Sunday 22 July 2012

Naskah asli Lovely Rose 1st Rose Trilogy - hal. 156 - 187


Naskah asli Lovely Rose 1st Rose Trilogy - hal. 156 - 187



10. Pertengkaran Pertama Kami


12 Januari 2002


Aku segera bersiap-siap dan hanya dalam 5 menit aku sudah tampil cantik. Kee-an baru mengajakku jalan setelah pulang dari Inggris kemarin untuk membuat klip terbaru mereka.

Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu. Kee-ankah? Cepat sekali.
Aku segera membukanya.
    “Daniel?” aku sedikit terkejut melihat Daniel berdiri di depan pintu.
    “Hi, Keav,” sahutnya dengan wajah berseri.
    “What a surprise! Come in,” sambutku dengan tersenyum.
    “Trims,” kemudian masuk ke dalam rumah.
    “Oh ya, mau minum apa?” tanyaku seraya menuju dapur yang tak jauh dari ruang duduk.
    “Apa aja,” jawabnya.
Aku tersenyum.

    “Terima kasih,” setelah menerima minuman dariku.
Aku hanya tersenyum kemudian secara tidak sengaja aku melirik jam tanganku.
    “Kamu mau pergi, ya?” tanyanya mengagetkanku.
    “Hah? Enggak, cuma sedang nunggu Kee-an.”
    “ O… , dia mau ke sini?”
Aku mengangguk dengan tersenyum.

Kemudian terdengar bel pintu berdering.

    “Itu Kee-an,” ucapku seraya menuju pintu.
Tak lama kemudian Kee-an masuk. Kee-an langsung sedikit terheran dengan cowok tak dikenalnya, duduk di sofa.
    “Hallo, Kian,” sapa Daniel tersenyum ramah.
Kee-an langsung terang, ”Daniel?” Dia tahu tentang Daniel.
Daniel tersenyum senang. Kee-an tidak lupa dengannya.
    “Apa kabar, Kian?”
    “Baik, kamu?”
Daniel hanya mengangguk.
    “Sudah lama kita tidak bertemu,” ucap Kee-an.
    “Yeah,” sahutnya tersenyum. ”Senang bisa pulang lagi.”
Kee-an tersenyum.
    “Eh, kalian mau pergi, ya?” tanya Daniel.
Aku dan Kee-an saling berpandangan, kikuk.
    “Mhmm… ok deh, aku juga harus pergi,” ucapnya sebelum sempat aku jawab.
    “Jangan, kamu tidak perlu pergi kok, kita …,” cegahku.
    “Nggak papa, aku memang harus pergi. Aku masih ada keperluan,” sahutnya.
    “Bener?”
Daniel mengangguk meyakinkan.
    “Oh, ok,” sahutku dengan tersirat nafas lega.
Kemudian kami bertiga keluar flat bersama-sama.
    “Lain kali aku ke sini lagi,” ucap Daniel. “Aku telepon kamu dulu.”
    “Ok,” sahutku dengan tersenyum.
Dan kami pergi ke arah yang berbeda.
***

                Sesekali Daniel ke rumah dan memintaku untuk menemaninya keluar. Bagiku tidak ada masalah. Dia kan, teman lamaku yang sudah lama tidak bertemu dan sedang berlibur di sini. Dia sudah tidak punya saudara atau teman di Dublin ini, jadi apa salahnya kalau aku menemaninya. Lagipula Kee-an tidak keberatan.
Sampai akhirnya sudah waktunya ia untuk pulang, kembali ke Amerika.

