Rate : K
Pairing : Finnnin (5 tahun) , Ciaran (10 tahun) Mark, Rossie, dan Kee-an.
Summary: Setelah sehari berlalu dari pesta Jengkol Westlife, Mark merasakan
akibatnya. Dan dia dikunjungi oleh dua keponakan istimewa yang lebih-lebih
membuat dia tak dapat beristirahat dengan tenang di rumah.
Look the Prequel : Westlife vs Jengkol :)
****
Ctak… ctak… ciaaat…., hiaaaaaaaaatttttttt! “Aarrrrrrrrghhhhh!!!!!”
BRUG ! Dua tubuh kecil menimpa tubuhnya kelelahan di lantai.
“Dadda mati !!!!” sorak
keduanya, dengan masing-masing menghunuskan pedang mainan di perut dan dada ayahnya.
Kee-an tersengal-sengal terlentang di lantai dengan menutup mata
pura-pura mati. Dua tubuh kecil sosok kebanggaannya berpakaian bajak laut,
lengkap dengan jubah dan topi bajak laut serta penutup di salah satu mata
mereka, masih duduk di atas perutnya.
“Ayo Finn, perompaknya sudah
mati, kita bisa cari harta karunnya,” seru Ciaran beranjak berdiri diri perut
ayahnya.
Kee-an mengintip dengan membuka tipis salah satu matanya, tersenyum
simpul.
Finnian memergokinya.
“Kak! Perompaknya masih idup!!!”
“Heh?” Ciaran berbalik.
“Dadd_”
Kee-an tersenyum lebar, dan bersorak girang, “Perompaknya hidup lagi
dan berubah menjadi …. “monster kitik-kitik” seraya menerkam tubuh kecil
Finnian lalu menggelitikinya pinggang perut dan lehernya gemas.
Finnian menggeliat kegelian dengan tawa tergelak.
“Dadda…, brenti kyaaa haahhha…hehehe,
daddaa!” Finnian meronta tergelak tapi tak berdaya dengan gelitikan ayahnya.
“Kaakkk, tolong-iiinnn…. kyaaa haahhh…hehehe, brenti daddaa!!!”
“Pertolongan datang, Finn!”
seru Ciaran dan langsung melancarkan jemari kecilnya menggelitiki pinggang
ayahnya.
Kee-an yang tak tahan gelitikan langsung menyerah dan melepaskan
gelitikan Finnian. Ia tergelak kegelian.
“Finn, kita serang monster
kelitik-kelitik!!!”
Mendengar seruan kakaknya, Finn langsung dengan semangat membantu
kakaknya menggelitiki ayahnya sampai benar-benar tak berdaya.
Kamar Ciaran yang sudah seperti kapal pecah ini dipenui gelak tawa kegelian.
“Ampun…ampun…dadda nyerah!”
Kee-an benar-benar takluk juga sudah berhadapan dengan serangan kelitik kedua
putranya.
“Kalimat ajaibnya dulu,
Dadda…” sahut Ci tanpa menghentikan kelitikannya.
“Kalimat ajaib… kalimat
ajaib apa ?”
“Bilang tiga kali “Kudaku keren
sekali”…baru kita lepasin…” seru Ciaran penuh kemenangan. Ia tahu ayahnya
teriritasi dengan kata kuda, tapi kuasa ada di tangannya, ayahnya sedang jadi
korban, pilih mengatakan ‘kuda keren’ atau terus dikelitiki.
Kee-an menutup mata, “Masak harus itu, Ci, kalimat ajaibnya ….?”
protes Kee-an.
“Yup, dadda bilang kudaki
keren tiga kali, baru kita bebasin dadda dari monster kelitik, ya nggak Finn?”
Finnian hanya mengangguk, menuruti kakaknya.
Kee-an menghela nafas pasrah. Tapi Ciaran meningkatkan kelitikannya di
pinggangya….
“Iya… iya… dadda nyerah….!”
“Kalimat ajaibnya, dadd !”
Kee-an menahan nafas sebelum berucap “Kuda Ci, keren sekali …. Kuda Ci,
keren sekali…… Kuda Ci, keren sekali….”
Ciaran tersenyum lebar…., “Kalimat ajaib diterima….,” ia melirik
adiknya, “bagaimana, Finn, kita lepasin dadda?”
Sekali lagi Finnian mengangguk, “Yup, lepasin dadda.”
Ciaran mengangguk setuju, dan langsung menghentikan gelitikannya.
Kee-an menarik nafas kelegaan begitu tangan-tangan kecil itu melepas
pinggangnya.
“Ayo, Finn, kita cari harta
karunnya sekarang,” Ciaran menggenggam tangan adiknya dan bangkit dari perut
ayahnya .
Kee-an tersenyum bahagia di tengah engahan nafasnya, memperhatikan
dari belakang dua putranya yang sehat dan menggemaskan, putra kesayangan dan
kebanggaannya.
Tapi senyum bangga langsung sirna dengan Ciaran mengajak adiknya membongkar
buku-buku yang sudah tersusun rapi di rak lemari buku (hanya sebagian buku,
dari seluruh buku yang dimiliki Ciaran dan tersimpan rapi di perpustakaannya)
“Nggak ada di sini, Finn,
petanya…,” Ciaran membuka satu buku lalu menutupnya kembali dan melemparnya
begitu saja. Kemudian mengambil buku yang lain, “mungkin di sini….,” membukanya,
“Nggak ada juga,” lalu menutupnya kembali dan melemparnya begitu saja- dan
terus begitu.
