25 February 2006
Semua
keluargaku sudah berada di sini termasuk keluarganya Kee-an juga Gillian,
dan Georgina yang datang langsung ke sini dari Dublin. Mereka menunggu di luar, sementara mama dan Pat terus menemaniku.
dr. Emily Keaton kembali memeriksaku,
“Ok, sudah 9,5, kita siap sekarang,” ucap Emily menandakan aku siap untuk segera melahirkan.
“Nggak! Kee-an
belum datang. Kita mesti tunggu dia,”
tolakku langsung.
“Ok. Aku harap anakmu juga bisa menunggu ayahnya datang,” sahutnya ringan.
“Harus bisa. Aku nggak akan membiarkan dia keluar sebelum ayahnya datang!”
sahutku sewot kemudian mengatur emosiku.
Emily hanya bisa tersenyum melihatku stres.
‘Ampun, Kee, cepetan dateng!
Anakmu mau keluar, nih,’ aku memohon dengan sangat. ‘Kamu
sudah janji, Kee, kamu sudah janji untuk ada di sini, untuk merekam proses
kelahirannya’ Aku tercekat, ‘Ya, Tuhan, kameranya!’
“Gerry! Mana
Gerry!?” panggilku panik.
Tak lama kemudian Gerry muncul di hadapanku.
“Demi
adikmu, Gerr, maukah kamu merekam proses kelahirannya?”
“A…apa!?”
Gerry langsung tergagap hendak menolak.
“Tolong
Gerr, ini untuk Kee-an juga. Aku takut dia nggak akan nyampe, dan dia nggak
bisa melihat bagaiman anaknya lahir.”
Tampak wajah Gerry yang mulai pucat, “Tapi Keav,… kenapa aku?”
“Karena kamu abangku” sahutku kesal.
“Terus…?” Gerry tak mengerti dan masih terdengar untuk menolak.
“Gerr…!” aku bersiap untuk marah, tapi rasa
sakit tiba-tiba terasa dan aku tidak dapat menahannya, “Aaaarrrghhh!!”
“Ok, ok, aku rekam!” jawab Gerry
langsung, tidak tega melihatku kesakitan.
Dengan terpaksa Gerry
mengambil handycam yang memang sudah kusuruh untuk dibawa.
Emily kembali memeriksaku karena teriakanku tadi.
“Sudah 11, sekarang. Lebih dari siap,
Keav. Dia akan segera lahir.”
“Nggak! Dia harus tunggu ayahnya dulu!” aku bersikukuh.
“Tunggu ayahmu datang, nak!!” teriakku pada bayiku, sekaligus menumpahkan
kekesalan dari rasa sakitnya ini.
“Maaf, Keav, dia nggak bisa menunggu lama
lagi.” Emily sudah bersiap di bawah kakiku untuk
mengeluarkannya.
Dia benar, aku sudah tidak
kuat untuk menahan dia di dalam sini lebih lama lagi. Dia ingin segera keluar. Air
mataku langsung menetes. Kee-an tidak akan melihatnya lahir.
Gerry sudah siap merekam. Aku
tidak peduli dengan perasaannya, apa dia takut atau panik.
“Jangan takut, kami akan di sini,” Pat menenangkanku dengan menggenggam
tanganku, begitu juga mamaku.
Memang mama dan Pat pasti akan
menemaniku, tapi aku tetap ingin Kee-an yang ada di sini. ‘Aku pengen Kee-an di sini!!! Kee…’
“Ok, siap untuk mendorong lagi …,” komando
dr. Keaton.
Dengan terpaksa, mau tak mau,
aku harus segera mengeluarkannya tanpa Kee-an. Kecewa? Sudah pasti!
BRAK!! Pintu tiba-tiba
terbuka.
Wajah yang sangat aku tunggu
muncul di pintu.
“Apa dia sudah keluar?” tanyanya langsung.
“Keav?” seraya menujuku dengan wajah cemas.
“Kee…!!” aku tak sanggup menahan tangis
kelegaan, akhirnya dia datang juga.
“Nah, tuh ayahnya datang,” sambut Emily ikut lega.
“Dia belum keluar, kan?” Kee-an sempat
mengintip ke bawah kakiku.
“Dia menunggu ayahnya datang,” sahut Emily dengan tersenyum geli.