    “Keav, besok aku harus pulang, dan sebelum itu, aku pengen ngucapin terima kasih atas semua yang kamu lakukan.”
    “Makasih, memang aku ngapain?” aku tidak mengerti.
    “Kamu baik sekali, dan kamu sudah menemaniku selama aku di sini.”
    “Oh, itu. Santai aja lagi, kita kan temen. Lagipula aku suka jalan sama kamu.”
    “Terima kasih.”
Aku tersenyum.
    “Ng.. Keav …” dia ragu untuk melanjutkannya.
    “Ya?”
    “Ng… aku mau bilang sesuatu, tapi tolong setelah itu lupakan apa yang aku bilang. Ok.”
Aku berkerut kening tidak mengerti.
    "Karena aku cuma pengen kamu tahu aja. Ok?”
    “Ok. Bilang aja.”
    “Ng… Aku suka kamu Keav. Aku cinta kamu.,” ucapnya.
Aku langsung terpaku dengan pengakuan Daniel. Benarkah?
    “Aku tahu ini kedengaran gila, tapi bener. Sejak dulu aku sudah suka kamu, tapi karena ada Kee-an di sisi kamu, aku jadi nggak pernah berani mengatakannya, dan lagi mungkin dulu kamu tidak akan mengganggap serius karena kita masih kecil. Tapi sekarang aku harus bilang, karena  ternyata aku masih mencintai kamu, dan aku tidak mau dihantui dengan bayangan kamu. Mungkin setelah aku mengatakannya, aku bisa melupakanmu.Aku bener-bener suka kamu..”
    “Oh, Daniel,” aku hanya bisa tersenyum, tidak tahu harus bicara apa.
    “Tapi tolong, Keav, jangan kamu pikirkan ini. Lupakan saja. Aku hanya ingin mengatakannya saja, setelah itu selesai. Dan lagi, aku yakin kamu tidak mungkin menerima cintaku karena sudah ada Kian. Aku sadar sepenuhnya kok, Keav.”
Aku sedikit bisa bernafas lega, ”Ya, aku sudah punya Kee-an. Dia satu-satunya cintaku.”
    “Itulah,” berusaha menerima. “Jadi lupakan saja apa yang sudah kukatakan tadi, ya. Anggap aku nggak pernah mengatakannya, ok?”
Aku tersenyum, “Tapi, terima kasih,” ucapku tulus.
    “Sama-sama,” sahutnya dengan tersenyum.
Kami saling berpandangan.
    “Boleh aku menciummu?” tanyanya ragu-ragu. “Sekali saja, pertama dan yang terakhir?”
Aku bingung menjawabnya, tapi entah mengapa, aku mengangguk.
Wajah Daniel perlahan mendekatiku, jantungku berdegup kencang.
Kemudian dengan lembut bibirnya menyentuh tepi bibirku. Aku semakin tidak tahu apa yang merasukiku, aku ingin membalasnya dan ciuman itu berlanjut……
    “APA-APAAN KALIAN!!?!” tiba-tiba sebuah pekikan marah mengagetkan kami.
Kami langsung melepaskan diri. Kulihat Kee-an berdiri dengan tatapan marah. Sangat marah!
Ya Tuhan! Aku tidak bisa bicara dengan tatapan Kee-an seperti itu, yang ada hanya pucat dan bingung.
Kee-an menggeleng-gelengkan kepala dengan mata tetap tak percaya.
Tanpa berucap, dia segera berbalik dan meninggalkan kami.
    “Kee-an!!” aku langsung tersadar dan memanggilnya. Tapi dia seakan tidak mau mendengarnya.
    “Keavy!” panggil Daniel.
Aku segera berbalik pada Daniel.
    “Maafkan aku, Keav. Ini salahku ,” ucap Daniel penuh penyesalan.
    “Bukan, salahku juga,” sahutku.
    “Tapi kalau aku tidak memintamu untuk ….”
    “Nggak….nggak…tetap salahku juga,” potongku langsung. ”Maaf, Niel, tapi yang tadi itu itu, … aku harap kamu tidak berpikir aku …”
    “Oh, nggak kok, aku tahu.”
Aku tersenyum lega.
Daniel tak berucap lagi.
    “Apa aku harus bicara dengannya dan menjelaskan yang sebenarnya?” tanya Daniel.
    “Nggak usah, biar aku saja yang ngomong,” tolakku.
    “Tapi aku merasa bertanggung jawab dan aku bisa menjelaskan semuanya,” Daniel bersikukuh.
    “Nggak. Kamu nggak ngerti. Kee-an susah dihadapi kalau lagi marah begini. Biar aku aja yang ngomong. Aku yakin aku bisa menjelaskan yang sesungguhnya, dan lebih baik kalau kamu pulang aja. Tenang, semuanya akan beres.”
    “Kamu yakin?” Daniel tidak yakin.
    “100%,” jawabku dengan tersenyum.
Daniel menghela nafas, “Baiklah, kalau kamu yakin. Aku pulang dulu dan mungkin akan langsung ke Inggris…jadi…”
    “Aku ngerti kok, Niel,” potongku langsung.
Daniel mengangguk, ”Tapi kalau ada apa-apa kamu telepon aku saja ya, kamu sudah punya nomorku, kan?”
Aku mengangguk. Kemudian kami berpelukan.
    “Sekali lagi terima kasih,” ucapnya.
Aku mengangguk dengan tersenyum
    “Bye,” ucap Daniel.
    “Bye.”
Setelah itu Daniel pergi.    
Begitu Daniel pergi, aku mulai kebingungan. Asli, sebenarnya aku tidak yakin apa aku bisa menghadapi Kee-an kalau dia sedang marah begini. Tapi harus aku coba. Aku segera mencarinya.

    “Oh, jadi gitu ya, kalau aku pergi, kamu malah asyik-asyikkan dengan cowok lain!?” tuduh Kee-an langsung.
    “Nggak. Aku nggak pernah asyik-asyikan sama cowok lain selagi kamu pergi,” bantahku.
    “Oh, ya? Terus apa yang aku lihat tadi, kamu asyik ciuman sama Daniel.”
   “Itu ciuman biasa, Kee.”
    “Ciuman biasa!? Kaya’ gitu dibilang cuma ciuman biasa!?“ Kee-an terbelalak tidak percaya. “Aku lihat nafsu kalian!”
    “Kamu salah!”
    “Salah gimana? Aku lihat sendiri kalian berciuman begitu mesranya!” sahut Kee-an panas.
Aku terdiam, ingin menangis melihat Kee-an meledak-ledak begini.
    “Aku minta maaf, Kee,” ucapku penuh penyesalan.
Kee-an mendengus. “Aku nggak nyangka, kamu ternyata bisa melakukan itu di belakangku. Jangan-jangan kamu memang sudah lama menyukainya. Kamu kan, pinter nyimpen perasaan. Ayo bilang sejak kapan kamu suka dia!?”
Aku tidak percaya kalau Kee-an bisa semarah ini. Air mataku perlahan keluar tapi dengan sekuat hati kutahan.
    “Aku nggak pernah suka Daniel apalagi cinta sama dia. Kami cuma berteman,” ucapku lirih.
    “Oh, kalau kamu tidak menyukainya tapi bisa melakukan ciuman itu, berarti kamu… ,” ucap Kee-an sinis.
Nafasku tertahan mendengar tuduhannya. Sakit sekali mendengarnya.
    ”Kamu jahat!” ucapku tertahan.
    “Lho, jahat mana sama kamu? Aku baru pulang dengan harapan begitu ketemu kamu, capekku hilang, tapi apa yang kudapatkan!? Kamu sangat menjijikkan.”
    “Cukup!” pekikku marah. ”Kamu boleh marah tapi jangan menghinaku,” air mataku tak dapat kutahan lagi.
    “Aku tahu aku salah. Aku khilaf dan aku sangat menyesal tapi jangan seenaknya kamu menuduhku sebagai cewek murahan. Aku nggak terima!”
    “Terserah. Tapi kita putus!”
    “Apa!?” aku tertahan tak percaya. Dadaku langsung sesak mendengar Kee-an menyebutkan kata putus.
    “Ya, kita putus, karena aku nggak percaya kamu lagi. Sekarang lebih baik kamu pergi. Aku nggak mau lihat muka kamu lagi!” putus Kee-an lalu meninggalkanku begitu saja.
Jantung seakan berhenti mendadak. Kee-an minta putus? No!
*
                Hati Kee-an terasa hancur dengan pengkhianatan Keavy. Ia tidak percaya Keavy sanggup melakukannya dengan cowok lain sementara dia pergi show. Sakit sekali.
   
