ‘I Dare You’ specialuntuk Chyintia Tjoa. I love Kian- death in love. I Love Jodi so much, I loveMark, I love Shane, I love Gillian, and of course I love Nicky too, I love all of them, jadi jangan diambil hati dari isi cerita ini. 



Words Count      :  4.320



Mohon maaf jika terbaca vulgar dan sadis, pure karya Meladytorturer, bukan karya mamak Keavy.



Dan seperti biasa, mohon maaf jika masih ada typo ….ehhehehe, penyakit akut, soalnya.



REAL OR NOT REAL ?





                Kian bertengkar dengan Jodi, membuat moodnya berantakan. Ia semakin benci dengan gadis j***g itu, tapi ia juga mencintainya. Dan gadis itu baru saja menyakiti perasaannya.




   "Kenapa, kamu nggak mau menyentuhku.  Semua laki-laki yang kukenal sudah menyentuhku," dengan mata besar indahnya manja.

Kian tetapt enang, meski hati dan telinganya mulai panas. Entah sudah yang keberapa kali kekasihnya yang seumur dengannya itu, menanyakan hal yang sama, tetap dirinyat ak bisa menanggapinya.

    "Karena aku bukan seperti laki-laki yang kamu kenal itu."

    "Oh, ya, atau kamu memang nggak bisa?"

Kian terkatup.

    "Kamu banci ya? Jangan-jangan kamu nggak suka cewek ya ? Atau kamu pacaran denganku sebagai topeng menutupimu bahwa kamu gay."

Telinga Kian panas.   "Aku bukan gay!"

    "Kalau begitu buktikan.._" ucapan Jodi terhenti dengan tiba tiba Kian menjambak rambut coklat indah itu.

Jodi memekik kesakitan.  "Kian, kau menyakitiku!"

Kian tersadar,dan langsung melepaskannya. "Maafkan aku...," dengan gusar dan gugup."Aku nggak akan menyentuhmu, dan aku bukan gay. Aku hanya ingin menjaga kesucianmu."

Jodi mendengus mengejek, "kamu tau, aku sudah nggak suci lagi, kan,” ia kemudian tersenyum centil lagi, “Kamu tau, Mark jauh lebih baik daripadamu, dia sudah beberapa kali menyentuhku, dan aku suka," tanpa rasa risih dan berdosa.

Kian tercekat, "Dia itu gay, Jodi!"

    "Kata siapa?"

    "Dia bilang sendiri padaku."

    "Ah, peduli amat, dia gay, toh ternyata dia bisa, kok," terkekeh ringan dengan mengibaskan rambutnya yang panjang. "Dibanding kamu _ "



BUG !



Aww!



Kian tersadar dengan pekikan itu dan melihat Jodi sudah tersungkur di lantai, bibir dan pipi cantiknya berdarah terkena pukulan tangannnya.

    "Owh, sayang, maafkan aku..."Kian langsung menghampirinya dan mencoba menolongnya. Tapi langsung ditepis kasar oleh Jodi, mata besarnya terbelalak marah dengan air mata mengalir di pipinya.

   "JANGAN SENTUH AKU !!! Kamu aneh, Kian,kamu adalah makhluk aneh sedunia, nyesel aku pacaran sama kamu!!" Dan segera bangkit lalu lari meninggalkan Kian yang terpaku kaget.

Kian tersadar, dan hatinya kembali panas.

   "Aaaarrrggghhhh dasar cewek murahan!!!!!" memekik sekencang kencangnya.

Hati Kian panas, jantung berdebar kencang , badannya begetar kuat, tubuhnya limbung.Terasa sakit semuanya.



    "Gill, aku butuh kamu...."rintihnya dan segera menuju apartemen sepupunya itu.



**



  "Gilly ..." Panggilnya langsung dengan membuka pintu tanpa mengetuk. Dan ia terkaget dengan menemukan Gillian tengah bercumbu dengan Shane kekasihnya, yang juga sahabatnya, di sofa depan. Keduanya tersentak kaget dan saling melepaskan diri.

   "KIAN !!! Belajar mengetuk pintu nggak, sih ?!?” Gillian memekik marah.

Kian terpaku kaget. Gillian tak pernah memekik marah padanya sebelumnya. Wajahnya langsung tertekuk sakit.

Gillian tersadar dengan wajah kaget dan sedih saudara sepupunya.



    "Maafkan, aku, Kian, maafkan aku," Gilly mencoba merangkulnya, "Kamu seharusnya mengetuk pintu dulu sebelum masuk, itu sopan santunnya," dengan suara lembut, memeluk Kian yang tidak ditolak oleh pemuda berumur 16 tahun itu. "Ada apa, Ki… ?"

    "Aku bertengkar dengan Jodi...," ucapnya lirih di pelukan Gillian.

    "Owh, sayang...." semakin memeluknya erat penuh kasih sayang.

   "Boleh aku tidur di sini malam ini?” pintanya memelas.