Kee-an tak berkutik dengan apa yang sedang dilakukan Ci dan Finn. Ia
melihat sekelilingnya. Kamar Ciaran sudah
tak berbentuk lagi. Bercerita seperti sebuah kapal di tengah laut, sebentuk
kapal mainan yg cukup besar teronggok di tengah kamar…, kain-kain direntangkan
bak sebuah layar…., sebuah tiang lengkap dengan bendera bergambar tengkorak dan
buku-buku-berserakan di lantai. Kee-an hanya bisa geleng-geleng kepala. Kedua
putranya memang terlalu kreatif, terlebih Ciaran, ia selalu punya ide untuk
menciptakan sesuatu yang dapat bermain menyenangkan bersama adiknya. Kee-an
tersenyum bangga.
Tiba-tiba Ciaran berhenti mencari dan melongok jam tangannya.
“Sudah jam 10, Finn, kita
berhenti dulu, Shaun The Sheep sudah mau mulai…”
“Hoh? Shaun The Sheep….,”
senyum merekah indah di bibir Finnian.
“Kita terusin nanti lagi, ya
….,” dan mengulurkan tangan pada adiknya.
Finnian hanya mengangguk menurut.
Ciaran menggandeng adiknya keluar kamar meninggalkan ayahnya yang
masih takjub dengan tingkah kedua putranya .
“Jadi udahan nih, mainnya ….?”
“Udahan dulu . Nanti
diterusin lagi ….,” Ciaran menyahut dengan cueknya.
Kee-an menghela nafas dan geleng-geleng kepala mengikuti mereka
keluar.
Dalam sekejap mereka sudah duduk manis di depan layar tivi.
Kee-an melenggang ke dapur menuju Keavy yang sedang memanggang CupCake,
ditemani Rossie sebagai asistennya.
“Jadi, bagaimana Tuan perompak
kita ?” Keavy menggodanya, dengan melirik jenaka pada Rossie di sampingnya.
“Kalah telak…, mereka
menggelitikiku dan memaksa menyebutkan kalimat ajaib, dan kau tahu apa kalimat
ajaibnya ?”
Keavy menggeleng.
“Kuda Ci keren sekali,”
dengan keki.
“Mphhhhm,” Keavy hampir
meledak tawanya jika tidak melihat wajah suaminya yang memelas kalah. “Kuda Ci keren
sekali…., itu kalimat ajaibnya?”
Kee-an mengangguk pasrah.
“Well, good one…,” Keavy mengambil
satu cupcake dan disodorkan ke mulut suaminya yang langsung digigit oleh
Kee-an.
“And this one is good too,” Kee-an
berkomentar dengan mulut penuh cupcake.
Keavy mengangguk tersenyum seraya mengecup bibir suaminya, “Thankyou , love .”
“Look at our boyz…,” Kee-an melirik
takjub kedua putranya yang tak lepas kedua matanya menatap plasma 42’ di ruang tengah
bergambar shaun the sheep di sana, dengan posisi yang sama, Finnian akan
tiduran di kaki kakaknya, dan Ciarana akan memainkan rambut pirang adiknya. “They’re getting bigger everyday…”
“And getting even gorgeous as they father are
…,” timpal Keavy tersenyum bangga.
“Then that will called my sons…”
Keavy tersenyum simpul…, “Yup, your
sons, Mister Gorgeous Egan…,” dengan mengecup kembali tipis bibir suaminya.
Kee-an tersenyum dengan puasnya, sebelum ia bergabung di karpet
bersama kedua putranya menonton acara kesukaan mereka, dengan membawa 4 buah
cupcakes yang sudah bertoping menarik mata dan lidah, penuh gula warna warni dan
coklat.
Begitu tahu ayahnya datang, Finnian segera pindah posisi dengan duduk
di pangkuan ayahnya, dan bersandar dengan nyaman di dada ayahnya yang bidang.
Sementara Ciaran langsung mencomot Cupcake yang berhias wajah smurf warna
hijau.
Program acara Shaun the Sheep hanya berlangsung setengah jam, dan
segera berganti dengan program anak lainnya, yang sama sekali tidak disukai
Ciaran dan Finnian….: ‘Barbie- Tumbelina Fairy Tale.’
Finnian segera bangkit dari pangkuan ayahnya begitu program Shaun The
Sheep berakhir, dan menuju rak berisi buku gambarnya.
“Gambar, Finn?” Ciaran memastikan.
Finnian hanya mengangguk tanpa berucap dan segera membuka buku gambar
besar dan memegang spidolnya. “Kakak, gambar juga …”
“Iya…, kakak gambar juga…”
“Mau bikin apa, Finn?” tanya
Kee-an penasaran.
“Kebun binatang…,” sahut
Finnian ringan.
Kee-an hanya mengangguk penuh kebanggaan.
“Nanny Rosssiiiiieee!!!!!
Kamar Ci sudah bisa diberesin, kita sudah selesai main bajak lautnya, sekarang
kita mau main menggambar !!!!” pekik Ciaran cuek dengan tetap membantu adiknya menggambar
di kertas putih besar itu.
Rossie yang sedang memasukkan Loyang terakhir berisi cupcake ke dalam
Oven bertingkat bagian bawah langsung mendongak
JDUK ! “ADUH!” pekik Rossie
tertahan dengan memegang keningnya.
“Hoah! Maaf!” seru Keavy
dengan langsung mengusap-usap kening Rossie yang terkena pintu atas oven yang
dibukanya bersamaan dengan Rossie tiba-tiba mendongak. “Maaf, Ross…, kamu juga
tiba-tiba mendongak. Sakit nggak?” Keavy langsung tidak enak, terlebih mulai
terlihat biru di kening Rossie.