    “Woy, Kialo! kenapa loe?” Shane mengagetkan Kee-an yang sedang berduka.
Kee-an tidak menyahut.
    “Gimana, udah ketemu Keavy ?” Shane penuh semangat.
    “Jangan sebut nama itu lagi!” bentak Kee-an langsung.
Shane tentu saja kaget dengan reaksi Kee-an.
    “Kenapa sih, loe? Kalian lagi berantem, ya?”
    “Kita udah putus. Gue yang mutusin dia.”
Shane terkaget, “Apa? Apa gua nggak salah denger, nih? Elo mutusin Keavy?”
Kee-an tidak menjawab.
    “Kenapa sih? Apa masalahnya sampai putus segala?”
    “Dia mengkhianati gue,” jawab Kee-an singkat.
Shane berkerut kening, “Keavy  mengkhianati, loe?”
    “Iya. Gua mergokin dia ciuman sama Daniel. Percaya nggak loe?”
    “Nggak. Mungkin cuma ciuman persahabatan doang, kali’. Gua juga sering nyium dia, bukan berarti dia suka sama gua atau sebaliknya, kan? kamu juga nggak pernah cemburu.”
    “Ciuman ini beda, Shane. Itu bukan ciuman persahabatan. Emangnya gua nggak bisa bedain! Itu ciuman penuh nafsu,” bantah Kee-an.
Shane tercenung. ”Nggak mungkin.”
    “Tapi gue lihat dengan mata kepala gua sendiri, dan begitu tahu gua mergokin mereka, mereka langsung pucat kaya’ maling ketangkep basah, jadi jelas, kan!?”
    “Gua masih nggak percaya, Keavy sanggup menghianati loe. Dia udah kasih penjelasan?”
    “Udah. Dia memang bilang kalau itu cuma ciuman biasa, tapi gua nggak percaya. Mana ada sih, maling jujur!”
Shane geleng-geleng kepala lihat Kian yang semakin panas.
    “Pokoknya gue nggak percaya. Jadi gue langsung bilang putus aja ama dia.”
    “Segampang itu?”
Kee-an mengangguk, ”Hati gue udah terlanjur sakit!”
Shane tidak dapat berucap apa-apa lagi.
*
                Aku tidak mau putus. Aku meminta penjelasan atas keputusan Kee-an yang menyakitkan itu. Terus kucoba untuk menelepon Kee-an tapi Kee-an tidak pernah mau mengangkatnya. Dia tidak mau bicara lagi sama aku.Tapi aku tidak boleh putus asa. Aku tidak mau putus dengan Kee-an.

    “Ngapain kamu ke sini?” sambut Kee-an sinis saat aku menemuinya di tempat latihannya. Terlihat jelas Kee-an tidak mau bertemu aku.
    “Aku minta kamu menarik kata putusmu itu,” ucapku lirih.
Kee-an mendengus. “Nggak.”
    “Beri aku kesempatan, Kee, aku janji aku nggak akan melakukannya lagi,” pintaku dengan memohon. Sekali lagi air mataku mulai menetes.
    “Nggak!”
    “Tapi aku masih sayang kamu, Kee-an. Aku nggak mau kita putus.”
    “Aku yang pengen putus. Kamu nggak tahu sakitnya dibohongi orang, apalagi orang yang paling kamu sayangi.”
    “Aku nggak pernah bohong sama kamu. Aku sama Daniel cuma teman, nggak lebih, Aku sumpah, sumpah demi Tuhan!”
    “Udahlah nggak usah bawa-bawa nama Tuhan. Aku lihat sendiri bagaimana kamu mencium dia. Di depan mata, tau nggak!”
Aku semakin perih mengingat itu. Kesalahan terbesarku.
    “Maafin aku, Kee, aku bener-bener minta maaf. Tapi aku nggak mau putus. Aku masih cinta kamu,” aku benar-benar memohon. Berlutut!
    “Tapi aku nggak. Aku nggak bisa maafin kamu. Terlalu menyakitkan, Keav, dan kamu tahu; aku benci kamu!” ucap Kee-an pedas.
Sekali lagi dadaku sesak mendengar itu.
    “Ingat Keav, kita udah putus. Jadi jangan coba untuk ketemu aku lagi karena sekarang aku bener-bener benci kamu,” ucap Kee-an dengan menatapku sinis.
Aku bener-bener tidak percaya kalau Kee-an setega ini. Aku tidak dapat berucap apa-apa lagi. Aku melihat Kee-an bukan Kee-an yang dulu lagi. Kee-an-ku sudah pergi.
Dengan hati perih tersayat-sayat, aku keluar dari ruangan itu.

