Naskah asli Lovely Rose 1st Rose Trilogy - hal. 156 - 187
10. Pertengkaran
Pertama Kami
12 Januari 2002
Aku
segera bersiap-siap dan hanya dalam 5 menit aku sudah tampil cantik. Kee-an
baru mengajakku jalan setelah pulang dari Inggris kemarin untuk membuat klip
terbaru mereka.
Tak
lama kemudian terdengar ketukan pintu. Kee-ankah? Cepat sekali.
Aku
segera membukanya.
“Daniel?” aku sedikit terkejut melihat
Daniel berdiri di depan pintu.
“Hi, Keav,” sahutnya dengan wajah berseri.
“What a surprise! Come in,” sambutku dengan tersenyum.
“Trims,”
kemudian masuk ke dalam rumah.
“Oh ya, mau minum apa?” tanyaku seraya
menuju dapur yang tak jauh dari ruang duduk.
“Apa aja,” jawabnya.
Aku
tersenyum.
“Terima kasih,” setelah menerima minuman
dariku.
Aku
hanya tersenyum kemudian secara tidak sengaja aku melirik jam tanganku.
“Kamu mau pergi, ya?”
tanyanya mengagetkanku.
“Hah? Enggak, cuma
sedang nunggu Kee-an.”
“ O… , dia mau ke sini?”
Aku
mengangguk dengan tersenyum.
Kemudian
terdengar bel pintu berdering.
“Itu Kee-an,” ucapku seraya menuju pintu.
Tak
lama kemudian Kee-an masuk. Kee-an langsung sedikit terheran dengan cowok tak
dikenalnya, duduk di sofa.
“Hallo, Kian,”
sapa Daniel tersenyum ramah.
Kee-an
langsung terang, ”Daniel?” Dia tahu tentang Daniel.
Daniel
tersenyum senang. Kee-an tidak lupa dengannya.
“Apa kabar, Kian?”
“Baik, kamu?”
Daniel
hanya mengangguk.
“Sudah lama kita tidak bertemu,” ucap Kee-an.
“Yeah,”
sahutnya tersenyum. ”Senang bisa pulang lagi.”
Kee-an
tersenyum.
“Eh, kalian mau pergi,
ya?” tanya Daniel.
Aku
dan Kee-an saling berpandangan, kikuk.
“Mhmm… ok deh, aku juga harus pergi,”
ucapnya sebelum sempat aku jawab.
“Jangan, kamu tidak perlu pergi kok, kita
…,” cegahku.
“Nggak papa, aku memang
harus pergi. Aku
masih ada keperluan,” sahutnya.
“Bener?”
Daniel
mengangguk meyakinkan.
“Oh, ok,” sahutku dengan tersirat nafas
lega.
Kemudian kami bertiga
keluar flat bersama-sama.
“Lain kali aku ke sini
lagi,” ucap Daniel.
“Aku telepon kamu dulu.”
“Ok,” sahutku dengan
tersenyum.
Dan
kami pergi ke arah yang berbeda.
***
Sesekali Daniel ke rumah dan
memintaku untuk menemaninya keluar. Bagiku tidak ada masalah. Dia kan, teman
lamaku yang sudah lama tidak bertemu dan sedang berlibur di sini. Dia sudah
tidak punya saudara atau teman di Dublin ini, jadi apa salahnya kalau aku
menemaninya. Lagipula Kee-an tidak keberatan.
Sampai
akhirnya sudah waktunya ia untuk pulang, kembali ke Amerika.
“Keav, besok aku harus pulang, dan sebelum
itu, aku pengen ngucapin terima kasih atas semua yang kamu lakukan.”
“Makasih, memang aku ngapain?” aku tidak mengerti.
“Kamu baik sekali, dan kamu sudah
menemaniku selama aku di sini.”
“Oh, itu. Santai aja lagi, kita kan temen.
Lagipula aku suka jalan sama kamu.”
“Terima kasih.”
Aku
tersenyum.
“Ng.. Keav …” dia ragu untuk
melanjutkannya.
“Ya?”
“Ng… aku mau
bilang sesuatu, tapi tolong setelah itu lupakan apa yang aku bilang. Ok.”
Aku
berkerut kening tidak mengerti.
"Karena aku cuma
pengen kamu tahu aja. Ok?”
“Ok. Bilang aja.”
“Ng… Aku suka kamu Keav. Aku cinta kamu.,”
ucapnya.
Aku
langsung terpaku dengan pengakuan Daniel. Benarkah?
“Aku tahu ini kedengaran gila, tapi bener.
Sejak dulu aku sudah suka kamu, tapi karena ada Kee-an di sisi kamu, aku jadi
nggak pernah berani mengatakannya, dan lagi mungkin dulu kamu tidak akan mengganggap
serius karena kita masih kecil. Tapi sekarang aku harus bilang, karena ternyata aku masih mencintai kamu, dan aku
tidak mau dihantui dengan bayangan kamu. Mungkin setelah aku mengatakannya, aku
bisa melupakanmu.Aku bener-bener suka kamu..”
“Oh, Daniel,” aku hanya bisa tersenyum,
tidak tahu harus bicara apa.
“Tapi tolong, Keav, jangan kamu pikirkan
ini. Lupakan saja. Aku hanya ingin mengatakannya saja, setelah itu selesai. Dan
lagi, aku yakin kamu tidak mungkin menerima cintaku karena sudah ada Kian.
Aku sadar sepenuhnya kok, Keav.”
Aku
sedikit bisa bernafas lega, ”Ya, aku sudah punya Kee-an. Dia satu-satunya cintaku.”
“Itulah,”
berusaha menerima. “Jadi lupakan saja apa yang sudah kukatakan tadi, ya. Anggap aku nggak
pernah mengatakannya, ok?”
Aku
tersenyum, “Tapi, terima kasih,” ucapku tulus.
“Sama-sama,” sahutnya dengan tersenyum.
Kami
saling berpandangan.
“Boleh aku menciummu?”
tanyanya ragu-ragu. “Sekali saja, pertama dan yang terakhir?”
Aku bingung menjawabnya, tapi entah mengapa, aku
mengangguk.
Wajah Daniel perlahan mendekatiku, jantungku berdegup
kencang.
Kemudian dengan lembut bibirnya menyentuh tepi bibirku.
Aku semakin tidak tahu apa yang merasukiku, aku ingin membalasnya dan ciuman
itu berlanjut……
“APA-APAAN KALIAN!!?!” tiba-tiba sebuah
pekikan marah mengagetkan kami.
Kami
langsung melepaskan diri. Kulihat Kee-an berdiri dengan tatapan marah. Sangat marah!
Ya Tuhan! Aku tidak bisa bicara
dengan tatapan Kee-an seperti itu, yang ada hanya pucat dan bingung.
Kee-an
menggeleng-gelengkan kepala dengan mata tetap tak percaya.
Tanpa
berucap, dia segera berbalik dan meninggalkan kami.
“Kee-an!!” aku langsung tersadar dan
memanggilnya. Tapi dia seakan tidak mau mendengarnya.
“Keavy!” panggil Daniel.
Aku
segera berbalik pada Daniel.
“Maafkan aku, Keav. Ini salahku ,” ucap
Daniel penuh penyesalan.
“Bukan, salahku juga,” sahutku.
“Tapi kalau aku tidak memintamu untuk ….”
“Nggak….nggak…tetap salahku juga,” potongku
langsung. ”Maaf, Niel, tapi yang tadi itu itu, … aku harap kamu tidak berpikir
aku …”
“Oh, nggak kok, aku tahu.”
Aku
tersenyum lega.
Daniel
tak berucap lagi.
“Apa aku harus bicara dengannya dan
menjelaskan yang sebenarnya?” tanya Daniel.
“Nggak usah, biar aku saja yang ngomong,”
tolakku.
“Tapi aku merasa bertanggung jawab dan aku
bisa menjelaskan semuanya,” Daniel bersikukuh.
“Nggak. Kamu nggak
ngerti. Kee-an
susah dihadapi kalau lagi marah begini. Biar aku aja yang ngomong. Aku yakin
aku bisa menjelaskan yang sesungguhnya, dan lebih baik kalau kamu pulang aja.
Tenang, semuanya akan beres.”
“Kamu yakin?” Daniel tidak yakin.
“100%,” jawabku dengan tersenyum.
Daniel
menghela nafas, “Baiklah, kalau kamu yakin. Aku pulang dulu dan mungkin akan
langsung ke Inggris…jadi…”
“Aku ngerti kok, Niel,” potongku langsung.