Rossie mengusap-usap keningnya, “Panas sih…,’ sahutnya pahit. Ya iya
terbentur pintu oven yang panas kan lumayan.
“Aduh…. Sebentar aku olesi
obat dulu…,” Keavy langsung menuju kotak obat dan mengambil obat pertolongan
pertama luka bakar.
“Heh? Kenapa Ross…?” Kee-an
langsung ke dapur mendengar insiden kecil di dapur.
“Kejeduk pintu oven…,” Rossie
nyengir malu.
Kee-an hanya mesem, dan melihat istrinya sudah kembali mengambil obat
yang dimaksud.
Keavy langsung mengolesi salep putih di kening Rossie.
“Nggak papa, kan Ross?”
Keavy memastikan.
“Iya, nggak papa,” Rossie
nyengir pasrah. “terima kasih.”
Keavy tersenyum masih tidak enak.
“Tugas selanjutnya sudah menunggu…,”
balas Rossie melawan kekikukan Keavy, dan langsung menuju kamar Ciaran untuk
merapikannya.
Kee-an dan Keavy hampir tertawa lepas bersama dengan kejadian tadi,
terlebih dengan bulatan putih di kening Rossie, tapi langsung ditahan, tidak
enak dengan ROssie.
“Behave, Mr. Egan…,” Keavy memperingatkan dengan berusaha menahan
tawanya.
“I’am!” seru Kee-an benar-benar susah
payah menahan tawanya.
*
Rossie berdiri tertegun di depan pintu kamar begitu melihat kamar
Ciaran yang benar-benar seperti kapal pecah, kain-kain menyebar tidak jelas,
kapal mainan teronggok di tengah kamar, belum lagi buku-buku yang tersebar di
lantai. Dan dia harus membereskannya? Butuh beberapa saat untuknya menarik
nafas dan mengendalikan urat sabar akan dua anak asuh tersayangnya ini.
“Keavy…keavy anakmu memang
super hebat,” keluhnya, terimplisit rasa bangga. Dan langsung mulai membereskan
kamar Ciaran, yang entah dari mana ia harus memulainya.
Di tengah ia membereskan kamar Ciaran yang baru setengah jalan,
tiba-tiba ponselnya berbunyi. Rossie meliriknya dan melihat nama Barry di
layar. Ia langsung mengangkatnya.
“Ya, Barry…?” sahut Rossie
dengan tetap menata buku-buku Ciaran di rak.
“MAYDAY, MAYDAY, CODE
RED-CODE RED!”
Rossie langsung tersiaga dengan kalimat CODE RED dari seberang sana.
BRUK ! “Aduh!” pekik Rossie
tertahan
Saking kaget dan tidak terkonsentrasi, Rossie menjatuhkan buku-buku
yang akan ia taruhkan kembali ke rak, tapi tak melihat apakah sudah sampai di
rak atau belum, Rossie sudah terlanjur melepaskan tangannya karena kaget.
“Aduuuhh…” desis Rossie
dengan langsung memegang kakinya. Dua
kali dia ketiban sial hari ini.
“Heh, kenapa, Ross?” Barry
lebih kaget lagi.
“Eh, nggak pa-pa, cuma
kejatuhan bukunya Ciaran…”
“Hoh?”
“Udah nggak pa-apa, Code Rode
apaan?” ia langsung kembali focus dengan kata Code Red Barry.
“Mark diare! Kebanyakan makan
jengkol kemarin.”
“Heh, diare? Kebanyakan
jengkol?”
“Hiya, bolak bolik ke kamar
mandi dari tadi pagi, ga selese selese. Sekarang dia nyariin kamu Ross…, dan
dia ngancam nggak akan minjemin aku mobil malam ini, kalau nggak berhasil bawa
kamu ke rumah.”
“Ish, ancemannya….” Rossie
dongkol.
“Ayolah…, pacarmu itu, emang
manjanya nggak ketulungan.”
“Abangmu itu…”
“Calon suamimu…” balas Barry
tak mau kalah.
“CUKUP! Ya udah jemput aku!
Jangan lama-lama ya _ ”
“Aku sudah di depan gerbang belakang
rumah,”
“Heh, rumah siapa?”
“Ya rumah, Kian, Rossie…!!!”
dengan menahan emosinya. Nggak heran abangnya sama Rossie cocok, mereka
sama-sama suka telat konek. HALAH.
“Oh,” Rossie langsung
melongok ke jendela dan terlihat Barry di atas motornya melambaikan tangannya
dari balik pagar tinggi kediaman Kel. Egan. “ya sudah aku langsung turun ….,”
tanpa pamitan dari seberang, Rossie langsung menutup teleponnya dan lari ke jendela,
akses tercepat ke arah gerbang, dan segera menuruni pohon yang tumbuh sehat dan
tinggi di dekat jendela sebagai tangga naik-turun yang alami, tanpa sempat
berpamitan dengan siapapun.
Barry memperhatikan cewek yang dicintai abangnya itu dengan lincah menuruni
pohon yang berada tempat di samping jendela kamar Ciaran. Tergugu dia
melihatnya, abangnya akan menikahi gadis keturunan tarzan? Terlebih dengan
lincah ia berlari-lari menujunya, dan terlihatlah bulatan putih di kening
Rossie.
“heh, kenapa dengan
jidatmu?” tanya Barry langsung.
"Memang kenapa?"
“Itu benjol?”
“Ooh, kena pintu oven.”
“Heh?”
“Udah jangan banyak tanya,
bawa aku ke abangmu sekarang juga.”
“WOKEH!!”