Di luar aku disambut dengan tatapan terkejut plus simpati oleh Mark, Bryan, Nicky dan Shane. Sebelum mereka berucap, aku segera keluar dari gedung itu dan pulang.
*
    “Jangan ngomong apa-apa!” ucap Kee-an tajam pada keempat temannya yang sudah siap menghakiminya.
    “Tapi Ki…?
    “Ini urusan gue sama dia. Kita selesai. Putus!” balas Kee-an. “Dan gue nggak mau denger namanya lagi!!”
Mark, Shane, Bryan Nicky tidak dapat berucap lagi. Yang mereka pikirkan bagaimana perasaan Keavy .
***

                Aku benar-benar terpuruk setelah Kee-an memutuskanku. Tak henti-hentinya aku menangis dan menyesali apa yang telah kuperbuat. Kalau saja Daniel tidak menciumku, semua ini tidak akan terjadi dan aku pasti masih bersama Kee-an. Sungguh ciuman itu tidak ada artinya. Bagiku, ciuman itu hanya ciuman biasa. Aku tidak punya perasaan sedikit pun dengannya, karena hanya Kee-an yang kucintai. Tapi Kee-an tidak percaya dan langsung saja memutuskanku. Dia sudah mengucapkan hal yang sangat menyakitkan dan menakutkanku. Kini dia sudah membenciku dan tidak ingin bertemu aku lagi.
    “Kee, aku nggak mau putus, aku masih sayang kamu,” isakku. Mataku sembab.
Duniaku hancur begitu saja tanpa ada harapan. Sangat menyakitkan Kee-an memutuskanku dengan begitu kejamnya. Bila dibandingkan dengan Andrew saat ia memutuskanku dulu, ini sangat menyakitkan. Kee-an mengatakan putus dengan perasaan marah dan tidak memberi kesempatan untuk memberi penjelasan atas kesalah-pahaman ini. Dan yang lebih menyakitkan lagi, kini aku benar-benar sudah kehilangannya.
    “Oh, God !” aku kembali menangis dan tak henti-hentinya.
***

Gillian tahu perasaan Keavy , terlebih melihat dia berusaha untuk melupakannya dengan menari. Hampir setiap hari Keavy  menari lebih dari 7 jam tanpa henti. Dia terlalu memaksakan diri untuk dapat melupakan masalahnya. Di tempat latihan dia terus menari tanpa henti, sesampainya di flat, Keavy  langsung menangis teringat kembali dengan Kee-an dan hanya mengurung diri di kamar, dan hanya sedikit menyentuh makanan yang tentu saja tidak baik untuk Keavy  sendiri. Tentu saja Gillian tidak tega melihatnya seperti ini meski ia tahu Keavy-lah yang salah. Keavy  hanya mengurung diri di kamar, dan hanya sedikit menyentuh makanan yang tentu saja tidak baik untuk Keavy  sendiri. 

                 Teman-temannya tidak tega melihat Keavy, apalagi Gerry sebagai kakaknya. Sebenarnya ia tidak terlalu peduli dengan urusannya Keavy, apalagi yang menyangkut ‘cowoknya’. Tapi masalahnya, Keavy tinggal dengannya, yang berarti menjadi tanggung jawabnya. Kalau terjadi apa-apa, dia sendiri yang kena marah ibunya, karena tidak bisa menjaga adik.

Makin hari Keavy  semakin kelihatan lemah dan pucat, dan akhirnya,
Aku tergolek lemah di tempat tidur rumah sakit, tanpa tahu apa yang telah terjadi. Yang aku ingat, tadi pagi aku masih ada di tempat latihan, menari dengan penuh konsentrasi, namun kemudian tiba-tiba aku merasakan semuanya jadi gelap dan sadar-sadar aku sudah terbaring di rumah sakit ini.
                Gerry menemaniku setelah mama dan papa datang, dengan wajah biasa-biasa saja. Aku sudah takut bila Gerry melaporkan penyebab dari semua ini adalah karena aku patah hati. Sungguh memalukan bila mereka tahu itu. Tapi untunglah Gerry mengatakan kalau aku hanya terlalu kecapekan dengan menariku. Jelas, papa langsung mewanti-wanti agar ingat dengan kondisi badan, jangan terlalu dipaksakan karena terlalu asyik menari. Itu lebih baik daripada harus mendengar ceramah papa tentang cinta, karena pasti tidak akan selesai-selesai. Thanks Gerr.