Gillian langsung menunjukkan wajah tidak enaknya dan meminta maaf,   "Owh, Kian..., maaf, hari ini hari jadi kita berdua,” dengan menengok Shane. “Dan malam ini kami ingin menghabiskanwaktu hanya berdua, Kian."

Hati Kian kembali terampas dan terhempas. Belum pernah sekalipun Gillian menolak dan mengabaikannya. Belum pernah, sebelum Gilly betemu dengan Shane -  bocah peternakan yang selalu berbau kuda yang notabene adalah sahabatnya sendiri.  Gillian milik dirinya dan Shane telah merebut Gillian darinya!

Diliriknya pemuda 17 tahun di hadapannya dengan penuh kebencian. Shane memberinya senyuman gugup meminta maaf.

    “Maafkanaku, Ki….,” Shane tersenyum gugup.

Kian menghela nafas dengan mengangguk, mengontrol emosinya dan memakskan untuk tersenyum.  “Tidak apa, salahku…, maafkan aku telah merusak acara kalian… aku pulang saja, kalian rayakan saja, hari jadi kalian...."dengan berbalik menuju pintu.

   "Kita ketemu besok, Ki, untuk bahas lagu yg kamu tulis kemarin...." Shane mencoba menyenangkan hati kawannya.

Kian tak menyahut hanya mengibaskan tangannya dankeluar dari sana. Hatinya kembali terluka.





Kian memekik sekencang-kencangnya penuh kemarahan di apartemen kecilnya yang hanya berukuran 4x5 tanpa kamar tidur dan hanya satu kamar mandi kecilnya. Barang-barang di apartemennya mulai menjadi korban kemarahan dan kecewaannya. Gitar elektrik murah kesayangannya telah terlempar ke dinding hancur berantakan. Sofa jelek dan meja yang di atasnya dipenuhi kaleng kaleng soda kosong dan bungkus bungkus makanan, sudah berbalik bagaikan kapal pecah. Kian sudah tak melihat itu, yang ada di hatinya hanya rasa marah dan kecewa, semua orang meninggalkannya, orang-orang yang ia kenal mengabaikannya. Semua bersikap jahat padanya. Gillian lebih mementingkan pacaranya, Jodi lebih suka dengan laki-laki lain dibanding denganpacarnya sendiri.



   "Aaaarrrrrgggghhhh !!!!" Dadanya sesak dan panas, hidungnya kembang kempis, penuh amarah matanya berkilat-kilat.



Terkantuk matanya dengan sebuah pisau di lantai. Tanpa pikir dua kali, diambilnya pisau itu dan langsung keluar rumah.





Tujuan utamanya adalah apartemen Gillian. Ia harus mengenyahkan Shane dari dunia ini. Jika tidak ada dia, Gillyakan kembali padanya. Gilly adalah penopang hidupnya, tempatnya bersandar, tempatnya berkeluh kesah, tempat ia membangun kepercayaan dirinya selepas keluar dari neraka St. O’malley House of Boys. Tempat ia merasakan kembali ada yangmenyayanginya setelah keluarganya membuangnya bertahun tahu di asrama laki-laki itu. Gillian yang membuat dirinya menjadi manusia lagi. Jika tidak ada Gillian, sudah lama ia bunuh diri sejak ia keluar dari neraka itu. Dan sekarang ada cowok pendek dan gemuk yang akan merebut, Gilly. Tidak ada yang boleh mengambil Gillian darinya !





BRAK !!!



Penuh emosi Kian membuka pintu apartemen itu, kembali mengagetkan penghuninya yang kini sedang duduk berpelukan menghadap tivi yang menyuguhkan sebuah film romantis. Kedua terlonjak kaget.



    “KIAN!!!” Gillian memekik marah dan siap untuk memarahinya layaknya seorang ibu pada anaknya, tapi terhenti dengan sebuah pisau yang sudah dipegang sepupunya itu teracung pada Shane, mengancam akan menyakiti kekasihnya itu.  Jantungnya berpacu kencang ketakutan.

    “Ki…. Apa yang kamu lakukan….? Taruh pisau itu, Ki….,”

    “Nggak !!dia merebutmu dariku, Gilly, cowok bau kuda itu merebutmu!” pekiknya marah.

    “Kian sayang….,” semakin bersuara lembut, layaknya berbicara pada singa mengamuk, “Shane tidak mencuriku, aku masih milik kamu…, Kian….,”

   “BOHONG!!! Kalau iya, kenapa kau mengusirku tadi !?”

    “Aku tidak mengusirmu, Kian…, kami hanya minta waktu sebentar untuk bersama, kau datang di waktu yang tidak tepat, Kian, tapi besok aku jadi milikmu lagi,Kian…,”

    “NGGAAKKK!! Kamu bohong…., kamu sama seperti keluargaku, membuangku, kamu nggak sayang aku lagi, Gilly, kamu lebih sayang dia !!” keringat sudah membasahi wajahnya seiring dengan sesak kemarahan di dada.