Dengan cepat Rossie langsung naik ke belakang Barry.
“Siap…?” Barry memastikan
“Siap!” Rossie langsung
memegang pinggang Barry. Dan terciumlah itu aroma tubuh yang sama dengan
abangnya. Aroma khas Klan Feehily.
Tanpa menunggu lagi, Barry langsung tancap gas pulang ke rumah.
*
Ciaran masih asyik ikut membantu adiknya menggambar
kebun binatang yang dibuat Finnian, dan sudah hampir selesai, sebelum akhirnya
ia putuskan untuk mengecek kamarnya, karena kok nggak ada suara-suara aneh dari
kamarnya yang biasa Nanny Rossie teriakkan kalau sedang membereskan kamarnya.
Penasaran ia bangkit dan menuju kamarnya.
“Nann Rossie…,” panggilnya melongok
ke dalam kamar.
Oke, kamarnya sudah mulai rapi, tidak ada lagi kapal besar dengan
tiang dan tirai-tirai, teronggok di tengah kamar, tapi beberapa buku masih tergeletak
di bawah rak, seperti yang dijatuhkan, dan tidak ada Nanny Rossie…
“Nann Rossiee !!??”
panggilnya dengan melongok kamar mandi, melongok bawah tempat tidur, juga melongok
dalam lemari. TIDAK ADA. Mata Ciaran menangkan jendela kamarnya yang terbuka
lebar.
“Heh, Nanny Rossie kabur ….”
Ciaran langsung lari ke luar kamar.
“MAAAA!!!! NANNY ROSSSSIIIIEEEE
KABUUUUUUURRRRRRR!!!!!!!”pekiknya keras sekali.
“Heh!?” baik Kee-an dan
Keavy terkaget dengan pekikan Ciaran. Mereka langsung menghampiri Ciaran
“Kabur? Kabur bagaimana Ci?”
Keavy memastikan.
“Iya, Nanny Rosie nggak ada
di kamar. Sudah aku cari-cari nggak ada, dan jendelaku terbuka lebar. Nanny
Rossie kabur, maaa!!!”
“Ish, nggak kabur, Ci,
bentar, maa telepon Nanny dulu ….,” Keavy langsung menuju telepon yang terduduk manis di meja di samping tempat
tidur Ciaran.
*
Hadoh, boncengan Barry benar-benar mimpi buruk, berasa naik di motor
yang disetiri The Doc Valentino Rossi. Ngebut! Mungkin kalau jalanan yang
dilalui mulus sih, nggak apa-apa, tapi kalau jalannya bergelombang dan belum di
aspal… (ingat rumah Mark lebih pedesaan daripada rumah Shane terlebih Kee-an),
itu cerita lain. Sudah tidak tergambarkan lagi rasa linu, nyeri di pantatnya
saat Barry menerjang bebatuan dan bolongan jalan. Yang ada hanyalah pekikan
mengaduh dan protes Rossie mengiringi perjalanan mereka, dan disahuti oleh kata
‘maaf-tapi ini darurat’ cuek tanpa menurunkan kecepatannya. Rossie hanya bisa
pasrah.
Keadaan
diperburuk dengan tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi.
“Mati aku, Keavy pasti nyariin aku.”
Susah payah,
Rossie mengambil ponselnya dengan tangan yang lain tetap berpegangan kuat di
pinggang Barry.
“YEA KEAV!!!”
Reflek Keavy menjauhkan ganggang telepon dari telinganya begitu
terdengar teriakan kencang dari seberang sana.
“Rossie…?” panggil Keavy
hati-hati dengan perlahan mendekatkan
kembali ke telinganya. “Di mana kamu?”
“MAAAAFFF, KEAV!!!! BARRY
JEMPUT AKU, MARK SAKIT, AKU HARUS KE SANA, MAAF NGGAK SEMPAT PAMITAN!!!”
serunya kencang melawan deru suara motor Barry.
Keavy harus menjaga jarak dari telinganya, jika ingin telinganya tetap
sehat.
“Oh, ya sudah nggak papa,
kalau Mark sakit. Nanti kita juga ke sana deh.”
“OKEEEEHHHH!!!!!!”
“Siap-siap Ross, pegangan
yang kuat….” terdengar suara Barry dari sana.
Tapi belum sempat Rossy siap, ia merasa tubuhnya melayang di udara,
dan bokongnya sudah tidak lagi menyentuh jok motor.
“AAAAAARRRRRRGGGGGGHHHHHHHH!!!!”
BRUK!!! begitu bokongnya sudah membentur jok motor yang sudah mendarat
dengan mulus namun keras di tanah.
HOSH HOSH HOSH!!!!
“BARRYYY!!!!!” pekik Rossie
kesal.
Keavy yang hanya bisa mendengar kegaduhan di seberang sana tanpa tahu
apa yang terjadi hanya bingung,
“Rossie!?” tanya Keavy hati-hati.
“AKU NGGAK PA-PA, KEAVY, AKU
NGGAK PA-PA…, BARRY BARU SAJA NGAJAK AKU BUNGY JUMPING! MELOMPATI SUNGAI KECIL!
SUDAH YAAA, DAAAAAHHHH!!!!”
Klik. Hubungan terputus.
Keavy berkedi-kedip sesaat sebelum menyadari telepon diputus dari
sana.
“Nanny Rosie?” tanya Ciaran
tak sabar.
Keavy langsung tersenyum menenangkan putranya, “Nanny Rossie sedang ke
rumah Oom Mark, Oom Mark sakit.”
“Oooo, ke rumah Om Mark….,”
Ciaran manggut-manggut. “Eh, Om Mark sakit? Sakit apa, maa?”