    “Loe mau, gua hajar Kian, terus bawa dia ke sini?” tawar Gerry tiba-tiba.
Aku langsung terbelalak mendengar tawaran Gerry.
    “Jangan! Nggak usah, Ger,” aku memohon.
    “Tapi dia kan, yang buat loe kaya’ gini?”
Aku menggeleng, “Bukan dia. Aku yang bikin dia mutusin aku. Aku yang salah,” jawabku lirih.
    “Ya, emang sih, elo juga yang salah. Tapi kan, elo udah ngasih penjelasan, dia aja yang nggak mau kasih kesempatan.”
Aku menghela nafas, “Udah, Gerr, aku nggak mau inget lagi. Ini emang udah jadi kesalahanku dan aku harus nerima akibatnya. Diputusin Kee-an,” aku berusaha untuk menahan tangisku. “Pokoknya, kamu jangan apa-apain Kee-an. Ya?” pohonku sekali lagi.
Gerry menggenggam tanganku kemudian mengangguk.
Aku langsung tersenyum lega.
    “Hai,”
Aku dan Gerry langsung menoleh ke arah pintu.
Kepala Gillian muncul di balik pintu dengan tersenyum ceria.
    “Hi. Masuk Gill,” sahutku. Aku yakin dia datang bersama Shane.
Benar saja, Shane menyusul di belakangnya seraya membuka pintu lebih lebar. Ternyata mereka tidak datang berdua saja. Mereka datang bersama, Mark, Nicky, Georgina, Bryan dan Kerry. Astaga, mereka semua menjengukku!
    “Hai, Keav, Ger,” sapa Shane hangat.
    “Hello guys,” sambut Gerry.
Aku tersenyum kemudian menerima pelukan hangat dari mereka semua.
    “Oke, kaya’nya gua harus keluar nih. Nih kamar terlalu sempit untuk 10 orang,” canda Gerry.
Semua tertawa dengan gurauan Gerry. Kemudian keluar dari kamarku.
    “Gimana, Keav?” tanya Bryan setelah Gerry keluar kamar.
    “Ya, agak baikan.”
    “Kamu sudah kelihatan lebih segar,” sambung Kerry.
Aku mengangguk dengan tersenyum.
    “Kamu tuh, ya dibilangin emang susah. Sekarang kamu sendiri khan, yang ngerasainnya,” sungut Gillian.
Aku tersenyum kecut. Ucapan Gillian mengingatkanku pada Kee-an. Dia selalu mengucapkan itu kalau aku tidak mau mendengar omongannya.
    “Kamu ngagetin kita aja,” Gina penuh perhatian.
    “Kita langsung ke sini, waktu denger kamu masuk rumah sakit,” terang Mark.
    “Untung kita lagi off,” lanjut Nicky.
Aku tersenyum terharu, “Aku udah nggak apa-apa kok.”
Aku tidak menyangka mereka masih perhatian denganku. Kukira hanya Shane, Gillian, dan Mark saja, tapi ternyata Nicky, Georgina, Bryan, dan Kerry juga.
    “Kian nggak tau kamu masuk rumah sakit. Kamu mau dia_” tanya Shane hati-hati.
    “Jangan!” sahutku cepat. “Kee-an nggak perlu tau aku masuk rumah sakit. Jangan kasih tahu dia, ya?”
Shane mengangguk dan tak berucap lagi, takut salah bicara dan akan semakin menyakiti hati Keavy .
Suasana langsung berubah kaku setelah Shane menyebutkan nama Kee-an.
    “Molly mana?” tanyaku mencairkan suasana.
    “Molly di rumah. Tadi mau kita ajak, tapi nggak tau kenapa tiba-tiba dia rewel. Jadi nggak kita ajak,” jawab Bryan. “Lho, bukannya nggak boleh bawa anak kecil ke sini?”
Aku mengangguk membenarkan.
    “Untung nggak kita ajak,” sahut Bryan dengan wajahnya yang polos.
Semuanya hanya tersenyum geli melihat Bryan dengan wajah seperti itu.
Cukup lama mereka menemaniku di sini. Ternyata mereka masih mempedulikanku dan memperhatikanku. Aku sangat bersyukur memiliki teman-teman sebaik mereka. Thanks guys.
 
                Dua hari cukup untukku menginap di rumah sakit, itu juga sudah lebih dari cukup. Aku tidak mau menginap di rumah sakit lagi. Mama menemaniku untuk beberapa hari. Aku harus banyak makan yang teratur dan tidak boleh memikirkan sesuatu yang memberatkan kepalaku. Tapi bagaimana bisa? Aku masih belum bisa menghilangkan Kee-an dari kepalaku. Hatiku masih pedih dan aku tidak bisa melupakannya. Pemutusan Kee-an benar-benar membuatku hancur. Aku tidak percaya dia memutuskanku seperti ini.
    “I hate you Kee.”
   “Why do I love you, don’t even want to. Why do I love you like I do, like I always do…?” (*Why Do I Love You-Westlife-World of Our own’01)
     “No… I didn’t hate you. I still love you Ki”


11. Aku Terluka

Pebruari 2002


Aku terbaring tak berdaya di tempat tidur. Sudah seminggu berlalu sejak aku keluar rumah sakit. Mataku masih nanar dan sembab karen terus menangis. Duniaku  terasa runtuh dan gelap. Semuanya hancur begitu saja. Dua minggu lalu Kee-an memutuskanku dengan sangat menyakitkan. Masih ingat dengan jelas Kee-an berteriak penuh emosi mengatakan kata putus di depan mukaku dan tidak memberiku kesempatan untuk membela diri. Kee-an telah memutusukanku secara sepihak dan tentu aja aku tidak bisa menerimanya. Tapi aku tidak bisa menolaknya atau membalasnya. Aku tahu aku yang salah dan aku tidak akan mampu untuk melawannya.
Sakit sekali, sangat sakit. Tidak hanya karena aku kehilangan pacar tercintaku tapi juga sekaligus kehilangan sahabat terbaikku. Dulu, ketika Andrew memutuskanku, aku tidak terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Bahkan hanya dalam dua hari aku bisa seperti biasa. Itu karena ada Kee-an di sisiku yang selalu mendampingiku dalam senang dan kesedihan. Aku masih mempunyai Kee-an. Tapi kini, justru Kee-an yang memutuskanku dan sejak itu dia benar-benar tidak peduli padaku lagi. Kini aku benar-benar kehilangan semuanya.
Ketakutanku kalau kami ‘jadian’, terbukti sudah. Seharusnya aku tidak menerimanya waktu dia menembakku. Pasti tidak akan sesakit ini.