Daniel mengangguk, ”Tapi kalau ada apa-apa kamu telepon
aku saja ya, kamu sudah punya nomorku, kan?”
Aku
mengangguk. Kemudian kami berpelukan.
“Sekali lagi terima kasih,” ucapnya.
Aku
mengangguk dengan tersenyum
“Bye,” ucap Daniel.
“Bye.”
Setelah
itu Daniel pergi.
Begitu
Daniel pergi, aku mulai kebingungan. Asli, sebenarnya aku tidak yakin apa aku
bisa menghadapi Kee-an kalau dia sedang marah begini. Tapi harus aku coba. Aku segera mencarinya.
“Oh, jadi gitu ya, kalau aku pergi, kamu
malah asyik-asyikkan dengan cowok lain!?” tuduh Kee-an langsung.
“Nggak. Aku nggak pernah asyik-asyikan sama
cowok lain selagi kamu pergi,” bantahku.
“Oh, ya? Terus apa yang aku lihat tadi,
kamu asyik ciuman sama Daniel.”
“Itu
ciuman biasa, Kee.”
“Ciuman biasa!? Kaya’ gitu dibilang cuma
ciuman biasa!?“ Kee-an terbelalak tidak percaya. “Aku lihat nafsu kalian!”
“Kamu salah!”
“Salah gimana? Aku lihat sendiri kalian
berciuman begitu mesranya!” sahut Kee-an panas.
Aku
terdiam, ingin menangis melihat Kee-an meledak-ledak begini.
“Aku minta maaf, Kee,” ucapku penuh
penyesalan.
Kee-an
mendengus. “Aku nggak nyangka, kamu ternyata bisa melakukan itu di belakangku. Jangan-jangan kamu memang sudah lama menyukainya. Kamu kan, pinter
nyimpen perasaan. Ayo bilang sejak kapan kamu suka dia!?”
Aku
tidak percaya kalau Kee-an bisa semarah ini. Air mataku perlahan keluar tapi
dengan sekuat hati kutahan.
“Aku nggak pernah suka Daniel apalagi cinta
sama dia. Kami cuma berteman,” ucapku lirih.
“Oh, kalau kamu tidak menyukainya tapi bisa
melakukan ciuman itu, berarti kamu… ,” ucap Kee-an sinis.
Nafasku
tertahan mendengar tuduhannya. Sakit sekali mendengarnya.
”Kamu jahat!” ucapku tertahan.
“Lho, jahat mana sama kamu? Aku baru pulang
dengan harapan begitu ketemu kamu, capekku hilang, tapi apa yang kudapatkan!? Kamu sangat menjijikkan.”
“Cukup!”
pekikku marah. ”Kamu boleh marah tapi jangan menghinaku,” air mataku tak dapat
kutahan lagi.
“Aku tahu aku
salah. Aku khilaf dan aku sangat menyesal tapi jangan seenaknya kamu menuduhku
sebagai cewek murahan. Aku
nggak terima!”
“Terserah. Tapi kita putus!”
“Apa!?” aku tertahan tak percaya. Dadaku
langsung sesak mendengar Kee-an menyebutkan kata putus.
“Ya, kita putus, karena aku nggak percaya
kamu lagi. Sekarang lebih baik kamu pergi. Aku nggak mau lihat muka
kamu lagi!” putus Kee-an lalu meninggalkanku begitu saja.
Jantung
seakan berhenti mendadak. Kee-an minta putus? No!
*
Hati Kee-an terasa hancur
dengan pengkhianatan Keavy. Ia tidak percaya Keavy sanggup melakukannya dengan
cowok lain sementara dia pergi show. Sakit sekali.
“Woy, Kialo! kenapa loe?” Shane mengagetkan
Kee-an yang sedang berduka.
Kee-an
tidak menyahut.
“Gimana, udah ketemu Keavy ?” Shane penuh
semangat.
“Jangan sebut nama itu lagi!” bentak Kee-an
langsung.
Shane
tentu saja kaget dengan reaksi Kee-an.
“Kenapa sih, loe? Kalian lagi berantem,
ya?”
“Kita udah putus. Gue yang mutusin dia.”
Shane
terkaget, “Apa? Apa gua nggak salah denger, nih? Elo mutusin Keavy?”
Kee-an
tidak menjawab.
“Kenapa sih? Apa masalahnya sampai putus
segala?”
“Dia mengkhianati gue,” jawab Kee-an
singkat.
Shane
berkerut kening, “Keavy mengkhianati,
loe?”
“Iya. Gua mergokin dia ciuman sama Daniel.
Percaya nggak loe?”
“Nggak. Mungkin cuma ciuman persahabatan
doang, kali’. Gua juga sering nyium dia, bukan berarti dia suka sama gua atau
sebaliknya, kan? kamu juga nggak pernah cemburu.”
“Ciuman ini beda, Shane. Itu bukan ciuman persahabatan. Emangnya gua nggak bisa
bedain! Itu
ciuman penuh nafsu,” bantah Kee-an.
Shane
tercenung. ”Nggak mungkin.”
“Tapi gue lihat dengan mata kepala gua
sendiri, dan begitu tahu gua mergokin mereka, mereka langsung pucat kaya’ maling
ketangkep basah, jadi jelas, kan!?”
“Gua masih nggak percaya, Keavy sanggup
menghianati loe. Dia udah kasih penjelasan?”
“Udah. Dia memang bilang kalau itu cuma
ciuman biasa, tapi gua nggak percaya. Mana ada sih, maling jujur!”
Shane
geleng-geleng kepala lihat Kian yang semakin
panas.
“Pokoknya gue nggak percaya. Jadi gue
langsung bilang putus aja ama dia.”
“Segampang itu?”
Kee-an
mengangguk, ”Hati gue udah terlanjur sakit!”
Shane
tidak dapat berucap apa-apa lagi.
*
Aku tidak mau putus. Aku meminta
penjelasan atas keputusan Kee-an yang menyakitkan itu. Terus kucoba untuk
menelepon Kee-an tapi Kee-an tidak pernah mau mengangkatnya.
Dia tidak mau bicara lagi sama aku.Tapi aku tidak boleh putus asa. Aku tidak
mau putus dengan Kee-an.
“Ngapain kamu ke sini?” sambut Kee-an sinis
saat aku menemuinya di tempat latihannya. Terlihat jelas Kee-an tidak mau
bertemu aku.
“Aku minta kamu menarik kata putusmu itu,”
ucapku lirih.
Kee-an
mendengus. “Nggak.”
“Beri aku
kesempatan, Kee, aku janji aku nggak akan melakukannya lagi,” pintaku dengan
memohon. Sekali lagi air mataku mulai menetes.
“Nggak!”
“Tapi aku masih sayang kamu, Kee-an. Aku
nggak mau kita putus.”
“Aku yang pengen putus. Kamu nggak tahu
sakitnya dibohongi orang, apalagi orang yang paling kamu sayangi.”
“Aku nggak pernah bohong sama kamu. Aku
sama Daniel cuma teman, nggak lebih, Aku sumpah, sumpah demi Tuhan!”
“Udahlah nggak usah bawa-bawa nama Tuhan.
Aku lihat sendiri bagaimana kamu mencium dia. Di depan mata, tau nggak!”
Aku
semakin perih mengingat itu. Kesalahan terbesarku.
“Maafin aku, Kee,
aku bener-bener minta maaf. Tapi aku nggak mau putus. Aku masih cinta kamu,”
aku benar-benar memohon. Berlutut!
“Tapi aku nggak. Aku nggak bisa maafin kamu.
Terlalu menyakitkan, Keav, dan kamu tahu; aku
benci kamu!” ucap Kee-an pedas.
Sekali
lagi dadaku sesak mendengar itu.
“Ingat Keav, kita udah putus. Jadi jangan
coba untuk ketemu aku lagi karena sekarang aku bener-bener benci kamu,” ucap Kee-an
dengan menatapku sinis.
Aku
bener-bener tidak percaya kalau Kee-an setega ini. Aku tidak dapat berucap
apa-apa lagi. Aku melihat Kee-an bukan Kee-an yang dulu lagi. Kee-an-ku sudah
pergi.
Dengan
hati perih tersayat-sayat, aku keluar dari ruangan itu.
Di
luar aku disambut dengan tatapan terkejut plus simpati oleh Mark, Bryan, Nicky
dan Shane. Sebelum mereka berucap, aku segera keluar dari gedung itu dan
pulang.
*
“Jangan ngomong
apa-apa!” ucap Kee-an tajam pada keempat temannya yang
sudah siap menghakiminya.
“Tapi Ki…?
“Ini urusan gue sama
dia. Kita selesai. Putus!” balas Kee-an. “Dan gue nggak mau denger namanya
lagi!!”