     “Itu tidak benar Kian…,”

     “Kian…,” Shane mencoba berucap.

    “DIAM!!!” potongnya marah, tangannya semakin tak terkontrol, “Jangan ngomong ! aku benci kamu !!! Kamu harus enyah dari Gilly-ku!!” dan penuh emosi Kian menghunus pisau itu pada Shane.

    “KIAN, JANGAAAAANNNNN – UHUK !”

Kian tercekat kaget, dengan wajah Gillian di hadapannya dengan mata melotot terkaget, menghalangi dirinya menuju Shane. Dan darah segar berwarna merah keluar dari bibir manis sepupu tersayangnya.

    “Ki …,uhuk …,” suara Gillian tertahan penuh kesakitan

    “Gilly !? Gill…,” Kian tersadar saat merasakan pisaunya menghujam dalam perut Gillian. “Nggak…, nggak…., Gilly…?”  tangannya semakin bergetar, jantungnya tak karuan,dan menyadari sepupunya sudah jatuh tertekuk tak bernyawa di pundaknya.

     “GILLIAN!!!” Shane memekik panik, dan mengambil tubuh terluka kekasihnya dari Kian dan memeluknya, “Gilly, bangun sayang….,” dengan menepuk pipnya, namun ia tahu,Gillian sudah pergi. Ia menoleh marah pada Kian, matanya merah disertai marahdan sedih, “Lihat yang sudah kamu lakukan, kamu sudah membunuh Gillian !!”

Kian tersentak kaget. “Tidak mungkin…,” ia mundur tak percaya dengan melihat pisau di tangannya yang sudah berdarah. Tapi sosok Gillian yang bersimbah darah di perutnya dan tak bergerak membuktikannya Gillian sudh tewas di tangannya. Dia telah membunuhGillian, dan sekarang Shane meraung-raung memeluk dan menangisi jasad kakasihnya.Ia sempat melempar pisaunya, namun teringat,

Bukan, bukan Gillian yang seharusnya mati, tapi Shane, Shane yang seharusnya mati.

Diambilnya pisau itu dan diacungkannya kembali ke arah Shane, “KAMU YANG SEHARUSNYA MATI, BUKAN GILLIAN !!!!” penuh emosi dihujamkan pisau itu ke punggung Shane.



Shane memekik kesakitan dan darah memuncrat dari sana. Kian tidak melihatnya dan terus menghujamkan pisau itu ke seluruh punggung itu,memuaskan kemarahan dan kesedihannya.

   

Berapa kali, Kian tidak tahu, ia tersadar dengan tubuh laki-laki itu sudah tertelungkup di atas jasad sepupunya dengan cairan berwaran merah segar membasahi punggungnya dari lubang-lubang yang dibuat kian dengan pisaunya.



Cipratan darah sudah membasahiwajahnya. Ia tersenyum puas, Shane sudah mati, laki-laki pencuri sepupunya sudahmati.



Diusap darah itu dari wajahnya dengan tangannya. “Nggak seharusnya aku mengenalkanmu pada sepupuku, Shane….,” iamenyeringai mengejek.



Setelah puas, ia bangun, dan melihat dengan sadar penuh hasil karyanya. Ia telah membunuh sepupu dan sahabatnya sendiri ? Menyesal ? Tidak ada, Kian sama sekali tidak merasa menyesal. Salah sendiri sudah menyakiti hatinya.



Ia tersenyum dengan puasnya,sebelum beranjak dari sana, mengusap pisau  berlumuran darah ke kaos bergambarAnjing Hell Hounds- nya, dan keluar dari ruang pembantaian itu.



Amarah kembali memuncak mengingat pertengkarannyadengan Jodi, kekasih j***gnya itu.



Ditujunya club yang biasa Jodi datangi. Ia pasti di sana.



    “Kian….,” seseorang memanggilnya ramah dari dalam mobil yang tiba-tiba menepi menghampirinya dengan jendela terbuka, saat ia berjalan cepat di trotoar.



Kian menengoknya gusar. Mobil bagus, Ferari berwarnamerah keluaran terbaru, dan hanya satu yang ia kenal yang memakainya. Anak orang kaya dari keluarga Byrne

    “Nicky…,” Kian menyahut tidak tenang, memaksa untuk tersenyum ramah, tapi tak berniat berhenti.

    “Mau kemana ?” Nicky menjalankan mobilnya pelan mengikuti langkah kaki kawannya.

    “Ke tempat Jodi …,” sahutnya cepat tanpa menghentikan langkahnya.

    “Aku temani, ya …?” tawarnya ramah.

    “Tak perlu, aku bisa ke jalan sendiri…,” dengan ketus. Ia tidak ingin ada yang mengganggu.

    “Ayolah,Ki.., tak apa  _ ?”  kalimatnya terhenti dengan sesuatu yang ia lihat dari balik jaket Kian. Sebuah mata pisau dengan darah menetes di sana.“Ki… apa yang kamu pegang itu ?”