    “Kenapa kamu melakukan ini, Kee?” isakku perih.
    “I cry silently,” entah dari mana terdengar reff lagu Westlife yang menggambarkan suasana hatiku. “I cry inside of me. I cry hopelessly, cause I know I’ll never breathe your love again…..”
(*I Cry-Westlife-World of Our own’01)
Langsung kumatikan lagu itu, “Aku benci lagu itu!” pekikku marah.
Knok…knok…
Aku tidak menyahutnya dan membiarkan orang itu yang masuk.  Tak lama kemudian Nicky dan Georgina muncul di balik pintu.
    “Kamu nggak apa-apa?” tanya Georgina terheran.
Aku tak menjawab.
    “Kamu kelihatan mengerikan, Keav,” lanjut Nicky
    “Peduli amat. Nggak ada yang peduli ini,” sahutku tak mau tahu.
    “Kita peduli, Keav,” protes Georgina
Aku terdiam memandang Nicky dan Georgina.
    “Oo…ayo dong, Keavy , kamu jangan hopeless gini dong. Kami tahu kamu sakit, tapi kamu nggak boleh seperti ini. Nanti kamu sakit lagi. Lupakan Kee-an. Hidupmu harus berlanjut,” ucap Georgina.
    “Kee-an adalah hidupku, dan aku nggak punya kehidupan lagi,” sahutku pesimis.
Nicky dan Georgina saling berpandangan putus asa.
    “Keavy …,” ucap Nicky
    “Tolong,” potongku cepat. “Aku tahu kalian sangat memperhatikanku dan aku sangat berterima kasih untuk itu. Tapi tolong kalian tidak perlu bersusah payah membangkitkan semangatku. Aku pasti bisa bangkit, tapi tidak sekarang. Sekarang aku ingin sendirian, kalian pulang saja, dan jangan mengkhawatirkanku.”
    “Tapi Keav …”
    “Maafin aku,” aku bersikukuh.
Mau tak mau, Nicky dan Georgina keluar dari kamarku.

Seharusnya aku berterima kasih pada mereka. Tidak hanya Nicky dan Georgina, tapi juga pada Shane, Gillian, Mark, Bryan dan Kerry, karena mereka masih memikirkanku dan mempedulikanku. Mereka langsung menjengukku begitu tahu aku masuk rumah sakit, dan berusaha membesarkan hatiku tapi tidak ada yang dapat membuatku melupakan Kee-an. Aku cinta Kee-an so much, aku pengen dia kembali. Aku kembali menangis.
**

    “Ada yang lihat Kian?” tanya Bryan
    “Tau’, introspeksi diri kali,” sahut Mark       
    “Gimana Keavy ?” tanya Shane.
    “Ya gitu deh, masih ngurung di kamarnya,” jawab Georgina.
    “Kasian Keavy. Kian emang kebangeten deh. Segitunya nyakitin cewek,” sahut Nicky.
    “Aku nggak pernah ngira, Kian setega itu. Kalau aku digituin sudah pasti aku juga sama seperti Keavy , sebulan sakitnya nggak ilang-ilang,” ucap Kerry.
    “Keavy sangat mencintai Kian, itu sudah jelas,” sahut Shane.
    “Sebenarnya Kian juga masih sangat mencintai Keavy , tapi rasa marahnya menutupi kata hatinya,” lanjut Gillian.
Shane mengangguk membenarkan.
    “Kukira Kian orang berperasaan dan romantis,” Georgina tercenung tak percaya.
    “Kian memang orangnya romantis, mungkin yang paling romantis di antara kita. Tapi kalau sudah berantem sama ceweknya, hujan air mata!” Shane sangat tahu bagaimana sahabatnya ini
    “Ternyata dia lebih parah dari Andrew,” Nicky dengan geleng-geleng kepala.
    “Stss…ada orangnya,” Mark tiba-tiba memperingatkan, begitu melihat Kee-an masuk.
Kelima-belas mata memandang ke arah Kee-an.
    “Apa liat-liat!!?” protes Kee-an langsung sewot.
Langsung, kelima-belas mata membuang muka dan hanya geleng-geleng kepala.
*

    “Nggak bisa apa, loe maafin dia?” tanya Shane berusaha untuk menyadarkan Kian.
    “Dan loe, apa loe bisa maafin Gillian kalau dia berbuat sama kayak dia!?” Kee-an berbalik tanya dengan tajam.
Shane terdiam.
    “Nah, kan, loe juga nggak akan bisa memaafkannya,” Kee-an tertawa mengejek.
    “Nggak. Gue pasti maafin. Gue cinta Gill, Ki, dan gue juga tahu loe masih mencintai Keavy ,” sahut Shane serius.
Kee-an tersenyum sinis, “Setelah apa yang dia lakukan sama loe?”
    “Ya, ampun, Ki, dia cuma melakukan sekali kesalahan!” Shane mulai kesal.
    “Yeah, satu kesalahan yang berarti segalanya. Dia mengkhianati gue. Dia bohong sama gue!”
    “Dia nggak ngekhianatin loe. Dia cuma khilaf. Apa loe nggak pernah khilaf? Itu manusiawi, lagi. Semua orang melakukan kesalahan, tapi nggak semua orang bisa menyesali kesalahannya.”
Kee-an terdiam seakan terkunci dengan ucapan Shane.
    “Tolong, Shane, gue nggak mau membicarakan hal ini lagi, dan gue nggak mau kita bertengkar karena dia. Hati gue sudah tertutup untuk dia. Sudah berakhir. Gue tahu apa yang gue rasain sama dia …”
    “Yeah, loe bingung,” potong Shane cepat. “Loe bingung dengan hati loe sendiri. Dia masih mencintai loe, Ki, masih mencintai loe!” tekan Shane kemudian berlalu dari hadapan Kee-an.
Kee-an mendengus kesal. Tapi kemudian terpikirkan ucapan Shane
    “Benarkah dia masih mencintai gue?” Kee-an tersenyum sinis, “Naah, dia nggak pernah mencintai gue,” sahutnya yakin.
***