Mark,
Shane, Bryan Nicky tidak dapat berucap lagi. Yang mereka pikirkan bagaimana
perasaan Keavy .
***
Aku benar-benar terpuruk setelah
Kee-an memutuskanku. Tak henti-hentinya aku menangis dan
menyesali apa yang telah kuperbuat. Kalau saja Daniel tidak menciumku, semua
ini tidak akan terjadi dan aku pasti masih bersama Kee-an. Sungguh ciuman itu
tidak ada artinya. Bagiku, ciuman itu hanya ciuman biasa. Aku tidak punya
perasaan sedikit pun dengannya, karena hanya Kee-an
yang kucintai. Tapi Kee-an tidak percaya dan langsung saja memutuskanku. Dia
sudah mengucapkan hal yang sangat menyakitkan dan menakutkanku. Kini dia sudah
membenciku dan tidak ingin bertemu aku lagi.
“Kee, aku nggak mau putus, aku masih sayang
kamu,” isakku. Mataku sembab.
Duniaku
hancur begitu saja tanpa ada harapan. Sangat menyakitkan Kee-an memutuskanku
dengan begitu kejamnya. Bila dibandingkan dengan Andrew saat ia memutuskanku
dulu, ini sangat menyakitkan. Kee-an mengatakan putus dengan perasaan marah dan
tidak memberi kesempatan untuk memberi penjelasan atas kesalah-pahaman ini. Dan
yang lebih menyakitkan lagi, kini aku benar-benar sudah kehilangannya.
“Oh, God !” aku kembali menangis dan tak
henti-hentinya.
***
Gillian
tahu perasaan Keavy , terlebih melihat dia berusaha untuk melupakannya dengan
menari. Hampir setiap hari Keavy
menari lebih dari 7 jam tanpa henti. Dia terlalu memaksakan diri untuk
dapat melupakan masalahnya. Di tempat latihan dia terus menari tanpa henti,
sesampainya di flat, Keavy langsung
menangis teringat kembali dengan Kee-an dan hanya mengurung diri di kamar, dan
hanya sedikit menyentuh makanan yang tentu saja tidak baik untuk Keavy sendiri. Tentu saja Gillian tidak tega
melihatnya seperti ini meski ia tahu Keavy-lah yang salah. Keavy hanya mengurung diri di kamar, dan hanya
sedikit menyentuh makanan yang tentu saja tidak baik untuk Keavy sendiri.
Teman-temannya tidak tega melihat Keavy,
apalagi Gerry sebagai kakaknya. Sebenarnya ia tidak terlalu peduli dengan
urusannya Keavy, apalagi yang menyangkut ‘cowoknya’. Tapi masalahnya, Keavy tinggal
dengannya, yang berarti menjadi tanggung jawabnya. Kalau terjadi apa-apa, dia
sendiri yang kena marah ibunya, karena tidak bisa menjaga adik.
Makin
hari Keavy semakin kelihatan lemah dan
pucat, dan akhirnya,
Aku
tergolek lemah di tempat tidur rumah sakit, tanpa tahu apa yang telah terjadi.
Yang aku ingat, tadi pagi aku masih ada di tempat latihan, menari dengan penuh
konsentrasi, namun kemudian tiba-tiba aku merasakan semuanya jadi gelap dan
sadar-sadar aku sudah terbaring di rumah sakit ini.
Gerry menemaniku setelah mama
dan papa datang, dengan wajah biasa-biasa saja. Aku sudah takut bila Gerry
melaporkan penyebab dari semua ini adalah karena aku patah hati. Sungguh
memalukan bila mereka tahu itu. Tapi untunglah Gerry mengatakan kalau aku hanya
terlalu kecapekan dengan menariku. Jelas, papa langsung mewanti-wanti agar ingat dengan kondisi badan, jangan terlalu
dipaksakan karena terlalu asyik menari. Itu lebih baik daripada harus mendengar
ceramah papa tentang cinta, karena pasti tidak akan selesai-selesai. Thanks Gerr.
“Loe mau, gua hajar Kian, terus bawa dia ke
sini?” tawar Gerry tiba-tiba.
Aku
langsung terbelalak mendengar tawaran Gerry.
“Jangan! Nggak usah, Ger,” aku memohon.
“Tapi dia kan, yang buat loe kaya’ gini?”
Aku
menggeleng, “Bukan dia. Aku yang bikin dia mutusin aku. Aku yang salah,”
jawabku lirih.
“Ya, emang sih, elo juga yang salah. Tapi
kan, elo udah ngasih penjelasan, dia aja yang nggak mau kasih kesempatan.”
Aku
menghela nafas, “Udah, Gerr, aku nggak mau inget lagi. Ini emang udah jadi
kesalahanku dan aku harus nerima akibatnya. Diputusin Kee-an,” aku berusaha untuk
menahan tangisku. “Pokoknya, kamu jangan apa-apain Kee-an. Ya?” pohonku sekali lagi.
Gerry
menggenggam tanganku kemudian mengangguk.
Aku
langsung tersenyum lega.
“Hai,”
Aku
dan Gerry langsung menoleh ke arah pintu.
Kepala
Gillian muncul di balik pintu dengan tersenyum ceria.
“Hi. Masuk Gill,” sahutku. Aku yakin dia
datang bersama Shane.
Benar
saja, Shane menyusul di belakangnya seraya membuka pintu lebih lebar. Ternyata
mereka tidak datang berdua saja. Mereka datang bersama, Mark, Nicky, Georgina, Bryan
dan Kerry. Astaga, mereka semua menjengukku!
“Hai, Keav, Ger,” sapa Shane hangat.
“Hello guys,”
sambut Gerry.
Aku tersenyum kemudian menerima pelukan hangat dari
mereka semua.
“Oke, kaya’nya gua
harus keluar nih. Nih kamar terlalu sempit untuk 10 orang,” canda Gerry.
Semua
tertawa dengan gurauan Gerry. Kemudian keluar dari kamarku.
“Gimana, Keav?” tanya Bryan setelah Gerry
keluar kamar.
“Ya, agak baikan.”
“Kamu sudah kelihatan lebih segar,” sambung
Kerry.
Aku
mengangguk dengan tersenyum.
“Kamu tuh, ya
dibilangin emang susah. Sekarang
kamu sendiri khan, yang ngerasainnya,” sungut Gillian.
Aku
tersenyum kecut. Ucapan Gillian mengingatkanku pada Kee-an. Dia selalu
mengucapkan itu kalau aku tidak mau mendengar omongannya.
“Kamu
ngagetin kita aja,” Gina penuh perhatian.
“Kita langsung ke sini, waktu denger kamu
masuk rumah sakit,” terang Mark.
“Untung kita lagi off,” lanjut Nicky.
Aku
tersenyum terharu, “Aku udah nggak apa-apa kok.”
Aku
tidak menyangka mereka masih perhatian denganku. Kukira hanya Shane, Gillian,
dan Mark saja, tapi ternyata Nicky, Georgina, Bryan, dan Kerry
juga.
“Kian nggak tau kamu
masuk rumah sakit. Kamu mau dia_” tanya Shane hati-hati.
“Jangan!” sahutku cepat. “Kee-an nggak
perlu tau aku masuk rumah sakit. Jangan kasih tahu dia, ya?”
Shane
mengangguk dan tak berucap lagi, takut salah bicara dan akan semakin menyakiti
hati Keavy .
Suasana
langsung berubah kaku setelah Shane menyebutkan nama Kee-an.
“Molly mana?” tanyaku mencairkan suasana.
“Molly di rumah. Tadi mau kita ajak, tapi
nggak tau kenapa tiba-tiba dia rewel. Jadi nggak kita ajak,” jawab Bryan. “Lho,
bukannya nggak boleh bawa anak kecil ke sini?”
Aku
mengangguk membenarkan.
“Untung nggak kita ajak,” sahut Bryan
dengan wajahnya yang polos.
Semuanya
hanya tersenyum geli melihat Bryan dengan wajah seperti itu.
Cukup lama mereka menemaniku di sini. Ternyata mereka masih
mempedulikanku dan memperhatikanku. Aku sangat bersyukur memiliki teman-teman
sebaik mereka. Thanks guys.
Dua hari cukup untukku menginap
di rumah sakit, itu juga sudah lebih dari cukup. Aku tidak mau menginap di
rumah sakit lagi. Mama menemaniku untuk beberapa hari. Aku harus banyak makan
yang teratur dan tidak boleh memikirkan sesuatu yang memberatkan kepalaku. Tapi
bagaimana bisa? Aku masih belum bisa menghilangkan Kee-an dari kepalaku. Hatiku
masih pedih dan aku tidak bisa melupakannya. Pemutusan Kee-an benar-benar
membuatku hancur. Aku tidak percaya dia memutuskanku seperti ini.