“Belum tahu, maa juga …”
“Kita tengok sekarang yuk,
Maaa….,” ajak Ciaran langsung.
Keavy surprise dengan ajak Ciaran langsung. Diliriknya Kee-an.
“Dadd, kita tengok Om Mark
yuk….” Ciaran menarik-narik tangan ayahnya.
Kee-an pura-pura menimbang, “Ng…. ayo deh…, kita tengok Oom Mark ….”
Ciaran terbelalak senang, “HOREEEYYY!!!! Finnnn!!!!! Kita nengok Om
Mark…., Om Mark sakit, Finn!”
“Huh?” tapi belum melepaskan
konsentrasinya dari kertas gambarnya.
“Aku siapin Snowy ya, dadd….,” Ciaran penuh semangat.
Kee-an tersengat, “Eh, Snowy? Ngapain nyiapin dia?”
“Iya, kita ke sananya naik
Snowy aja …” dengan berbinar matanya, berharap bisa meluluhkan hati ayahnya.
“TIDAK! Tidak pake Snowy!
Kita naik mobil…!” putusnya keki, sudah dua kali hari ini, ia dongkol karena
mahkluk satu itu.
“Tapi, dadd….?”
“Tidak ada Snowy, Ci,
kecuali kita tidak jadi ke rumah Om Mark,” terpaksa mengancam.
Ciaran sempat merengut, tapi apa daya, ayahnya tidak akan luluh.
“Oke, naik mobil, Dadd….,”
Ciaran mengalah. “Finn…., kita ke rumah
Om Markkk!!” seraya menghampiri adiknya dan mengajaknya bersiap-siap.
***
Kedua kaki Rossi masih bergetar begitu menginjakkan halaman depan
rumah Mark. Giginya berasa beradu
gemelutuk.
“Rossi, kamu nggak apa-apa,
kan?” Barry langsung memastikan dengan cemas.
Rossie menggeleng nanar…., tubuhnya terasa limbung, efek dari
perjalanan yang mengerikan dengan Barry.
“Bagus, ayo!” tanpa ampun,
Barry sudah menarik tangan Rossie masuk ke dalam.
“Eh, Barry!” Rossie memekik
kaget, tapi tak dapat berbuat apa-apa.
Barry menarik Rossie menuju kamar kakaknya di lantai atas.
Sempat terdengar Barry menyapa mamanya saat melintasi Marie yang
Rossie pun hanya bisa berucap, “Siang, Tante….” tanpa sempat berucap banyak.
“Mark, pesenanmu datang
nih!!” seru Barry dengan membuka lebar pintu kamar kakaknya.
PESSSS….. Tercium bau tidak enak menyelimuti kamar Mark Feehily yang
berukuran 4 x 4 tanpa AC hanya terdapat jendela yang besar dan menghadap
langsung kandang ayam. BAGUS, Nice view,
Mark. Tapi sebenarnya baunya bukan dari kandang ayam di luar, tapi dari
kentut Mark yang tidak berhenti berhembus keluar.
“MMPPPPHHH”, keduanya
langsung tutup mata dan menahan nafas.
Dan mereka merasa ada yang melesat di depan mereka dengan kalimat “Maaf!”
BLAM ! pintu kamar mandi ditutup.
Hening sesaat mereka berdua, sebelum akhirnya Barry membuka mata
pertama dan mencoba membuka saluran pernafasannya.
“Well, Rossie, he’s all yours….” Barry
menelan ludah, sebelum keluar meninggalkan kamar.
Rossi masih berkedip-kedip, mencoba beradaptasi dengan segela kejadian
yang terjadi dalam 15 menit ke belakang. Hingga tersadar ia sudah berada di
kamar Mark, dan Mark sudah masuk ke kamar mandi terburu-buru.
“Eh, say….?” berbalik menuju
pintu kamar mandi. “You okay there….?”
penuh perhatian.
“Rrrr….., not really …,” terdengar
sahutan lirih dari dalam. “I’ve got six
times since this morning.”
“Huh?” Waduh ke belakang
sesering itu bisa gawat. “memang kenapa?
Kamu makan semur jengkol lagi ?”
“Iya, ngabisin yang dibawa
ke rumah kemarin.”
Rossie menepok jidat, ‘Adow’
benjol kan, kepalaku…’ “Ya sudah,
aku buatin Oralit dulu ya , punya Norit nggak?”
“Nggak tahu, tanya mama,
sana….”
Rossie hanya memutar bola matanya, dan segera keluar kamar mencari
Tante Marie.
Ternyata mereka menyimpan norit, dan mamanya kaget, Mark ke belakang
terus dari tadi pagi, karena ternyata Mark tidak bilang ke ibunya dan hanya
bilang pada Barry. Kalau bilang kan, sudah dari tadi tuh anak minum norit. Ah, betapa pintarnya kau, Mark Feehily……pintar
sekali.
Setelah mendapatkan norit, Rossie langsung menuju dapur dan membuatkan
segelas larutan gula dan garam, sebagai pengganti cairan yang keluar banyak
sejak pagi.
Kembali ke kamar Mark, Mark sudah selesai dengan tugasnya. Wajahnya
pucat dan lesu. Ia langsung menuju tempat tidurnya dan terkapar di sana.
“Rossiee, tolongin aku ….,”
rintihnya manja. “eh, kenapa jidatmu, say?”
“Kejedut pintu oven.”
“Pintu oven?”
“Iya, tadi pagi aku dan Keavy
buat Cupcakes, dan kepalaku kejedut pintu oven saat Keavy membukanya.
“Sakit?”