“Bagus,” Kee-an bernafas lega dan kembali
mendampingku
Kee-an langsung menggantikan
posisi mamanya dan menggenggam tanganku seraya mencium kening dan bibirku.
Karena sudah ada Kee-an, Pat
segera keluar sementara mamaku dan Gerry tetap tinggal, agar tidak terlalu
banyak orang di dalam ruangan.
“Aku nggak terlambat, kan?” seraya mengatur nafasnya yang masih memburu.
“Hampir Kee, _!” aku hampir marah lagi
kalau tidak merasakan kontraksiku yang tiba-tiba, membuatku berusaha menahannya
rasa sakitnya dan melupakan rasa kesalku ini.
Aku sempat melihat Gerry masih
terpatung dengan kedatangan Kee-an yang mengagetkan.
“Tetap merekam, Gerr!” seruku di tengah
kesakitan. Aku tidak mau Kee-an justru sibuk merekam, sementara aku berusaha
mengeluarkannya. Aku ingin Kee-an tetap di
sisiku, menemaniku.
Gerry kembali dalam posisi
merekam.
“Aagghh!!” aku tak dapat menahannya lagi.
“Ayo, dorong lagi,” perintah dr. Keaton.
Sekuat tenaga aku berusaha
mengeluarkannya, dengan tangan menggenggam kuat tangan Kee-an. Aku ingin
cepat-cepat melihat dia.
“Terus sayang. Tahan …5, 6, 7, 8,” Emily menginstrukturiku dari bawah sana.
Sekuat tenaga aku menahannya.
”Lepaskan dan nafas pelan-pelan...”
Aku mengatur nafasku.
“Sekarang dorong lagi.”
Aku melakukan apa yang
diperintahkannya juga saat dia menyuruhku menahannya.
“Holly-Mary, mother shitt!! Itu dia, aku lihat kepalanya!” ucap Gerry spontan
dan girang dengan tetap merekam.
Umpatan tak terkontrol keluar
dari mulut Gerry, membuat mama melotot padanya, begitu juga aku, Kee-an dan Emily.
Gerry tersadar bahwa dia
dipelototi. “Apa?” protesnya.
“Nggak boleh ngumpat,” mama
memperingatkannya.
“Sorry, ma, kelepasan.”
Mama hanya mesem saja,
sementara aku mendengus kesal, dan kembali merasakan sakitnya, membuatnya semuanya
kembali berkonsentrasi.
“Hey, kenapa ada dua? Anakmu kembar, Keav!”
lapor Gerry girang.
Aku dan Kee-an, terlebih mama,
terkaget. ‘Kembar?’
“Bukan. Ini bukan kepala mereka,” ralat Emily langsung. “Ini pantatnya. Dia sungsang.”
“Apa?”
”Tunggu dia tertahan, tapi jangan
khawatir.”
Aku langsung tegang, ‘Tuhan, tolong aku dan
bayiku,’ aku memohon dengan sangat.
Entah berapa kali aku
mendorongnya, bergelut dengan rasa sakit yang luar biasa (kalau bisa, aku tidak ingin mengalaminya lagi).
Kee-an dan mama terus
membimbingku juga memberiku semangat dan dorongan.
“Yak, dorong, sayang. Tahan …5, 6, 7, 8…,
bagus…”
Aku mengatur nafasku yang
sudah di ujung tali. Tangan Kee-an tak lepas menggenggam tanganku. ‘Kenapa
dia belum keluar juga?’
“Sekarang, satu kali lagi, dorong yang
kuat, dan dia akan segera keluar,” Emily mengomando.
Aku pun bersiap lagi dengan
hampir putus asa. Kukumpulkan
semua tenagaku yang tersisa. Akhirnya setelah kukeluarkan semua tenaga
penghabisanku, ….
“Dia keluar, Keav. Dia sudah keluar!” lapor
Gerry semakin girang dengan terus merekam. “Dan cowok tulen!” lanjutnya pasti,
setelah melihat dengan yakin alat kelaminnya dengan jelas.
Mata Kee-an dan mama langsung
berbinar saat melihat sesosok bayi di tangan Emily kemudian menyerahkannya pada seorang suster.