Kian terkatup dan berhenti. Diliriknya tangannya yang memegang pisau masih bersimbah darah.

     “Ki…,darahkah itu ?” Nicky tercekat kaget dan gugup. “Kian, apa yang sudah kamu lakukan ?” tergagap ketakutan tidak ingin mengira-ngira apa yang sudah kawannya lakukan dengan pisau berdarah itu.

Kian tersenyum sungging, dan langsung membuka pintu mobil lalu naik ke dalamnya. Tanpa berpikir dua kali, dihujamkan pisau itu tepat di tengah tenggorokan Nicky, menembus hingga jok kulit mahal itu.



   “OHOK!”

Nicky tak sempat berkilah menghindar. Yang ada adalah rasa sakit yang luar biasa dengan benda tajam untuk menembus lehernya.



Kian tersenyum puas menikmati darah segar mengalir deras dari bawah jakun kawannya itu.



   “Dipikir-pikir, boleh juga mobilmu ini, Nix. Pas warnanya dengan warna darahmu itu. Pinjam dulu ya…,” seraya menarik pisaunya dari leher Nicky. Putra tengah keluarga Byrne itu terkulai tak bernyawa.



Segera disingkirkannya tubuh Nicky dari kursi pengemudi, dan segera duduk di sana. Kian tersenyum senang. Sudah lama ia ingin mengendarai mobil sport Ferari ini, tapi ia tak pernah berani memintanya. Tapi sekarang mungkin ia bisa memilikinya.



Diliriknya Nicky yang sudah tertelungkup di kursi penumpang di samping, “Terima kasih, dude…,” dan langsung tancap gas ke club tempat Jodi mungkin berada.



Setiba di sana, tanpa ada keraguan dan takut, Kian turun dari mobil mewah itu dan segera masuk ke dalam.



Suasana temaram, dengan music disko memekakkan telinga. Pandangannya terhalang oleh asap rokok juga asap jadi-jadian yang sengaja dimunculkan sebagai efek dari club ini. Tapi ia tahu di mana Jodi berada.



Dan di sanalah dia, seperti dugaanya, tapi ada yang lebih membuatnya tercekat. Jodi tak sendiri. Ia sedang bersama Mark.  Sahabat  gay-nya itu yang disebut-sebut bisa memuaskan kekasihnya, sementara dirinya sebagai kekasihnya sama sekali belum pernah menyentuhnya. Bara emosi dan kemarahan kembali mendidih di sana.



   “Jodi….,”panggilnya dengan suara tertahan.

Jodi menengok dan tersenyum setengah sadar karena mabuk, “Oh, hi….Ki …,” dengan nyengir sempoyongan,  “Ihik …,” diikuti cegukannya. “Lihat siapa yang datang…, ihik! Kian, pacarku paling manis, ihik, tapi maaf, aku sudah mendepakmu, karena aku sudah dengan Mark sekarang…, ihik…,” ia menengok pada cowok yang sama mabuknya dengannya. “Mark sekarang pacarku, Ki…, ihik!” dengan tersenyum manja membelai pipi cowok berbibir tebal merah menggemaskan itu.

Mata Kian berkilat-kilat marah, penuh kejijikan memandang mereka berdua yang sama miripnya dengan binatang di kebun binatang.

    “Guys…,aku sudah membunuh 3 orang, dan kalian akan melengkapinya menjadi lima, hariini!” penuh emosi menghujamkan pisau berdarah itu bergantian ke tubuh dua kawannya yang telah dengan sangat menyakiti hatinya.



Pekik ketakutan dan terror langsung terdengar dengan pembantaian mengerikan mendadak itu, tapi Kian telah gelapmata.  Pengunjung langsung bereaksi dansaat itulah kian merasakan hantaman keras di kepalanya dan semuanya gelap gulita seketika.



Pengunjung masih memekikhisteris tak percaya dengan dua sosok anak muda bersimbah darah tak bernyawa dengan luka hujaman berulang kali di dada mereka.



**



Kian terbangun seketika denganperasaan aneh. Lebih aneh lagi saat ia tak bisa menggerakkan tubuhnya. Kaki dan tangannya terikat sabuk kulit yang kuat, menahannya terbaring di atas meja aluminum, dan hanya mengenakan celana panjang tipis berwarna biru muda. Iamencoba untuk bersuara, tapi tak ada suara yang keluar, saat disadarinya sesuatu berbahan karet menyumpal mulutnya. Jantungnya berpacu kencang, dan semakin berpacu kencang saat ia menyadari beberapa pelat berkabel menempel di kening kiri dan kanannya, juga di perutnya. Jantungnya semakin berpacu kencangsaat ia menyadari kabel-kabel tersebut tersambung pada mesin kejut listrik.



Seorang pria tinggi berambut abu-abu memakai jas dokter ditemani seorang perawat laki-laki yang besarnya dua kali lipat daritubuh sang dokter siap menjalankannya.



    “Siap dijalankan, dok,” sang perawat memberitahukan.