“I
hate you Kee.”
“Why do
I love you, don’t even want to. Why do I love you like I do, like I always do…?” (*Why Do I Love You-Westlife-World
of Our own’01)
“No…
I didn’t hate you. I still love you Ki”
11. Aku Terluka
Pebruari 2002
Aku terbaring tak berdaya di tempat
tidur. Sudah seminggu berlalu sejak aku keluar rumah sakit. Mataku masih nanar dan sembab
karen terus menangis. Duniaku terasa
runtuh dan gelap. Semuanya hancur begitu saja. Dua minggu lalu Kee-an
memutuskanku dengan sangat menyakitkan. Masih ingat dengan jelas Kee-an
berteriak penuh emosi mengatakan kata putus di depan mukaku dan tidak memberiku
kesempatan untuk membela diri. Kee-an telah memutusukanku secara sepihak dan
tentu aja aku tidak bisa menerimanya. Tapi aku tidak bisa menolaknya atau
membalasnya. Aku tahu aku yang salah dan aku tidak akan mampu untuk melawannya.
Sakit sekali, sangat sakit. Tidak
hanya karena aku kehilangan pacar tercintaku tapi juga sekaligus kehilangan
sahabat terbaikku. Dulu, ketika Andrew memutuskanku, aku tidak terlalu berlarut-larut
dalam kesedihan. Bahkan hanya dalam dua hari aku bisa seperti biasa. Itu karena ada Kee-an
di sisiku yang selalu mendampingiku dalam senang dan kesedihan. Aku masih
mempunyai Kee-an. Tapi kini, justru Kee-an yang memutuskanku dan sejak itu dia
benar-benar tidak peduli padaku lagi. Kini aku benar-benar kehilangan semuanya.
Ketakutanku kalau kami ‘jadian’, terbukti
sudah. Seharusnya aku tidak menerimanya waktu dia menembakku. Pasti tidak akan
sesakit ini.
“Kenapa kamu melakukan ini, Kee?” isakku
perih.
“I
cry silently,” entah dari mana terdengar reff lagu Westlife yang
menggambarkan suasana hatiku. “I cry inside
of me. I cry hopelessly, cause I know I’ll never breathe your love again…..”
(*I Cry-Westlife-World of Our own’01)
Langsung kumatikan
lagu itu, “Aku benci lagu itu!” pekikku marah.
Knok…knok…
Aku tidak menyahutnya
dan membiarkan orang itu yang masuk. Tak
lama kemudian Nicky dan Georgina muncul di balik pintu.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Georgina terheran.
Aku tak menjawab.
“Kamu
kelihatan mengerikan, Keav,” lanjut Nicky
“Peduli amat. Nggak ada yang peduli ini,”
sahutku tak mau tahu.
“Kita peduli, Keav,”
protes Georgina
Aku
terdiam memandang Nicky dan Georgina.
“Oo…ayo dong, Keavy , kamu jangan hopeless
gini dong. Kami tahu kamu sakit, tapi kamu
nggak boleh seperti ini. Nanti kamu sakit lagi. Lupakan Kee-an.
Hidupmu harus berlanjut,” ucap Georgina.
“Kee-an adalah hidupku, dan aku nggak punya
kehidupan lagi,” sahutku pesimis.
Nicky
dan Georgina saling berpandangan putus asa.
“Keavy …,” ucap Nicky
“Tolong,”
potongku cepat. “Aku
tahu kalian sangat memperhatikanku dan aku sangat berterima kasih untuk itu.
Tapi tolong kalian tidak perlu bersusah payah membangkitkan semangatku. Aku
pasti bisa bangkit, tapi tidak sekarang. Sekarang aku ingin sendirian, kalian
pulang saja, dan jangan mengkhawatirkanku.”
“Tapi Keav …”
“Maafin aku,” aku bersikukuh.
Mau tak mau, Nicky
dan Georgina keluar dari kamarku.
Seharusnya aku berterima kasih pada mereka. Tidak hanya
Nicky dan Georgina, tapi juga pada Shane, Gillian, Mark, Bryan dan Kerry,
karena mereka masih memikirkanku dan mempedulikanku. Mereka langsung
menjengukku begitu tahu aku masuk rumah sakit, dan berusaha membesarkan hatiku
tapi tidak ada yang dapat membuatku melupakan Kee-an. Aku cinta Kee-an so much,
aku pengen dia kembali. Aku kembali menangis.
**
“Ada yang lihat Kian?” tanya Bryan
“Tau’, introspeksi diri
kali,” sahut Mark
“Gimana Keavy ?” tanya Shane.
“Ya gitu deh, masih ngurung di kamarnya,”
jawab Georgina.
“Kasian Keavy. Kian emang kebangeten deh.
Segitunya nyakitin cewek,” sahut Nicky.
“Aku nggak pernah ngira, Kian
setega itu. Kalau aku digituin sudah pasti aku juga sama seperti Keavy ,
sebulan sakitnya nggak ilang-ilang,” ucap Kerry.
“Keavy sangat mencintai
Kian, itu sudah jelas,” sahut Shane.
“Sebenarnya Kian
juga masih sangat mencintai Keavy , tapi rasa marahnya menutupi kata hatinya,”
lanjut Gillian.
Shane
mengangguk membenarkan.
“Kukira Kian orang berperasaan dan
romantis,” Georgina tercenung tak percaya.
“Kian memang orangnya
romantis, mungkin yang paling romantis di antara kita. Tapi kalau sudah
berantem sama ceweknya, hujan air mata!” Shane sangat tahu bagaimana sahabatnya
ini
“Ternyata dia lebih parah dari Andrew,”
Nicky dengan geleng-geleng kepala.
“Stss…ada orangnya,” Mark tiba-tiba
memperingatkan, begitu melihat Kee-an masuk.
Kelima-belas mata memandang ke arah Kee-an.
“Apa
liat-liat!!?” protes
Kee-an langsung sewot.
Langsung, kelima-belas
mata membuang muka dan hanya geleng-geleng kepala.
*
“Nggak bisa apa, loe
maafin dia?” tanya Shane berusaha untuk menyadarkan Kian.
“Dan loe, apa loe bisa maafin Gillian kalau
dia berbuat sama kayak dia!?” Kee-an berbalik tanya dengan tajam.
Shane
terdiam.
“Nah, kan, loe juga nggak akan bisa
memaafkannya,” Kee-an tertawa mengejek.
“Nggak. Gue pasti maafin. Gue
cinta Gill, Ki, dan gue juga tahu loe masih mencintai Keavy ,” sahut Shane
serius.
Kee-an
tersenyum sinis, “Setelah apa yang dia lakukan sama loe?”
“Ya, ampun, Ki, dia cuma melakukan sekali
kesalahan!” Shane mulai kesal.
“Yeah, satu kesalahan yang berarti segalanya.
Dia mengkhianati gue. Dia bohong sama gue!”
“Dia nggak ngekhianatin loe. Dia cuma
khilaf. Apa loe nggak pernah khilaf? Itu manusiawi,
lagi. Semua
orang melakukan kesalahan, tapi nggak semua orang bisa menyesali kesalahannya.”
Kee-an
terdiam seakan terkunci dengan ucapan Shane.
“Tolong, Shane, gue nggak mau membicarakan
hal ini lagi, dan gue nggak mau kita bertengkar karena dia. Hati gue sudah
tertutup untuk dia. Sudah berakhir. Gue tahu apa yang gue rasain sama dia …”
“Yeah, loe
bingung,” potong Shane cepat. “Loe bingung dengan hati loe sendiri. Dia masih
mencintai loe, Ki, masih mencintai loe!” tekan Shane kemudian berlalu dari
hadapan Kee-an.
Kee-an
mendengus kesal. Tapi kemudian terpikirkan ucapan Shane
“Benarkah dia masih mencintai gue?” Kee-an
tersenyum sinis, “Naah, dia nggak pernah mencintai gue,” sahutnya yakin.
***
“Keavy …!!”
Terdengar suara memanggil dari luar kamar dan aku tahu
siapa pemiliknya. Siapa lagi kalau bukan Gillian. Ngapain juga dia ke sini, lagi? Udah tau aku lagi nggak kepengen ketemu
siapa pun !
Sesaat
kemudian, kepala Gillian muncul dari balik pintu dengan senyumnya.