“ya, lumayan, sih,. Tapi sudah
nggak lagi.”
“Sini aku, cium, biar cepet
sembuh,”
Rossie tersenyum senang dan mendekatkan keningnya ke bibir Mark.
Cup.
“Sudah, cukup, sekarang
giliranmu yang harus cepat sembuh,” langsung naik ke atas tempat tidur,
“Iya…iya sayang, aku di sini….minum ini dulu yuk,” dengan menyodorkan satu
butir norit ke mulut Mark.
“Pait, nggak?”
“Yah, namanya Norit, pasti
pahit lha,”
“Nggak mau ah…,”
“Ish, jangan kayak anak kecil, mau sembuh
nggak? Kamu kan nggak seumur Finnian….” Sumpah, terkadang mengurus Mark sama
butuh kesabaraannya seperti mengasuh Ciaran dan Finnian.
Mark hanya merengut tapi diturutinya dengan membuka mulut, dan
membiarkan butir kecil berwarna hitam pekat, berasa pahit itu masuk ke dalam mulutnya, didorong
oleh air mineral.
Mark harus menutup mata rapat-rapat saat pil pahit itu menyentuh dan
menyangkut di bagian belakang lidahnya.
“Air… air! Pahit!!” serunya
panik mencari gelas yang dibawa Rossie
Rossie
langsung memberikan gelasnya dan Mark menghabiskan langsung seluruh air yang
ada di dalam gelas
“Aaaaahhhh…..,” Mark menarik
nafas lega pil hitam jahanam itu akhirnya masuk dengan suskse ke dalam
perutnya, dan sudah tak terasa lagi pahit di lidah dan mulutnya.
“Nah, sekarang ini,” Rossie
menyodorkan satu gelas lagi yang berwarna putih keruh.
“Apaan lagi, nih?”
“Larutan Garam dan gula.”
“Buat?”
“Buat pengganti carian
tubuhnya yang hilang dari tadi pagi, sayangku, cintaku…,” Rossie dengan
gemas.
“Oooo….” dan tanpa ragu
diminumnya larutan itu. Rossie hanya geleng-geleng kepala.
“Dan sekarang istirahat, aku
di sini nemenin kamu…”
“Owh, thankyou, my Rossie, what would I do without you?” dengan
mata mata berterima kasih mesra.
Rossie tersenyum penuh cinta dan mengecup tipis bibir kekasihnya.
“Lain kali, kira-kira ya, kalau makan jengkol, jangan maruk n kebanyakan. Mabok
jengkol kan jadinya ….,” Rossie mulai berceramah.
Mark langsung manyun dan menarik bantalnya untuk menutupi wajah dan
telinganya dari ceramah kekasihnya ini. Ia sudah merana dengan perutnya ini,
janganlah ditambah dengan kicauan burung Rossie, meski aslinya suara normalnya
memang seindah burung beo….*ISHDZIG!
“Eh, Mark…,” Rossie sudah
siap protes dengan sikap Mark, tapi langsung luluh begitu terdengar dengkuran
halus dan beraturan.
“Jiah! Tidur nih anak,
perasaan belum aku kasih obat tidur…” tapi langsung tersenyum, Mark pasti
sangat kelelahan dan lemas setelah 6 kali balikan ke kamar mandi mengeluarkan
yang seharus menjadi sumber tenaganya. Dikecupnya kening Mark penuh cinta, “Get some rest, love, I’ll be here, when you
wake up…,”
Mark hanya mendesis dalam alam bawah sadarnya.
PESSSS – senyum kelegaan
tersungging tipis di bibir yang terlelap tidur itu.
Rossie spontan menahan nafas dan menutup matanya rapat-rapat.
Butuh beberapa saat untuk Rossie berani membuka mata dan membuka
kembali saluran pernafasan hidungnya.
Dilihatnya sosok laki-laki yang begitu ia cintai sudah terlelap dengan
nyamannya.
“You are not perfect, Mark,
but that’s why I love you so much…” dikecupnya sekali lagi kening
kekasihnya, sebelum ia tiba-tiba tersadr dengan radar istimewa yang menangkap
sinyal tidak enak.
“OOMMM MAARKKKK!!!” pekikan
cempreng terdengar di pintu depan bawah hingga kamar Mark.
Rossie menepok jidat, ‘Aduh, dua tuyul kesayangannya, datang!’ Ia
segera bangkit dari duduknya, bersamaa Ciaran dan Finnian muncul di pintu.
“Om?” Ciaran dengan tatapan
polosnya.
“Sssh…., Om Mark sedang
tidur, jangan diganggu, kita keluar saja ya…,” Rossie langsung menggiring dua
anak asuhnya keluar kamar Mark, membiarkan Mark istirahat dengan tenang.
“Tapi, kita kan mau nengok
Om Mark, katanya Om sakit ?” protes Ciaran. “Ih, Nanny kenapa jidatnya?”
menunjuk bulatan kecil di kening Rossie.
“Nggak papa, sayang, nanny
nggak apa-apa…”
“Iya, kita
mau nengok Om Mark,” Finnian menimpali.
“Iya, sekarang sudah tidak
lagi, dan om Mark sedang istirahat, jadi jangan diganggu. Ci ingin Om Mark
cepat sembuh, kan?”
Ciaran mengangguk pasti.
“Makanya kita keluar, jangan
di kamar sini,” setengah menyeret Ci untuk mau keluar seluruhnya dari kamar
Mark.
Setengah terpaksa Ciaran pun ikut keluar yang diikuti Finninan.
Di luar Keavy dan Kee-an terlihat sedang bercengkerama dengan Tante
Marie dan Om Oliver.