Sang dokter mengangguk, “Kita coba tegangan rendah dulu.”



Kian membelalak protes ingin berteriak tapi tertahan dengan sumpal karet di mulutnya. Dan sesaat kemudan ia merasakan kejutan listrik ditembakkan ke tubuhnya, membuatnya terlonjak, seluruh sel tubuh berteriak kesakitan, jantung berpacu sangat cepat, namun tertahan dalam ikatan kuat ikat pinggang di tangan dan kakinya. Ia mengerang dalam sumpalannya.



Kejutan itu hanya berlangsung 1 menit dan dalamtegangan rendah, tapi cukup mematikan syarafnya tubuhnya.



    “Naikkantegangannya,” perintah sang dokter.



Kian masih dapat mendengarnya, ia mengerang protes yang tak berarti apa-apa, dan kembali terlonjak dengan kejutan listrik yang ebih besar tegangannya dari yang pertama. Dua kali kejutan itu diberikan.

Tubuhnya menjerit kesakitan, kemudian terasa mati rasa semua, jantung terasa siap terlepas dari tempatnya saking cepatnya ia berpacu, melebihi batas normal. Air mata mulai mengalir di pipi dan air liur menetes dari balik sumpalan karetnya.



Susah payah ia mencoba untuk tetap sadar danmencoba mengerti apa yang sedang terjadi. Nafasnya tersengal-sengal. Bagaimanaia bisa berakhir di meja rumah sakit terikat dan menjalani terapi kejut listrik. Ada yang tidak beres ini.



Untuk beberapa saat tak ada kejutan lagi,sepertinya sang dokter menunggunya untuk tenang dahulu.



Perlahan ia nafas bernafas dengan normal, meski jantungnya masih berpacu kencang. Matanya buram karena air mata yang memenuhinya.



Usapan kasar sang perawat itu, membersihkan air matanya , dan merasakan sumpalan di mulutnya dilepas.



PWUAH !



Kian menghirup udara sebanyak yang ia mampu, untuk menggantikan sesak di dada yang terkuras akibat kejutan listrik yang ia terima.



Ia mencoba memperhatikan dokter itu. Sosok itu sangat ia kenal.



   “Simon….,” ia terengah tak percaya dengan sosok itu. “A..ap..a ya..ngter.jadi …, ken..apa… aku.. di sini…, apa… ya..ng ka..u la..ku…kan…..,”pertanyaan mengalir dengan kebingungan dan ketakutan.

    “Bagian dari terapimu, Kian…,” sang dokter menjawab dengan tenang.

Kian mengerenyit tak mengerti. “Te…rap..i ap…a ….?”

Sang dokter menghela nafas. “Kita sudah melalui ini berulang kali, Kian…..,” dengan menggeleng kepala.

     “Apayang kau ingat, Kian…?”

Kian semakin mengerenyitkan kening semakin takmengerti, tapi mencoba untuk mengingatnya di sisa tenaganya yang setenga terkuras akibat kejutan listrik tadi.

    “Ak…u..ba…ru sa…ja sel…esai me..ngg..elar ..kon…ser di… tig..a be…nua se…lam..a 5 bulan ….di Asia, Afrika, dan Amerika…. dengan….” Kian memejamkan mata untuk mengingat sebuah nama yang  tiba-tiba hilang dalam ingatannya.

    “Westlife…,” sang dokter membantunya.

    “Ye…ah…de…nga…n We..stl..ife,” Kian tersenyum tipis. “Kit..a akh..irnya.. bi..sa m..en..em.bus..Am..erika. Sha..ne se..nang se..kal..i, Nicky sen..ang s..ek..ali, da..n M..ark …, ka..u bi..sa lih..at..dia sa..mp..ai me..nan..gis sa..at ki..ta ko..nser di de..p..an ri..bu..an pen..ont..on di sa.na,m..e...ngala..hk..an Ju..stin.. Bi..eb..er…,”

Dokter itu mengangguk kembali mencoba memahami yang diucapkan Kian dan sekilas menengok perawatnya membuat Kian semakin terheran melihatnya.

    “Si…mon…, ap…a ya..ng te…rjadi …? Di mana ini ….?” Lep…ask…an aku … aku mohon…”

Pria berusia sekitar 45 tahun itu menarik nafas, “Kian…. Kau tidak pernah melakukan konser-konser itu, dan tidak pernah ada Westlife, Kian. Saat ini kau berada di Rumah Sakit Jiwa  St. George - Dublin, dan kau sudah berada disini selama tujuh tahun.”

Kian terpaku pucat…, “Tuj..uh.. tah..un ???” terbelalak kaget, tapi hanya membuat dadanya semakin sakit. “Nggak… kau bohong…., Westlife itu ada, … grup band ku…, ka…u da..n Lou…is Wa..lsh ya..ngme..mbe..ntuk..nya, Si..mon, ka..u ya..ng me…mba…ntu ka..mi me..njad..i bo…yba..nd ter..bes..ar se..pan…jang ma…sa, Sim..on Co…well …..,” mencoba memprotes di tengah engahan rasa sakit yang tersisa di tubuhnya.