“Heh,
bangun. Udah beberapa hari ini kamu nggak masuk latihan. Mau sampai kapan kamu
begini, ngurung di kamar, nggak ada kehidupan?” Gillian langsung ‘berkicau’.
Aku
tak menjawab.
“Kamu ini gimana?
Kemarin, kamu nari maksakan diri, nggak kekontrol sampai kamu sakit, tapi
sekarang setelah sembuh, kamu malahan nggak ada semangat untuk nari lagi,”
sahut Gillian.
“Kita tahu kamu
masih berduka dan baru keluar dari rumah sakit, tapi kan itu udah seminggu yang
lalu. Nggak bisa dibiarin. Kamu harus hidup lagi.”
“Udahlah, Gill,
aku belum bersemangat untuk nari lagi. Aku masih malas, dan kalau kalian
berusaha bujuk aku, percuma, kalian cuma buang waktu…”
“Kebalik!”
potongnya langsung. ”Kamu yang buang waktu percuma, ngurung di kamar nggak ada
guna. Enak aja kamu bilang malas latihan, kamu udah kehilangan pentas tarimu.”
Aku
mendengarkan dengan tak bersemangat.
“Nih, aku bawa cd,” Gillian langsung menuju
cd player-ku dan memasukkan cdnya
lalu memutarnya.
Kemudian
terdengar suara musik up tempo, yang
akhir-akhir ini mengiriku menari. Aku langsung ingin menari tapi masih ada rasa
malas di hati. Gillian sudah mulai menari dengan semangat dan lincah.
“Keav, jangan
bengong. Ayo, ikut nari,” ajaknya
“Nggak mood.”
“Jangan boong,” Gillian menghampiriku
kemudian meraih tanganku mengajakku menari bersama.
“Ayo gerakin badan kamu…,” pancingnya.
Irama
musik yang mengundang tidak dapat kutolak dan langsung saja aku menari dengan
semangat seperti biasanya.
Gillian
terlihat senang melihat perubahanku, aku tidak perduli. Kami berdua langsung
menari bersama dengan semangat melakukan gerakan-gerakan yang memeras keringat
dan membuat kami mandi keringat.
“Wow,” ucapku tersengal-sengal, begitu
tarian kami selesai.
Gillian
hanya tertawa lebar seraya mengatur nafasnya.
“Kamu benar, harusnya aku menari dengan
musik seperti ini aja, biar aku bisa menghilangkan Kee-an yang jelek itu dari
kepalaku,” ucapku seraya meringis, tapi langsung terdiam dan merasa tidak enak
dengan Gillian karena menjelekkan Kee-an. Kee-an kan sepupunya.
Gillian
hanya tersenyum,” Nggak apa-apa, kok. Kamu boleh bilang
dia jelek sesukamu. Karena kadang-kadang
dia emang jelek, kok.”
Aku langsung tersenyum lega plus geli.
“Dan kamu
memang harus bisa melupakannya,” lanjutnya.
“Yak, kita nari
lagi,” ucapku seraya menyalakan musiknya dan kami menari lagi.
Memang
benar, sejak Gillian datang dan mengajakku menari lagi dengan musik yang cepat,
aku sedikit bisa melupakan Kee-an. Meski tidak bisa sepenuhnya aku bisa
melupakan dia, karenaa aku memang masih mencintainya. Tapi paling tidak aku
mulai bisa menghadapi duniaku tanpanya. Aku semakin serius dengan tarian pop
modern, yang sebelumnya bukan bidangku. Aku menyukainya karena lebih menguras
tenaga, dan having fun, tidak seperti
tarian kontemporerku dulu yang lebih menonjolkan keindahan dan keseriusan.
Selang
seminggu kemudian ada panggilan yang tidak terduga, bahkan tidak pernah aku
bayangkan sebelumnya, yaitu produser grup ‘My Town’ memintaku untuk menjadi
koreografer untuk video klip terbaru mereka. Aku sempat terheran, aku yang
belum lama terjun di tarian pop modern, sudah diberi kepercayaan untuk memegang
mereka. Tapi ini kesempatanku dan pembukKee-an, kalau aku bisa menguasai
keduanya. Tanpa aku pikir panjang lagi aku menyetujuinya.
Setelah
bertemu para personel ‘My Town’; Terry, Marc, Danny dan Paul serta melakukan
pengenalan gerakan, aku menanda tangani kontrak dengan mereka untuk satu video
klip.
Ternyata
latihan dan pengambilan gambar klip, tidak akan dilakukan di sini (Eropa) tapi
di Amerika sana, tepatnya di New York. Sempat kaget
juga. Tapi mungkin, jauh dari Kee-an bisa membantuku semakin melupakan dia.
Sebelum kami berangkat ke sana, bulan depan, kami sudah memulai latihan kami.
Anak-anaknya asyik, aku suka mereka.
Suatu sore, aku berjalan-jalan
sendiri mengitari kota, di bawah birunya langit sore Dublin, seraya berharap
sekelilingnya akan menelannya untuk melupakan hubunganku dengan Kee-an yang
sudah berakhir. Ternyata
aku masih belum bisa melupakannya walau sudah berlalu sebulan dan sekuat tenaga
aku berusaha melupakannya. Aku memang masih mencintainya dan masih berharap dia
akan kembali padaku. Besok aku akan berangkat ke Amerika, dan mencoba untuk
melupakan Kee-an
Kupakai
kacamata hitamku untuk menutupi silaunya matahari sore. Tiba-tiba Kee-an
berjalan melewatiku. Aku sempat terkejut juga. Di belakang Kee-an,
menyusul Bryan.
“Keav!” panggil Bryan.
“Bryan, kok kamu di sini?”
aku terheran bertemu secara kebetulan dengan Bryan dan Kee-an di jalan seperti
ini.
“Kita baru dari
kantornya Louis,” jawab Bryan.
Aku
melihat sekelilingku. Memang benar tanpa sadar aku sedang di pusat kota yang
tidak jauh dari kantor Louis Walsh.
“Woi! Egan!” Bryan berteriak pada Kee-an.
”Lihat, siapa nih!”
Tapi Kee-an
tidak memperdulikannya. Jangankan memperdulikannya menengok pun tidak. Dia
terus saja berjalan.
Aku
berusaha untuk bersikap tidak peduli; dia akan berbalik atau tidak, meskipun
susah dan Bryan tahu itu.
“Maaf, Keav,” ucapnya dengan menyesal.
“Nggak pa-pa,” sahutku dengan tersenyum.
Bryan
langsung tersenyum lega.
Tak
lama, Mark, Shane dan Nicky menghampiri kami berdua.
“Hi , Keav,”sapa mereka .
“Hi, semua” sahutku. “Gimana kabar kalian?”
“Semuanya baik-baik saja,” jawab Nicky.
“Kamu gimana? kelihatannya kamu sudah nggak apa-apa.“
“Ya, aku nggak apa-apa.
Aku bisa
hidup tanpanya. Hidupku tidak hanya dia. Itu kenyataan.
Lagipula aku sudah mulai membuka diri.”
“Baguslah, Keav.
Maksudku, kalian memang pasangan yang serasi waktu kalian masih bersama, tapi
sekarang merupakan awal yang baru, kan,” Shane berucap dengan hati-hati
berusaha untuk tidak menyinggungku.
“Kamu bener, Shane,
hidupku harus tetap berjalan, dan sekarang aku sedang ada proyek dengan ‘My
Town’,”
“Jadi bener, waktu kita denger kamu jadi
koreografernya My Town?” Mark penasaran.
“Yup, aku memang akan jadi koreografernya
untuk satu video klip. Mereka sangat menyenangkan, keren banget,” jawabku
sedikit semangat.
”Kamu nggak berniat untuk kencan dengan
mereka, kan?” tanya Bryan usil.
Aku
tertawa, ”Ya, nggak, lah. Kalau aku mau, pasti aku kencan dengan kamu atau
salah satu dari kalian dulu, baru sama mereka,” jawabku sama ngaconya.
Mereka
tertawa dengan gurauanku.
“Kalau begitu, mau nggak, kamu jadi
pasanganku di acara pra-IRMA* minggu depan?” tanya Shane. “Kebetulan Gill nggak
bisa nemenin.” (*Irish Meteor Awards= Ajang Penghargaan Musik bergengsi
Irlandia)
“Apa Gill, nggak akan
marah kamu pergi sama aku?”
“Nggak. Dia khan,
bukan Kian…,”
Shane langsung berhenti setelah merasa
kelepasan .
Aku
hanya tersenyum, ”Nggak pa-pa kok, Shane.”
Shane
langsung tersenyum lega.