“Gimana Mark?” Keavy langsung
bertanya.
“Sudah nggak papa, sudah aku
beri norit sama oralit tadi, sekarang dia tidur.”
“Kenapa dia?”
“Mabok jengkol,” Rossie
menelan ludah malu.
Kee-an hampir tertawa tapi ditahan karena di hadapan ortu-nya Mark.
“Jengkol yang kemarin?”
“Yup, dia habisin semua
sisanya di rumah. Begini deh jadinya.”
“Dan dia tidak bilang sama
tante kalau dia ke belakang terus dari tadi pagi, tau-tahu, Barry sudah jemput
Rossie ke sini. Maaf lho ya, sayang, sudah merepotkanmu.”
“Nggak apa-apa kok, tante…”
Rossie tersenyum sanjung dipuji oleh
calon ibu mertua.
Ciaran memperhatikan dari jauh para orang dewasa itu bercakap-cakap.
Sudah pasti dirinya tidak akan diajak serta dan pastinya juga lama. Tapi dia ke
sini kan mau nengokin Om Mark. Apa judulnya menengok, kalau tidak lihat Om
Mark…
Ciaran memastikan Nanny Rossie tidak melihatnya, lalu mengenda-endap
ia kembali ke kamar Om Mark.
Ciaran tersenyum sungging, begitu melihat ternyata Finnian sudah
berada di sana – entah bagaimana ceritanya- dan sudah duduk di samping Om Mark
yang masih terlelap tidur. Tapi apa itu yang di tangan Finnian, dan apa yang Finn
lakukan di wajah Om Mark?
Ciaran hampir memekik histeris saat melihat Finnian dengan asyiknya
menggambar di wajah Om Mark dengan spidol merahnya.
“Finnian,” desis Ciaran
menahan suaranya, agar Oom-nya tidak bangun.
Finnian menengok dan tersenyum lebar, “Kak, bagus kan kak, om Mark
sakit cacar air ….”
Ciaran melihat dengan pasti hasil karya adiknya di wajah Om Mark…
Antara sakit perut menahan tawa plus bersiap-siap dimarahi maa dan
dadda…
Wajah Om Mark sudah dipenuhi bulat-bulat kecil berwarna merah.
Ciaran menutup wajahnya sendiri, “Aduh Finn…., Tante Rossie pasti
marah besar ini ….”
“Huh?”
“Ayo, kita keluar dari sini,
sebelum ketahuan tante Rossie, maa dan dada….” Seraya menarik tangan adiknya
turun keluar kamar.
“Kak, aku pengen di sini….!”
“Sssh…, jangan di sini, kita
main di luar. Kita lanjutkan pencarian harta karun kita.”
“Harta karun, kak?” langsung
tertarik.
“Iya,” dengan cekatan mereka
berdua sudah keluar rumah melalui pintu belakang tanpa diketahui orang dewasa.
Di halaman Ciaran langsung menemukan sekop kecil. Diambilnya lalu
diberikannya pada adiknya.
“Finn, harta karunnya ada di
dalam tanah, Finn gali saja sampai ketemu harta karunnya.”
“Iya, kak?”
“Iya, tapi satu galian saja
ya ….?”
Tiba-tiba,
“CIARAAAANNNNN !!!!!!”
pekikan marah Mark terdengar keras dari dalam rumah.
Ciaran terhenyak menutup mata, sementara Finnian sontak menangis
kaget. ‘Waduh Om Mark sudah bangun’
”Sssshh, jangan nangis…,
jangan nangis Finn, kakak yang tanggung jawab. Finn main di sini saja.”
“CIARAAAANNN!!!!” pekik
marah selanjutnya terdengar dari ayahnya.
“IYAAAA!!!!! – Pokoknya Finn
di sini aja, jangan ke mana-mana ya .”
Finnian hanya mengangguk, dan melihat kakaknya melesat masuk ke dalam
rumah .
Ciaran sudah siap menghadapi kemarahan ayahnya,
terlebih kemarahan Nanny Rossie. Dan benar saja, para orang dewasa sudah
berkumpul di kamar Oom Mark, dengan oom Mark sudah terbangun dan menyadari
wajahnya sudah dipenuhi butiran-butiran spidol berwarna merah.
“Apa ini, Ciaran…?” Nanny
Rossie sudah berkacak pinggang. Baik wajah Nany Rossie dan Om Mark, juga
ayahnya, sudah merah padam menahan marah.
Ciaran mencoba memberi senyuman tanpa dosa. “Cacar Air, Nann….”
kesemuannya hanya geleng-geleng kepala.
“Tapi jangan takut, dadd,
itu bisa dihapus kok, Finn bawa spidol yang bisa dihapus….”
“Finn? Jadi ini hasil karya
Finnian?” Kee-an memastikan.
UPS! Ciaran menutup mulutnya karena kelepasan bicara. “Tapi aku yang
nyuruh kok, Dadd.., bener aku yang nyuruh.”
Mark melihat Ciaran berusaha melindungi perbuatan adiknya, sama
seperti dulu saat ia selalu melindungi perbuatan/kenakalan Barry ataupun Colin
di depan orang tua mereka.
“Sudah cukup, nggak papa, kok,
asal bisa hilang saja,” Mark langsung membela keponakannya yang istimewa ini.
Senyum lega merekah dengan pembelaan Oom, “Bisa hilang kok, Om,
beneran….aku hapus sekarang juga bisa kok….beneran…” dengan sungguh-sungguh.
“Ya sudah, kamu hapus dan
sebagai hukumannya, tidak ada berkuda selama seminggu…”
Ciaran terhenyak pucat, “heh, seminggu dadd? Nggak kelamaan tuh?”