    “Bukan,Kian…., Westlife hanya sebuah nama yang kau buat sendiri dalam imajinasimu. Kau sangat bermimpi memiliki sebuah grup band musik.”

   “Ng..gak!!  itu bu..kan ima..jina..si.Ak..u me..mbe..ntuk..nya de..ngan na..ma Six ..As One.. dulu, de..nga..n Ma..rk,..Sha..ne, Der..ek, Grah..am da..n Mic..ha..el! De..rek, Mich…ael, da..n Gra..ha..mdi..kelu..arkan, tingg..al ak..u, Ma..rk da..n Sha..ne, lal..u ad..a Ni..cky da..nBr..yan. Ka..u bo..leh men..ele..pon Ma..rk dan Sha..ne, ata..u Nic..ky…., me..re..kabi..sa me..m..bukti..kan..nya. Ak..u tid..ak bo..ho..ng !”

Dokter itu menghela nafas lagi.

     “Kian….,kau tahu kita tidak bisa memanggil Mark, Shane dan Nicky kemari …,”

Kian terkatup, “Ke..na..pa ….?”

     “Karena kau sudah membunuh mereka semua… Kian …, tujuh tahun yang lalu,”

Kian terbelalak kaget, tak percaya mendengarnya.

     “Dan mereka bukan anggota bandmu, mereka hanyasahabat-sahabat mu…., kalian tidak pernah membentuk sebuah band bernamaWestlife.”

    “Nggak…,kamu bohong…. Ken..apa a..ku mem..bun..uh me..re..ka ka..lau me..rek..a ada..lah tem..anku ?” protes Kian, tidak terima ia dikatakan telah membunuh tiga sahabat terdekatnya itu.

     “Kau yang memberitahukanku, Kian. Kau bunuh Shane, pertama, karena ia mengencani Gillian sepupumu, orang yang paling dekat denganmu, tempatmu bertumpu dari semua yang telah menimpamu. Kau menganggap Shane telah mencuri Gillian darimu .Lalu Mark…, kau membunuhnya karena pacarmu Jodi tidur dengan kawanmu Mark, yang kau yakini adalah seorang gay. Dan Nicky…, kau membunuhnya karena kau ingin mencobamobil sport terbarunya, namun tidak ia izinkan, hingga membuatmu marah lalu membunuhnya. Kau membunuh mereka semua Kian….”

Kian terkatup tak percaya, dadanya kembali sesak dengan pengingkaran.   “Tid..ak mu..ng..kin….,ken..apa ak..u me..lak..ukan it..u se..m…ua…., aku …bu..kan mo..nst..er, a..ku ti..dak mu..ngkin me..mbu..nuh.. saha..ba..t k..u sen..diri ..kan….,”

     “Kami percaya, kau bukan monster, tapi sesuatu telah mengubahmu. Pengalaman masa kecilmu yang merubahmu.”

     “Peng..ala..man..m..asa ke..cil ?”

     “Kau mengalami penyiksaan fisik dan batin selama kau berada di St. O’Malley House ofBoys, tempat kedua orang tuamu menitipkanmu sejak kau berusia 6 tahun hinggausia 13 tahun. Mereka yang mengubahmu, Kian. Dan kau berada di sini sebagai pengganti berada di dalam penjara normal. Kau berada dalam perawatanku, Dr. Simon Cowell.”

Dadanya semakin sesak, air mata mengalir di pipi. ‘Nggak mungkin…, nggak mungkin ini terjadi…, ini pasti mimpi….,’ Ia ingin berontak melawan kenyataan dan ikatan kuat di tangan juga kakinya, tapi terhenti dengan sumpalan karet yang kembali dimasukkan ke dalam mulutnya.

Kian tersadar dengan apa yang akan terjadi lagi. Semakin berontak melawan. Tapi hanya menambah rasa sakit yang luar biasasaat  kejutan listrik itu ditembakkan lagi ke tubuhnya, mematikan seluruh syaraf. Air liur langsung mengalir tak dapat ia hentikan. Celananya sudah basah karena tak dapat menahan air seninya yang keluar dengan sendirinya.



Berapa kali kejutan itu ? Kian tak tahu, karena semuanya menjadi gelap.



****



Kian kecil melantai menggosok-gosok sikat lantai yang diikatkan di kedua tangannya di lantai batu dan kasar Ruang Missa sebesar setengah lapangan bola. Ia harus membersihkan seluruh lantai ruangan ingin seorang diri setelah tadi pagi terlambat bangun mengikuti Missa pagi, setelah tadi ia menjalani hukuman berlutut selama dua jam lamanya di depan patung Bunda Maria. Kakinya bergetar hebat dan hampir pingsan, ia pun langsung kehilangan sarapan paginya. Lututnya sudah lecet dan berdarah saat ia berusaha menarik tubuhnya berusaha mencuci lantai ruang missa ini. Kian sudah tak kuat lagi. Keringat mengalir di keningnya. Ia mencoba mengelap dengan tangannya namun hanya membuat wajahnya dipenuhi kotoran dan air sabun dari sikat lantai yang ikut ke wajahnya.