“Pasti, aku mau jadi
pasanganmu!” jawabku dengan bersemangat.
“Hebat, pasti asyik,”
Shane bersemangat.
Aku
tersenyum senang.
Nicky
melirik jam tangannya, “Maaf, mengganggu, tapi kita harus pergi. Limabelas
menit lagi kita ada kerjaan di studio,”
Aku
meringis, ”Maaf. Kebetulan juga aku masih harus membeli sesuatu. Jadi kita
ketemu lagi nanti, ya.”
Mark, Bryan,
Shane dan Nicky mengangguk, lalu aku meninggalkan mereka.
Pada malam pra-IRMA.
Ratusan penggemar meneriaki
mereka di sepanjang sisi-sisi karpet merah yang mereka lewati. Bodyguards berusaha untuk melindungi
mereka dari para penggemar yang kelihatannya mulai menggila. Demi menjadi boysband yang manis, Bryan, Shane,
Nicky, Mark juga Kee-an melayani dan menerima tanda tangan untuk penggemar
mereka. Aku menunggu mereka bersama Georgina, dan Kerry berdiri tidak jauh dari
mereka.
Shane
beralih padaku, ”Kamu bisa menunggu di dalam kalau kamu mau. Kayaknya kita masih harus menanda tangani untuk penggemar.”
Aku
menggeleng dengan tersenyum, ”Nggak pa-pa, aku bisa menunggu, kok, sampai
kalian selesai. Aku, kan biasa menghadapi ini.”
Shane
hanya tersenyum lega dan kembali pada penggemar mereka. Aku memperhatikannya
dari belakang dan membuatku teringat akan saat-saat masih bersama Kee-an, saat
aku menunggunya dengan sabar, Kee-an melayani penggemarnya. Terlebih melihat Kee-an
dari jauh yang dengan ramah melayani para penggemarnya. God, I miss Kee-an so much.
Kilatan
lampu dari kamera para wartawan terus menyala seiring mereka, termasuk aku,
yang berada di samping Shane berjalan di atas karpet merah ini. Semuanya ingin
mendapatkan foto eksklusif aku dan Shane. Sebuah berita baru. Aku tahu mereka
pasti menggunjingkanku, karena yang mereka tahu, aku adalah pacar Kee-an,
walau mereka tidak tahu aku sudah putus dengannya. Sebulan yang lalu aku masih
di sisi Kee-an sebagai pacarnya dan kini aku sudah berada di sisi Shane. Berita
yang menghebohkan, bukan? Tapi aku tidak peduli, toh aku dengan Shane tidak ada
hubungan apa-apa. Kami hanya teman biasa.
*
Kee-an,
bagaimanapun juga, ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Sementara ia
melihat Keavy dengan Shane tertawa dan bergembira bersama yang lainnya. Ia
merasakan ada yang mengganjal di hatinya, dan ia tidak bisa menyingkirkannya.
Ia tidak percaya, ternyata ia masih memikirkan Keavy .
Cari pegangan, Kee-an, ia berbicara pada dirinya sendiri.
Ia tidak suka situasi ini. Mungkinkah ini karena rasa
bersalahnya pada Keavy …ataukah justru rasa marah? Tapi apapun perasaan
itu, ia berusaha untuk memendamnya.
*
Aku
melirik ke arah Kee-an dengan perasaan khawatir melihat dia minum terus,
seperti tidak ada harapan. Kee-an memang biasa minum (bahkan sering mabuk),
tapi untuk kali ini aku tidak tega melihatnya seperti ini. Kalau dia masih
terus minum, bisa dipastikan dia sakit atau bahkan tidak bangun lagi.
Tergambarkan dengan jelas keadaan Kee-an. Ingin rasanya aku menghampirinya dan
merangkulnya, tapi itu tidak mungkin, atau itu akan membuatnya semakin marah
padaku. Aku mengalihkan pandanganku kembali pada obrolan kami.
*
Kee-an
melihat dengan perasaan cemburu. Apa yang dilakukan Shane? He’s asking Keavy out? Gimana dengan Gillian.
Sialan si Shane! Dan itu lagi, baju apa yang dipakai Keavy? Kee-an memandangi
Keavy dari ujung kaki sampai ujung rambut. Keavy hanya memakai pakaian mini yang tipis. Ia
yakin, setengah pria yang berada di ruangan ini ‘menginginkan’ Keavy .
Terhuyung-huyung,
Kee-an berjalan menuju Keavy dan
orang-orang yang disekitar Keavy . Dengan kasar ia menarik Keavy dan meneriakinya.
*
“Brengsek, kamu Keav! Kamu bener-bener
pelacur!! Setelah kamu mengkhianatiku, kamu langsung beralih pada Shane!? Awas aja kalau Gillian tahu.”
Kami
tersentak dengan ucapan Kee-an yang tiba-tiba mengacau.
“Tunggu saja sampai mereka tahu kalau kamu
adalah seorang pelacur. Kamu tidur dengan anggota boyband agar wajahmu selalu terpampang di depan koran sebagai hot news!!” lanjutnya semakin tak
terkontrol.
Kudekati
dia, tak peduli semua mata tertuju padaku.
PLAK
!!!, penuh emosi kutampar dia.
”Kamu yang brengsek!!” ucapku penuh amarah.
Kee-an
langsung ambruk setelah kutampar.
Shane,
Bryan dan Mark langsung menghampiri Kee-an dan segera mengeluarkannya dari ruangan
itu.
Banyak
orang yang menjadi saksi akan kejadian itu, seperti tersihir tidak percaya akan
Kee-an, dan aku langsung keluar dari sana.
Aku
keluar dengan gemetar dan marah. Sakit di dada menyesakanku. Salah apa aku, sampai harus menerima umpatan ini? Tentu saja, saat itu Kee-an
sedang mabuk dan tidak sadarkan waktu menyebutku pelacur, tapi tetap saja tidak
bisa dimaafkan. Kee-an
jahat!
“Keavy!” Nicky berteriak memanggil di
belakangku.
“Keav, kamu nggak pa-pa?” tanyanya setelah
di hadapanku dengan menggenggam tanganku.
Entah
mengapa, begitu tangan Nicky menggenggam tanganku, pertahananku untuk kuat
langsung runtuh dan gelap semua.
Aku
tersadar dan sudah berada di sofa dengan Nicky, Bryan, Gina, dan Kerry
mengelilingiku dengan wajah khawatir. Aku langsung teringat apa yang baru saja
terjadi dan tak kuasa aku menahan tangis. Nicky menawarkan pelukan, tanpa
berpikir panjang aku langsung berhambur ke pelukannya. Tak kupedulikan perasaan
Gina, tapi mudah-mudahan ia mengerti.
Tapi
berada di pelukan kekasih orang sangat tidak nyaman. Aku tahu diri. Segera
kutarik badanku dan berusaha untuk bertahan juga menghentikan tangisku.
“Aku nggak pa-pa,” aku tetap bertahan.
“Emang kebangeten, dia,” umpat Bryan kesal.
“Itu bukan Kee-an, Bry,”
belaku perih. ”Dia lagi mabuk, dia nggak tau apa yang diucapkannya di sana.”
“Meskipun dia mabuk bukan berarti dia bisa
berbuat seenaknya, dia menghinamu di depan umum,” Kerry dengan panas.
Sakit
sekali mengingat tadi, Kee-an dengan jelas berteriak menyebut aku perempuan
murahan di depan umum. Tapi aku berusaha tersenyum dengan menahan tangis pedih
di hadapan mereka.
“Nggak pa-pa, aku
ngerti, kok,” aku senormal mungkin.
Aku mengusap air mataku dan bersikap bisa.
“Jam berapa
sekarang?” tanyaku. “Aku harus pulang cepat, besok aku berangkat dengan penerbangan pertama.”
“Kamu tetep mau
pergi?” Gina terheran. “Kamu bisa mengundurkannya kalo kamu merasa belum mampu
Aku menggeleng, “Aku harus pergi. Semakin cepat aku pergi
dari sini, semakin cepat aku tidak melihat Kee-an lagi,” jawabku. “Lagipula
kejadian ini, pasti akan ada di koran besok pagi, aku nggak akan bisa
menghadapinya.”
Bryan,
Nicky, Georgina, dan Kerry terdiam.
“Aku akan mengantarmu,”
tawar Nicky.
“Nggak usah,
aku bisa pulang sendiri.”
“Kamu yakin?”
Aku
mengangguk memastikan dan berjalan meninggalkan mereka.
Mereka
berempat melihat Keavy yang berusaha untuk tidak menampakkan perasaannya di
hadapan mereka, tapi mereka tahu sakitnya perasaan Keavy .