“Nggak kelamaan, dan kalau sekarang
belum juga mulai dihapus, akan menjadi 2 minggu hukumannya.”
“IYA!!!” pekik Ciaran
langsung dan segera berlari ke kamar mandi mengambil lap dan air.
Sumpah, Kee-an, Keavy, dan Rossie hanya bisa menarik nafas mengontrol emosi
kesabaran mereka.
“Sampai bersih ya, Ci…,”
pesan Kee-an sebelum keluar dari kamar bersama Keavy dan Rossy.
“Iya dadd…” sahut CI patuh.
Selepas ayah dan ibu keluar, Ciaran masih tak berani menatap mata
oomnya…
“Maaf ya, oomm…. Aku nggak
tahu tadi Finn masuk ke kamar oom, tahu-tahu dia sudah duduk di samping om dan
menggambar di wajah oom."
“Nggak papa, Ci, karena yang
parahnya juga, Oom nggak terasa apalagi kebangun saat Finn gambar…,” Mark harus
nyengir malu dengan kebiasaan tidurnya yang tak bisa terganggu oleh apapun juga.
Ciaran ikut nyengir…
“Sini, oom bantu….”
Ciaran tersenyum lega.
“CIARAAAAAAANNNNN!!!!”
Ciaran seperti tersengat listrik lagi saat mendengar teriakan ayahnya dari
bawah. Segera ia melongok dari jendela besar kamar Om Mark.
Dan ia terhenyak kaget dengan apa yang ada di bawah sana. Hasil karya
Finnian lainnya.
“Ya, ampun Finn….,”
“Kenapa lagi, adikmu?” Mark
ikut melongok ke jendela dan langsung tergugu dengan apa yang dilihatnya.
Halaman belakang rumah sudah dipenuhi bolongan-bolongan kecil dari hasil karya
sekop Finnian.
“Kakak bilang, cari harta
karunnya sampai ketemu, harta karunnya ada di dalam tanah katanya ….,” suara
isak ketakutan Finnian terdengar sampai atas. “Dadda, jangan marah….”
Kee-an langsung menggendong bungsunya dan memeluknya menenangkan.
“Shhsss, dadda nggak marah,
bukan salah Finn,” menepuk-nepuk punggung Finnian di gendongannya, tapi matanya
mengarah ke atas, pada si sulung. “Turun,” pelan tapi tegas.
Ciaran menelan ludah dan mengangguk. Ia menengok pada Om Mark, tapi
Oomnya mengangguk,
“Turun saja, oom bisa hapus
sendiri ini, Ci beresin yang di bawah saja,”
“Iya, om…, maafin kita ya,
om…”
“Iya…” Mark tersenyum
menenangkan.
Ciaran tersenyum lega sebelum dengan pasrah turun ke bawah.
Tak perlu lagi Ciaran memberikan penjelasan tambahan
akan apa yang dilakukan Finnian, tapi itu cukup menambah masa hukumannya tidak
berkuda hingga 1 bulan lamanya *SIKSAAN BERAT – dan harus menutup kembali
galian-galian kecil yang dibuat Finnian, dengan dibantu Colin, yang tentu saja,
Colin merengut nggak kira-kira ketiban tugas beginian.
Sekitar pukul 2, Ciaran baru dapat menyelesaikan
pekerjaanya, sebelum akhirnya ia tergeletak kelelahan di lantai, dan janji
dalam hati, ‘Nggak ada lagi main bajak
laut mencari harta karun.’
Kee-an menengok putranya yang tergeletak di tanah kelelahan. Halaman
belakang sudah semua tertutup rapi. Sempat khawatir Ciaran pingsan, tapi ia
melihat mata Ciaran berkedip-kedip. Kee-an harus tersenyum.
Didekatinya putranya dan digendongnya.
Ciaran terkaget dan langsung tersenyum lega, dengan senyuman ayahnya.
“Sudah cukup, kita pulang
yuk…”
“Finn?” Ciaran memastikan.
“Sudah pulang dari tadi dengan
Maa.”
“Oo,” lalu mengangguk dan
merapatkan tubuhnya di dada ayahnya. “Pamitan Oom Mark dulu, boleh?”
Kee-an sempat terdiam, lalu tersenyum, “Boleh …” dan membawa Ciaran ke
kamar Mark.
Kee-an dan Ciaran tertegun dengan Oom Mark terlelap tidur di tempat
tidur, ditemani Nanny Rossie yang ketiduran di samping Mark dengan kepala
saling bersentuhan.
Ciaran melirik ayahnya dengan tersenyum.
Kee-an menurunkan Ciaran.
Didekatinya mereka lalu dikecup satu persatu di kening mereka sebelum
ditariknya selimut hingga menutupi dada keduanya. “Maafin Finn dan Ci, ya Omm,
Nanny…..,” ucap Ciaran pelan.
Tentunya tak ada sahutan dari keduanya.
Kee-an tersenyum kagum
Ciaran mengangkat tangannya minta digendong. Kee-an langsung
menggendongnya.
“Maafin Finn dan Ci, ya,
dadd… …”
“Iya,” dengan mengangguk dan
mengecup kening Ciaran, dan segera keluar dari kamar, menuju mobil yang sudah
menunggu mereka di luar.
THE END
Okay, mungkin tidak seperti yang diharapkan dan tidak banyak unsur
jengkol di dalamnya. Tapi beginilah sequel yang terpikirkan olehku. Semoga
masih bisa dinikmati dan sangat terhibur hehehehehe.
No comments:
Post a Comment