“Dia sudah keluar, Keav, dia sudah keluar,”
Kee-an tak kalah girangnya. “Kamu berhasil, sayang!” dia langsung memeluk dan
menciumku.
Begitu leganya aku, mendengar
bayiku telah lahir. Tapi
kenapa aku tidak mendengar suara tangisnya?
“Ya, Tuhan,” desis mama membuat wajah
Kee-an tiba-tiba berubah pucat dengan terus memperhatikan bayi kami yang dibawa
suster untuk diperiksa. ‘Ada apa dengan dia?’
*
Kee-an
menghampiri bayinya yang sedang ditangani oleh seorang suster. Jantung Kee-an
serasa berhenti dan darah berdesir dingin begitu melihat mata sang bayi
tertutup, dengan leher terlilit tali pusar, begitu juga dengan Gerry yang
terpaku. Dia hampir saja menjatuhkan handycamnya. Dia sangat kecil, berwarna
ungu dan terlihat tidak bernafas.
“Dia nggak pa-pa, khan?” bisik Kee-an pada
ibu mertuanya.
Corrine mengangguk dan terus
memperhatikan suster itu yang merogoh mulut si bayi dan mengeluarkan sesuatu
dari dalam mulutnya, kemudian dilanjutkan dengan memasang oksigen padanya.
“Ada apa, ma, Kee, Gerry?” aku dengan cemas.
Gerry langsung menghampiriku
dan mendampingiku.
“Apa dia baik-baik saja? Apa dia sehat? Apa dia hidup?” aku semakin takut. Aku tidak mau sesuatu terjadi pada bayiku.
“Tentu, semuanya baik-baik saja,” Gerry
berusaha menenangkanku, walau masih terlihat wajah cemas dan panik, sama dengan
wajah Kee-an.
Tiba-tiba, akhirnya, aku mendengar
tangisan bayiku yang lumayan keras. Jangan tanya bagaimana leganya aku
mendengar itu. ‘Dia menangis. Dia hidup!’ Aku menangis lega.
Senyum lega tersungging dari
bibir Gerry. Kee-an kembali padaku.
“Dia sehat, Keav,” ucapnya dengan tersenyum
lebar seraya menggenggam tanganku dan mengecup keningku. Mataku sudah basah
dengan air mataku.
“Kian,” Corrine memanggil Kee-an, dan
segera ia menghampirinya. Ia melihat bayinya sudah bersih.
“Kamu
potong tali pusarnya,” dengan memberikan sebuah gunting pada Kee-an. Kee-an menerimanya dan siap menggunting.
“Potong di mana?” dengan ragu dan takut.
“Potong di sini,” sahut sang suster.
Kee-an masih terlihat ragu untuk memotongnya.
“Jangan takut,
tidak akan menyakitinya,” Corrine meyakinkan menantunya.
Dengan kalimat itu, Kee-an memotong tali pusar
bayinya.
“Pintar,”
Corrine tersenyum lega.
Suster segera membungkus bayi itu dan
menyerahkannya pada Kee-an. Kee-an sangat takjub menerimanya.
“Dia tampan sekali,
Keav!” seraya membawanya padaku. Dia menyerahkannya ke pelukanku.
Jantung dan perasaankuku terasa jungkir balik. Untuk pertama kalinya
dalam hidupku, aku menggendong bayi merah, bayiku sendiri. Ya Tuhan! Rasanya …, Aku menangis
terharu, bayiku!?
“Kee…?”
aku meliriknya dengan hampir tak percaya. “Ma?”
Kee-an mengangguk seraya tersenyum menahan
tangisnya dan rasa bangga, begitu juga dengan Gerry, terlebih mama.
Emily menghampiriku dengan wajah tersenyum lega dan ikut bahagia, “Selamat, Keav,
kalian berdua. Jangan khawatir dia sangat sehat. Anak yang baik.”
Aku dan Kee-an hanya bisa tersenyum bahagia dan
masih belum mempercayainya.
“Terima kasih, dok,” ucapku tulus, karena sudah
membantu persalinanku.
Emily mengangguk dengan tersenyum.
Dengan hati-hati aku mencium
kening bayiku untuk yang pertama kalinya, diikuti Kee-an.
“Love you, Keav. Terima
kasih banyak,” Kee-an mengecupku bibirku.