*
Shane
dan Mark menunggu Kian sadarkan diri dari mabuknya. Mereka
bertiga sudah di berada apartemen Kian.
“Di mana gue?” tanya Kee-an kebingungan
begitu tersadarkan diri di sebuah sofa.
“Bangun juga loe,” sambut Mark dingin.
“Di apartemen. Loe tadi mabuk, kita yang
bawa loe pulang,” jawab Shane sama dinginnya.
“Makasih.”
Tapi kemudian dia menyadari Mark berdiri menatapnya dengan tatapan dingin.
Sementara Shane menatapnya dengan tatapan menghakimi.
“Kalian ngeliat apa, sih?” tanya Kee-an
protes dipelototin kedua temannya.
“Loe nggak ingat, apa yang udah loe
lakuin?” tanya Shane.
“Gua cuma ingat, Keavy nampar
gua, nggak tau kenapa?”jawabnya tanpa rasa bersalah.
Mark
dan Shane hanya geleng-geleng kepala.
“Emang gua ngapain?”
Shane
melirik ke arah Mark, lalu kembali ke arah Kian,
”Percuma kalau kita bilang juga, loe nggak tau peduli apa malah seneng,”
ucapnya Shane pesimis.
“Emang gua ngapain!?” tekan Kee-an sedikit
marah.
“Loe udah nyakitin Keavy, tau! Di depan
orang banyak elo teriak-teriak, nyebut dia cewek murahan. Kebangetan loe, ya!?”
ucap Mark bernada marah.
”Hah?” Kee-an tak percaya.
“Iya!” sahut Shane.
“Tega, ya loe, nyebut dia cewek murahan.
Nuduh dia kalau dia sengaja cari muka dengan jalan dengan gue buat terkenal.
Kalo elo mau nyalahin dia, elo yang salah, karna gue yang ngajak dia buat
nemenin gue.”
“Oh, jadi sekarang loe, suka dia?” sahut Kee-an
dengan sinis. “Gillian mo loe kemanain, heah?”
Shane
hampir pingsan dengan ucapan Kian. “Ya, Tuhan, Ki!
Gua ngajak Keavy, bukan karena gua ‘suka’ sama dia! Gua ngajak dia, karena Gill
nggak bisa nemenin gua, dan kenapa gua pilih dia, karena dia sahabat gue, dan
gua sayang sama dia. Gill tahu kok, gue ngajak Keavy.”
Kee-an
masih dengan wajah sinisnya.
“Kenapa, sih, loe? Kenapa loe jadi jahat
gini sama dia, begitu benci sampe nggak bisa maafin dia?”
“Karena dia udah nyakitin gue!”
“Dan dia sudah minta maaf. Nggak bisa loe,
maafin dia, barang sedikit aja? Loe nggak tahu gimana sedihnya loe putusin?”
“Gua nggak peduli!”
Shane
dan Mark hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Mungkin elo nggak peduli, tapi kita masih
peduli. Karena dia masih temen kita, kita masih sayang dia, apalagi melihat apa
yang udah elo lakuin sama dia!” jawab Shane.
“Ternyata bener apa yang ditakutin Keavy. Lebih baik kalian cuma jadi
sobatan daripada jadi pacar yang malah bikin dia sakit.”
“Elo nggak tau, kan, kalo dia sempet masuk rumah
sakit?” tanya Mark sinis.
“Masuk rumah sakit?” kali ini ia terpaku,
walau berusaha ia sembunyikan.
“Ya. Dia terlalu mikirin elo, sampai nggak
mau makan dan akhirnya masuk rumah sakit. Dia bener-benar hancur, loe putusin,”
sahut Shane.
“Tapi gimana sama Daniel?” berusaha untuk
tidak peduli.
“Daniel? Keavy nggak pernah berhubungan lagi
sama dia sejak loe mutusin dia, karena emang dia nggak pernah ada hubungan
apa-apa sama Daniel. Loe udah salah sangka dan salah sangka loe itu udah
ngehancurin Keavy. Dia nggak pernah menyukai siapapun kecuali elo. Cuma elo
yang dia suka! Elo!”
“Tapi terserah, elo emang nggak akan peduli
lagi,” seraya beranjak dan menuju pintu.
Mark
memandangnya pedih, “Loe, bener-bener jahat, Ki” dan mengikuti Shane keluar
kamar.
Blam!
Kee-an
terpekur dengan apa yang diucapkan kedua temannya. Kepalanya pusing sekali. Ia
beranjak lalu menuju ke kamar mandi untuk cuci muka.
Di
depan kaca wastafel dia memandang wajahnya sendiri. Kusut sekali. Tapi kemudian
terngiang kembali ucapan-ucapan dari Mark dan Shane. Dan Keavy , tiba-tiba ia
melihat Keavy di kaca, memandangnya
dengan tangisan.
“Benarkah gua jahat? Benarkah gua udah
nyakitin Keavy?” Kee-an bertanya pada dirinya. ”Tapi dia lebih dulu nyakitin
gua,” belanya. Ia masih ingat saat ia memergoki Daniel mencium Keavy dan
Keavy tidak menolaknya. Ia tahu Daniel
adalah teman Keavy , tapi tidak boleh seenaknya ia mencium Keavy begitu dong. Semua juga tahu Keavy adalah
pacarnya.
Kee-an
benar-benar kecewa. Walau Keavy sudah
mengatakan kalau di antara mereka tidak ada apa-apanya tapi ia tidak percaya.
Ia melihat sendiri bagaimana Daniel menciumnya. Maka tanpa berpikir panjang, ia
langsung memutuskan Keavy. Tak peduli Keavy
menangis mengatakan kalau ia masih mencintainya dan tidak ingin putus.
Hatinya sudah sakit dikecewakan begitu.
*
Aku
tak sanggup lagi menahan tangisku begituku sampai di flat. Langsung kukurung
diriku di dalam kamar dan menangis sepuasnya. Hatiku kembali sakit dan lebih
menyakitkan. Luka yang sudah mulai sembuh, kini terbuka lagi, bahkan lebih
besar. Siapa yang tidak sakit dipermalukan seperti di depan umum terlebih lagi
Dilakukan oleh orang yang sangat dicintai. Dua kali ia menyebutku cewek
murahan. Jahat sekali dia!
‘Kenapa
Kee-an tega berbuat begitu? Besar sekalikah salahku, Kee?’
Kupandangi
koper-koper yang sudah kukemas rapi. Besok aku akan ke Amerika. Aku akan mencoba
memulai hidup baru. Hidup tanpa Kee-an di kepala dan di hatiku. Sudah tidak ada
harapan lagi Kee-an akan kembali. Kee-an sudah sangat membenciku.
***
Keesokan
harinya, headline news, bertuliskan:
“KIAN EGAN MABUK DI PRA IRMA”: “Akhirnya kita mengetahui, mengapa Kee-an tidak lagi
terlihat bersama kekasihnya Keavy
Collins. Itu dikarenakan mereka sedang ada masalah. Kian yang dalam
keadaan mabuk menyerang Keavy saat dia terlihat bersama Shane Filan, teman satu bandnya, pada acara Pra Irma semalam”
Kee-an
terpekur dengan tulisan di koran itu. Bagaimana dengan Keavy?
Kee-an
menyadari kalau dia memang sangat cemburu walau ia tahu yang lebih berhak
cemburu adalah Keavy. Dirinya sering dikelilingi gadis-gadis cantik, dan
idolanya seperti Mariah Carey, dan Britney Spears.
Ia juga menyadari kalau sejak masih sekolah dulu dia sudah banyak yang suka dan
hingga kini yang menyukainya semakin banyak. Kalau tidak, bagaimana mungkin
tahun kemarin ia mendapatkan penghargaan ‘Boy
of The Year‘?
Banyak teman-teman ceweknya ingin jadi
pacarnya dan Keavy tahu itu. Tapi Keavy tidak
pernah cemburu. Terlebih setelah ia terkenal lebih banyak mempunyai penggemar
gadis-gadis, Keavy tetap menanggapinya dengan biasa. Apakah saat itu memang
Keavy tidak punya perasaan apa-apa dengannya? Ah tidak, ia tahu Keavy sangat menyayanginya. Dan setelah mereka pacaran,
belum sekali pun Keavy menunjukkan rasa cemburunya. Keavy masuk rumah sakit
karena terlalu memikirkan dia. Keavy
sangat mencintainya. Jadi siapa yang jahat dan egois?
Memikirkan
Keavy membuat dirinya mulai merindukan Keavy. Ia rindu dengan senyumnya, dengan
tangisnya, dengan keras kepalanya dan terlebih lagi dengan aroma tubuhnya yang
sering ia cium saat ia memeluk dan mendekap Keavy.