WHACK !!!



   “AW!!! “ Kian memekik kesakitan dan tersungkur dengan sabitan keras dari sebuah sabuk using mengenai punggungnya. Ia memekik kembali dengan lehernya yang dicengkeram kuat olehnya. Dengan tidak ada sehelai rambutpun tertinggal di kepala plontos kecil Kian, lehernya yang selalu menjadi sasaran untuk mencengkeram.

Kian tercekik, berusaha mencari setitik udara.

  “Kerja yang bener….! Waktumu tinggal 15 menit lagi, jika kamu belum selesai juga, hukuman lain menunggumu. Mengerti!!” suara pria berjubah yang amat ditakutinya itu terdengar di atasnya. Bapa Louis Walsh.

Kian mengangguk di tengah kesakitannya dan usahanya bernafas. Dihempaskan kepala Kian ke lantai,

Kian menarik nafas kesakitan. Air mata mencuri mengalir di pipinya.   

    “JANGAN NANGIS! Manja!” ditendangnya pantat Kian, hingga ia tersungkur lagi mengenai ember berisi air sabun hingga tumpah semua membasahi lantai yang sudah ia bersihkan tadi.

Pria itu melotot marah dan langsung menarik baju tipis Kian, dilepaskan ikatan kedua tangan kian dari sikat lantai yang besar itu, dengan meninggalkan memar merah mengeluarkan darah di kedua pergelangan tangan kecil itu. Dan tanpa ampun menariknya darisana.

Kian memekik kesakitan, dan berontak dari cengkeraman pria yang seharusnya menjadi pelindungnya selama ini, namun tak kuasa, dan hanya pasrah ke mana ia akan dibawa.



   “Dasar, anak tak berguna!!!” dihempaskannya tubuh kecil itu ke sebuah ruangan yang hanya diterangi oleh beberapa lilin.



    “Buka bajumu!, semuanya!” perintahnyalangsung.



Kian mengkeret dan perlahan membuka pakaiannya yang hanya satu kaos dan celanapanjang tipis berbahan kain kasar, menunjukkan tubuh kecilnya yang sudah dipenuh luka-luka dari ujung kepala hingga ujung kakinya.



Kian tak kuasa melawan saat tangannya ditarik ke atas dan terbelenggu pada rantai lalu ditariknya ke atas, hingga hanya ujung ibu jari kakinya yang menyentuh lantai batu itu. Ia tahu ini akan terjadi lagi, selalu terjadi padanya.



Kian menahan nafas dengan pria itu mengeluarkan sebilah papan tebal yang diarahkan ke pantatnya. 

Ia sempat mengucapkan doa sebelum merasakan bilah papan itu mengenai pantat Kian dengan keras.



    “Jangan lupa menghitungnya, Kian…,”

Kian tercekat, dan langsung menghitungnya, “S..satu..!”

Pukulan lagi.Kian menghitungnya, “D..dua…!”

Dan seterusnyam hingga hitungan ke 25.



Pantat Kian terasa sakit dan panas. Pipinya sudah basah oleh air mata. Keringat sudah membasahi tubuhnya kecilnya seiring usahanya menahan pekikan kesakitan di setiap pukulan itu. Kedua tangannya terasa putus dan keluar dari tempatnya, karena menopang seluruh tubuh tubuh kecilnya. Ia juga merasakan aliran darah mengalir tipis di kakinya akibat luka terbuka yang disebabkan bilah papan besartebal itu. Tapi tahu, hukumannya jauh dari kata selesai.



Ia kemudian merasakan pukulan di perut dan iganya bertubi-tubi.



“UHUK” Kian meringis menahan sakit dengan memejamkan mata kuat-kuat.



Setelah puasmemberi hukuman, akhirnya,



     “Bapa harap kau bisa belajar darikesalahanmu, nak …., tidak salah keluargamu menitipkanmu disini”  pria berjubah itu meninggalkan Kian yang tetap tergantung di rantainya dengan lebam di sekujur tubuhnya.



Kepala Kian terkulai lemas, tak memiliki tenaga lagi untuk menanggung rasa sakit di tubuh 11 tahunnya itu.



Kian terkesiap terbangun dengan nafas memburu dan jantung berdebar keras.  Tubuhnya bergetar kuat. Tetap tak dapat menggerakkan tubuhnya. Kini ia terikat di tempat tidurnya sendiri. Dinding berlapis bantal empuk berwarna putih mengelilinginya.



Semuanya terasa nyata. Ia dapat merasakan sakit di sekujur tubuhnya dan emosi yang menyesaknya. Ia merasakan benar bahwa semua itu memang terjadi. Sesuatu yang menjadi kenangan buruknya.