    “Keavy …!!”
Terdengar  suara memanggil dari luar kamar dan aku tahu siapa pemiliknya. Siapa lagi kalau bukan Gillian. Ngapain juga dia ke sini, lagi? Udah tau aku lagi nggak kepengen ketemu siapa pun !
Sesaat kemudian, kepala Gillian muncul dari balik pintu dengan senyumnya.
    “Heh, bangun. Udah beberapa hari ini kamu nggak masuk latihan. Mau sampai kapan kamu begini, ngurung di kamar, nggak ada kehidupan?” Gillian langsung ‘berkicau’.
Aku tak menjawab.
    “Kamu ini gimana? Kemarin, kamu nari maksakan diri, nggak kekontrol sampai kamu sakit, tapi sekarang setelah sembuh, kamu malahan nggak ada semangat untuk nari lagi,” sahut Gillian.
    “Kita tahu kamu masih berduka dan baru keluar dari rumah sakit, tapi kan itu udah seminggu yang lalu. Nggak bisa dibiarin. Kamu harus hidup lagi.”
    “Udahlah, Gill, aku belum bersemangat untuk nari lagi. Aku masih malas, dan kalau kalian berusaha bujuk aku, percuma, kalian cuma buang waktu…”
    “Kebalik!” potongnya langsung. ”Kamu yang buang waktu percuma, ngurung di kamar nggak ada guna. Enak aja kamu bilang malas latihan, kamu udah kehilangan pentas tarimu.”
Aku mendengarkan dengan tak bersemangat.
    “Nih, aku bawa cd,” Gillian langsung menuju cd player-ku dan memasukkan cdnya lalu memutarnya.
Kemudian terdengar suara musik up tempo, yang akhir-akhir ini mengiriku menari. Aku langsung ingin menari tapi masih ada rasa malas di hati. Gillian sudah mulai menari dengan semangat dan lincah.
    “Keav, jangan bengong. Ayo, ikut nari,” ajaknya
    “Nggak mood.”
    “Jangan boong,” Gillian menghampiriku kemudian meraih tanganku mengajakku menari bersama.
    “Ayo gerakin badan kamu,” pancingnya.
Irama musik yang mengundang tidak dapat kutolak dan langsung saja aku menari dengan semangat seperti biasanya.
Gillian terlihat senang melihat perubahanku, aku tidak perduli. Kami berdua langsung menari bersama dengan semangat melakukan gerakan-gerakan yang memeras keringat dan membuat kami mandi keringat.

    “Wow,” ucapku tersengal-sengal, begitu tarian kami selesai.
Gillian hanya tertawa lebar seraya mengatur nafasnya.
    “Kamu benar, harusnya aku menari dengan musik seperti ini aja, biar aku bisa menghilangkan Kee-an yang jelek itu dari kepalaku,” ucapku seraya meringis, tapi langsung terdiam dan merasa tidak enak dengan Gillian karena menjelekkan Kee-an. Kee-an kan sepupunya.
Gillian hanya tersenyum,” Nggak apa-apa, kok. Kamu boleh bilang dia jelek sesukamu. Karena  kadang-kadang dia emang jelek, kok.”
Aku langsung tersenyum lega plus geli.
    “Dan kamu memang harus bisa melupakannya,” lanjutnya.
    “Yak, kita nari lagi,” ucapku seraya menyalakan musiknya dan kami menari lagi.

                Memang benar, sejak Gillian datang dan mengajakku menari lagi dengan musik yang cepat, aku sedikit bisa melupakan Kee-an. Meski tidak bisa sepenuhnya aku bisa melupakan dia, karenaa aku memang masih mencintainya. Tapi paling tidak aku mulai bisa menghadapi duniaku tanpanya. Aku semakin serius dengan tarian pop modern, yang sebelumnya bukan bidangku. Aku menyukainya karena lebih menguras tenaga, dan having fun, tidak seperti tarian kontemporerku dulu yang lebih menonjolkan keindahan dan keseriusan.

                Selang seminggu kemudian ada panggilan yang tidak terduga, bahkan tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, yaitu produser grup ‘My Town’ memintaku untuk menjadi koreografer untuk video klip terbaru mereka. Aku sempat terheran, aku yang belum lama terjun di tarian pop modern, sudah diberi kepercayaan untuk memegang mereka. Tapi ini kesempatanku dan pembukKee-an, kalau aku bisa menguasai keduanya. Tanpa aku pikir panjang lagi aku menyetujuinya.

Setelah bertemu para personel ‘My Town’; Terry, Marc, Danny dan Paul serta melakukan pengenalan gerakan, aku menanda tangani kontrak dengan mereka untuk satu video klip.

Ternyata latihan dan pengambilan gambar klip, tidak akan dilakukan di sini (Eropa) tapi di Amerika sana, tepatnya di New York. Sempat kaget juga. Tapi mungkin, jauh dari Kee-an bisa membantuku semakin melupakan dia. Sebelum kami berangkat ke sana, bulan depan, kami sudah memulai latihan kami. Anak-anaknya asyik, aku suka mereka.
Suatu sore, aku berjalan-jalan sendiri mengitari kota, di bawah birunya langit sore Dublin, seraya berharap sekelilingnya akan menelannya untuk melupakan hubunganku dengan Kee-an yang sudah berakhir. Ternyata aku masih belum bisa melupakannya walau sudah berlalu sebulan dan sekuat tenaga aku berusaha melupakannya. Aku memang masih mencintainya dan masih berharap dia akan kembali padaku. Besok aku akan berangkat ke Amerika, dan mencoba untuk melupakan Kee-an

Kupakai kacamata hitamku untuk menutupi silaunya matahari sore. Tiba-tiba Kee-an berjalan melewatiku. Aku sempat terkejut juga. Di belakang Kee-an, menyusul Bryan.