‘God, what I’ve done to her?’
12. Hidupku Bersinar Kembali
Sudah
seminggu aku di Amerika. Pekerjaan dengan ‘My Town sudah selesai dan semuanya
berjalan lancar. Mereka menyenangkan dan bisa membuatku sedikit melupakan Kee-an.
Seharusnya aku sudah kembali ke Irlandia, tapi aku belum ingin pulang. Aku
belum bisa pulang. Pulang ke Irlandia, terlebih pulang ke Sligo. Pulang ke
rumah melewati rumah Kee-an, tentu saja mengingatkanku padanya, sementara aku harus bisa melupakannya,
walau tidak semudah yang dijalankannya. Maka aku memutuskan untuk tetap di sini
sebentar. Aku belum tahu kapan aku akan pulang atau bahkan akan menetap di sini
terus. Aku tak pernah tertinggal berita, termasuk mendengar dari Gillian,
Westlife memenangkan 3 Meteor dalam IRMA.
Mendengar
kabar Westlife mengingatkanku pada Kee-an. Aku masih memikirkannya, mencintai Kee-an,
dan tetap berharap dia akan kembali. Tidak ada yang bisa menggantikan Kee-an di
hatiku. Tapi itu tidak mungkin. Kee-an sudah sangat membenciku dan tak akan
lagi kembali padaku. Aku harus bisa hidup tanpanya.
***
Masih
terdengar seruan para penggemar meneriaki nama mereka saat mereka menuju
belakang panggung. Peluh membasahi tubuh mereka tapi mereka senang dapat
menghibur dan memuaskan penggemarnya.
“Pertunjukan yang hebat, anak-anak!” Anton tersenyum puas seraya memeluk
anak-anaknya.
Mark, Kee-an,
Shane, Nicky dan Bryan hanya tersenyum lebar sama puasnya dengan tur manajer
mereka. Mereka sedang berada di Denmark.
“Hebat!”
Anton seraya menepuk-nepuk pundak Kian.
“Yeah, sangat hebat. Terima kasih
teman-teman!” sahut Kee-an pada teman-temannya.
“I
love this show!!!” seru Bryan puas.
“Yeah!!” pekik Mark lega.
“Waktunya pesta!” seru Shane gembira
disambut tak kalah gembiranya oleh keempat temannya.
Setelah
tur show selesai dan berjalan sukses, seperti biasa, mereka selalu merayakannya
dengan pesta di klub.
Semuanya
tampak bersenang-senang dan lega. Satu lagi pertunjukan mereka berjalan sukses. Tapi tidak dengan Kee-an,
ia masih terus dibayang-bayangi rasa bersalah dan penyesalan terhadap Keavy,
tapi ia belum sempat menemui Keavy, karena dia sudah disibukkan dengan jadwal
pertunjukkannya mereka di berbagai
negara. Bila ditelepon pun selalu dalam keadaan tidak aktif. Ataukah Keavy masih marah padanya, hingga
tak mau menjawab teleponnya? Tapi wajar kalau Keavy marah padanya, ia sudah
menyakiti hati Keavy. ‘I miss you so much,’
desis Kee-an dalam hati.
“Tolong,
Ki, jangan mabuk,” sebuah suara mengejutkan Kee-an.
Kee-an
segera melirik asal suara itu.
“Apaan sih?” Kee-an berbalik bertanya.
“Ki, gue tahu, kalau muka lagi gitu. Elo lagi mikirin sesuatu, kan?”
Kee-an
tak menyahut.
“Karena gua tahu elo, lagi mikirin sesuatu,
gua juga yakin, buntutnya elo pasti fly.
Jadi sebelum elo fly, gua udah meringatin
elo,” lanjut Nicky.
Kee-an
tertawa geli.
“Ayolah, cerita, ada
apa?”
Kee-an
terdiam sejenak. Nicky siap mendengarkan.
”Gue kangen dia, Nix,” ucapnya lirih.
“Siapa? Loe ketemu cewek baru?” sahutnya
dengan nada bersemangat.
“Bukan. Keavy. Gue kangen dia.”
Nicky
langsung tersenyum kulum.
“Apa gua nggak salah denger, nih?” Nicky
pura-pura tidak mengerti.
“Iya, gua kangen, dan gua sangat menyesal
apa yang udah gue lakuin sama dia.”
“Udah seharusnya elo nyesel. Elo udah nyakitin dia,” sahut Nicky.
“Gue tahu. Karena itu, gue pengen ketemu,
gue pengen minta maaf. Tapi sampe sekarang gue nggak punya waktu buat ketemu
dia. Gue nggak tahu, apa dia masih mau ketemu gue,” ucap Kee-an pesimis.
“Loe masih cinta dia, kan?”
Kee-an
melirik sesaat pada Nicky,
“Ya, gue masih cinta
dia,”
jawabnya akhirnya.
Nicky
hanya mengangguk mendengar pengakuan Kee-an. Dia sebenarnya sudah menduga, Kee-an
memang masih mencintai Keavy.
“Besok gua mau ke rumahnya, mau minta maaf
sama dia,” ucap Kee-an.
Nicky
menggeleng, “Terlambat, Ki,”
Kee-an
langsung menegang, “Apa maksud loe, terlambat?”
“Ya, kalau besok loe datang ke rumahnya,
loe nggak akan nemuin dia. Mau rumahnya di Sligo atau flatnya di Dublin, dia
nggak akan ada di sana”
Kee-an
tak mengerti.
“Dia pergi.”
“Pergi? Kemana? Inggris,
Prancis, atau_?”
“Amerika.”
“Amerika?” Kee-an terkaget. ”Kapan? Terus
ngapain dia ke sana?”
Nicky
hanya geleng-geleng kepala,
“Elo nggak tahu kalau dia sedang kerja
dengan ‘My Town’?”
Kee-an
menggeleng.
“Loe bener-bener tutup telinga, ya, semua
tentang Keavy? Kita semua ngantar dia ke bandara. Dia pergi seminggu yang lalu.
Tapi dia sudah mutusin untuk tinggal di sana. Dia lebih baik tinggal jauh dari
loe.”
Sekali
lagi Kee-an merasakan penyesalan di hatinya.
“Dia masih cinta loe, Ki,” lanjut Nicky.
Kee-an
melirik Nicky meragukan, tapi Nicky mengangguk pasti.
“Gua harus ke Amerika besok, buat nemui
dia,” putus Kee-an.
“Apa? Nggak bisa! Loe nggak boleh ke
mana-mana, kita masih ada pertunjukan!” halang Nicky.
“Nggak! Gue harus ke sana!”
“Dan ninggalin anak-anak? Oh, nggak bisa, loe
nggak boleh pergi. Gue tahu, elo cinta dia dan pengen ketemu dia buat minta
maaf, tapi kita harus menghadiri
acara IRMA besok lusa, Ki, dan juga kita masih ada beberapa show sampai lima
hari kedepan. Tunggu sampai semuanya beres, baru loe boleh pergi!”
putus Nicky
Kee-an
langsung terduduk. Apa yang dikatakan Nicky memang benar. Ia punya tanggung
jawab dengan grupnya. Dia tidak bisa pergi ke Amerika besok.
“Kapan kita ke Amerika?” tanya Kee-an.
“Sekitar tanggal 13. Tapi itu, kan ke
Venezuela.”
Kee-an
tidak mendengar jawaban Nicky. Di kepala hanya ada Keavy .
“Keav, tunggu aku,” desis Kee-an dalam hati.
***
Aku
pulang ke apartemenku dengan badan letih. Setelah dua minggu tinggal di New
York ini, aku tetap menari di sebuah club tari di sini, tapi belum kuputuskan
untuk bekerja di sana. Ini sekedar untuk mengisi waktu. Sebenarnya aku belum
yakin sepenuhnya dengan keputusanku ini. Semakin aku berusaha melupakannya,
semakin sulit aku menghilangkannya dari kepalaku. ‘Ya Tuhan, tolong aku.’
Saat aku berjalan di koridor
apartemen, aku langsung terpaku dengan seseorang yang sedang duduk tertidur di
depan pintu apartemenku. Ingin langsung kupanggil keamanan untuk mengusir pria
itu, takut-takut dia akan berbuat jahat. Wajar aku waspada, aku kan perempuan
yang tinggal di apartemen seorang diri. Tapi langsung kuurungkan niatku karena
aku merasa mengenali orang itu setelah kuperhatikan baik-baik.
Deg.
No comments:
Post a Comment