Mama hanya mengecup keningku, dia sudah speachless menerima
cucu pertamanya.
“Selamat,
sis,” ucap Gerry seraya mengecup
keningku.
Kami memandang lekat dia.
“Tampan sekali dia, Kee.”
Kee-an mengangguk, “Ya, sangat
tampan.”
“Nama itu?” tanyaku memastikan pada Kee-an.
Kee-an mengangguk pasti.
Aku kembali memandangi bayi
kecilku yang tampan ini, “Ciarán Kevin Phillipe Francis Egan, selamat datang di
dunia, nak.”
Kee-an mengangguk dengan
tersenyum. Itulah nama yang kami siapkan untuknya.
Ciarán, terdengar kuno memang,
tapi sangat Irlandia. Aku menyukainya. Ciarán berarti orang yang kuat dan
seorang pemimpin; Kevin dari nama ayah Kee-an; Phillipe dari nama papaku;
Francis dari nama tengah Kee-an (Kian John Francis E.); dan tentu saja nama keluarga Kee-an, Egan.
“Ma?” aku menolehnya masih dengan penuh
haru. Dengan hati-hati Ciarán berpindah ke pelukan neneknya.
“Cucu pertamaku, cucu lelakiku,” mama pun masih terlihat takjub. Ya, ini adalah cucu pertamanya. Dia memandang
Ciarán, “Biar nenek lihat wajahmu, Ci.”
“Eh, itu nama panggilanku (Ci=Ki, sama-sama dibaca K),” bisik Kee-an
geli padaku.
Aku pun tersenyum geli
mendengarnya.
“Ini
rekamannya, Ki. Ini adalah momen yang tidak akan gue lupakan. Kalian membuat
gue melihat semuanya,” ucap Gerry pada Kian dengan tersenyum geli.
“Pengalaman yang menakkjubkan, kan?” Kee-an
tersenyum sungging. “Terima kasih”
Gerry mengangguk.
“Ma, boleh aku gendong?” Gerry meminta pada mama untuk juga dapat menggendong Ciarán.
Dengan hati-hati, mama
menyerahkan Ciarán pada Gerry.
“Hello kawan kecil,” ucapnya pada Ciarán.
“Ya, Tuhan, gue jadi paman sekarang,” ia tertawa sendiri, seperti yang tidak
percaya.
“Ya, Gerr, Paman Gerry,” aku memastikannya.
Seorang suster menghampiriku
dan meminta kembali Ciarán untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya dan aku akan
dipindahkan ke kamar biasa.
Gerry dan Kee-an teringat
dengan orang-orang yang menunggu di luar, dan segera keluar untuk
memberi-tahukan bayinya telah lahir dengan tanpa bisa menutupi rasa bahagianya.
“Ma, aku berhasil,” aku berbinar masih
tidak percaya.
Mama mengangguk dengan
tersenyum, “Ya, sayang, kamu berhasil. Kami sangat bangga padamu, kamu beri
kami cucu yang manis. Terima kasih.”
Aku tidak dapat berucap
apa-apa selain memelukku erat.
Aku masih bisa mendengar pekik
gembira dan bahagia Kee-an: ‘Gue jadi ayah sekarang!!’ di luar sana. Aku hanya tersenyum terharu mendengarnya. Jangan
tanya bagaimana bahagianya aku. Aku sangat bahagia. Kami sangat bahagia.
Tapi mereka baru bisa
menemuiku dan Ciarán setelah kami dipindahkan ke kamar biasa, bukan di kamar
persalinan ini.
Semuanya sangat gembira menyambut kelahiran Ciarán,
terutama papaku. Akhirnya ia mendapatkan cucu pertamanya yang ternyata dariku.
Hidup mereka semakin lengkap, dan aku sudah lebih membahagiakan orang tuaku.
Tapi ada yang lebih membahagiakanku, yaitu: Kee-an menemaniku saat Ciarán lahir
sesuai janjinya dan melihatnya lahir.
25 February
2006, pukul 9:30 am, di Rumah Sakit
Umum Sligo, putra pertama kami lahir, Ciarán
Kevin Phillipe Francis Egan. Lahir
dengan berat 3,5 kg, dan panjang 53 cm. Angelifes kelima.
No comments:
Post a Comment