Kian menggeleng kepalanya dengan panik, mengingkarinya. Keringat membasahi tubuhnya. Tidak mungkin ia melakukannya. Tidak mungkin ia melukai sahabat-sahabatnya. Namun semuanya tampak nyata, ia telah membunuh ketiga sahabat terdekatnya, sepupu tersayangnya dan kekasih tercintanya.



Kian berontak mengingkarinya. Ia ingin keluar dari sini, ia harus keluar untuk bertemu dengan Shane, Mark,Nicky, Gillian dan Jodi. Ia yakin mereka semua masih hidup dan sehat-sehat saja di luar sana. Kian berontak sekuat tenaga melepaskan diri dari ikatan sabuk di kedua tangan dan kakinya. Namun hanya suara guncangan tempat tidur yang terdengar. Hingga ia kelelahan sendiri dan berhenti. Air mata kembali mengalir di pipinya. Ia kini terkurung dalam sebuah kamar di rumah sakit jiwa karena perbuatannya.



Ia terkesiap siaga dengan kunci diputar dan pintu terbuka. Dr. Cowell, ditemani perawat pria besar yang kini dilengkapi dengan senjata pelindung di pinggangnya, masuk membawa sebuah suntikan.



   “Waktunya untuk minum obat, Kian,” dengan menunjukkan suntikan berisi cairan berwarna hijau muda itu.



Kian melotot melihatnya ia tahu apa isi obat itu, dan langsung berontak, “Jangan, jangan lagi, aku mohon janganbuat aku tidur lagi !” memekik ketakutan.



    “Maaf, Kian, tapi ini untuk kebaikanmu. Bersyukurlah kau tak harus menghuni penjara untuk seumur hidupmu, nak.”



Kian masih melihat dokter itu dengan horror, saat ia merasakan kepalanya ditahan kuat menyamping ke kiri, dan merasakan benda tipis dan tajam itu menembus lehernya.



   “NGGAAAAAAKKKK!!!!” Kian memekik kesakitan sekencangnya namun perlahan mereda dengan satu ampul besar cairan tersebut masuk ke dalam pembuluh darahnya dan bekerja maksimal, mematikan seluruh syaraf tubuhnya.



Dr. Cowell menarik nafasdalam-dalam prihatin dengan pemuda berusia 25 tahun ini. Kian hanyalah korban dari trauma masa kecilnya akibat siksaan fisik oleh seseorang yang seharusnya melindunginya. Ia kini telah membunuh kawan-kawannya dan terbuang dari keluarganya. Tak ada keluarga yang akan menerimanya kini. Ia seorang diri sekarang. Jujur ia sudah sangat menyayangi pasiennya ini.



Diusapnya rambut coklat itu penuh kasih sayang,



   “Jangan takut, kau akan baik baik saja di sini, aku yang menjagamu. Tidurlah dengan nyenyak untuk 72 jam ke depan. kita ketemu lagi dalam tiga hari, Kian,” dengan senyuman terakhirnya, ia meninggalkan pasiennya untuk beristirahat.



****



                Kian tersenyum dalam tidurnya. Ia kini berdiri di atas panggung megah bersama ketiga sahabatnya, dalam konser besar Westlife, di hadapan ribuan penonton yang meneriakkan nama mereka.Westlife yang telah menjadi impian Kian selama ia terkurung dari rumah neraka itu, dan mampu mewujudkannya bersama Shane dan Mark selepas lulus dari sana. Atas bantuan ibunda Shane yang menemuui seorang manager bernama Louis Walsh yang kemudian mempertemukan mereka dengan produser kawakan bernama SimonCowell, dan membawa Westlife menjadi grup boyband terkenal dan terbesar di sepanjang masa di seluruh dunia. Dan detik ini tidak hanya mereka yangmenikmatinya. Ia menengok ke sampingnya, ada Jodi istri tercantik dan tersetianya, Shane bersama istrinya, Gillian, sepupu tersayangnya yang kini sudah dilengkapi 3 buah hati lucu-lucu, serta Nicky bersama istrinya Georgina beserta putra kembarnya, dan terakhir Mark, sahabat gay nya yang  kini berbahagia bersama kekasihnya Kevin. Oh,tidak lupa dengan sosok mungil yang digendongnya, bocah berusia 6 bulan yang begitu mirip dengannya dan sama sekali tidak mirip dengan Mark. Kian tersenyum bahagia, mereka kini berdiri lengkap di atas panggung, mengusung kejayaan Westlife yang tidak akan lekang oleh waktu. Biarlah Kian menikmatinya. Jika memang itu hanyalah mimpi dan khayalan Kian semata, biarkan. Kian tak peduli jika ini nyata atau tidak nyata, ia akan menikmatinya.

Kian semakin tersenyum dalam balutan obat biusnya yang super kuat. Air mata kembali mencuri mengalir di kedua ujung matanya yang tertutup. Ia menangis saking bahagianya.





THE END


No comments:

Post a Comment