    “Keav!” panggil Bryan.
    “Bryan, kok kamu di sini?” aku terheran bertemu secara kebetulan dengan Bryan dan Kee-an di jalan seperti ini.
    “Kita baru dari kantornya Louis,” jawab Bryan.
Aku melihat sekelilingku. Memang benar tanpa sadar aku sedang di pusat kota yang tidak jauh dari kantor Louis Walsh.
    “Woi! Egan!” Bryan berteriak pada Kee-an. ”Lihat, siapa nih!”
Tapi Kee-an tidak memperdulikannya. Jangankan memperdulikannya menengok pun tidak. Dia terus saja berjalan.
Aku berusaha untuk bersikap tidak peduli; dia akan berbalik atau tidak, meskipun susah  dan Bryan tahu itu.
    “Maaf, Keav,” ucapnya dengan menyesal.
    “Nggak pa-pa,” sahutku dengan tersenyum.
Bryan langsung tersenyum lega.
Tak lama, Mark, Shane dan Nicky menghampiri kami berdua.
    “Hi , Keav,”sapa mereka .
    “Hi, semua sahutku. “Gimana kabar kalian?”
    “Semuanya baik-baik saja,” jawab Nicky. “Kamu gimana? kelihatannya kamu sudah nggak apa-apa.“
    “Ya, aku nggak apa-apa. Aku bisa hidup tanpanya. Hidupku tidak hanya dia. Itu kenyataan. Lagipula aku sudah mulai membuka diri.”
    “Baguslah, Keav. Maksudku, kalian memang pasangan yang serasi waktu kalian masih bersama, tapi sekarang merupakan awal yang baru, kan,” Shane berucap dengan hati-hati berusaha untuk tidak menyinggungku.
    “Kamu bener, Shane, hidupku harus tetap berjalan, dan sekarang aku sedang ada proyek dengan ‘My Town’,”
    “Jadi bener, waktu kita denger kamu jadi koreografernya My Town?” Mark penasaran.
    “Yup, aku memang akan jadi koreografernya untuk satu video klip. Mereka sangat menyenangkan, keren banget,” jawabku sedikit semangat.
    ”Kamu nggak berniat untuk kencan dengan mereka, kan?” tanya Bryan usil.
Aku tertawa, ”Ya, nggak, lah. Kalau aku mau, pasti aku kencan dengan kamu atau salah satu dari kalian dulu, baru sama mereka,” jawabku sama ngaconya.
Mereka tertawa dengan gurauanku.
    “Kalau begitu, mau nggak, kamu jadi pasanganku di acara pra-IRMA* minggu depan?” tanya Shane. “Kebetulan Gill nggak bisa nemenin.” (*Irish Meteor Awards= Ajang Penghargaan Musik bergengsi Irlandia)
    “Apa Gill, nggak akan marah kamu pergi sama aku?”
    “Nggak. Dia khan, bukan Kian…,” Shane langsung berhenti  setelah merasa kelepasan .
Aku hanya tersenyum, ”Nggak pa-pa kok, Shane.”
Shane langsung tersenyum lega.
    “Pasti, aku mau jadi pasanganmu!” jawabku dengan bersemangat.
    “Hebat, pasti asyik,” Shane bersemangat.
Aku tersenyum senang.
Nicky melirik jam tangannya, “Maaf, mengganggu, tapi kita harus pergi. Limabelas menit lagi kita ada kerjaan di studio,”
Aku meringis, ”Maaf. Kebetulan juga aku masih harus membeli sesuatu. Jadi kita ketemu lagi nanti, ya.”
Mark, Bryan, Shane dan Nicky mengangguk, lalu aku meninggalkan mereka.



Pada malam pra-IRMA.

                Ratusan penggemar meneriaki mereka di sepanjang sisi-sisi karpet merah yang mereka lewati. Bodyguards berusaha untuk melindungi mereka dari para penggemar yang kelihatannya mulai menggila. Demi menjadi boysband yang manis, Bryan, Shane, Nicky, Mark juga Kee-an melayani dan menerima tanda tangan untuk penggemar mereka. Aku menunggu mereka bersama Georgina, dan Kerry berdiri tidak jauh dari mereka.
Shane beralih padaku, ”Kamu bisa menunggu di dalam kalau kamu mau. Kayaknya kita masih harus menanda tangani untuk penggemar.”
Aku menggeleng dengan tersenyum, ”Nggak pa-pa, aku bisa menunggu, kok, sampai kalian selesai. Aku, kan biasa menghadapi ini.”
Shane hanya tersenyum lega dan kembali pada penggemar mereka. Aku memperhatikannya dari belakang dan membuatku teringat akan saat-saat masih bersama Kee-an, saat aku menunggunya dengan sabar, Kee-an melayani penggemarnya. Terlebih melihat Kee-an dari jauh yang dengan ramah melayani para penggemarnya. God, I miss Kee-an so much.

Kilatan lampu dari kamera para wartawan terus menyala seiring mereka, termasuk aku, yang berada di samping Shane berjalan di atas karpet merah ini. Semuanya ingin mendapatkan foto eksklusif aku dan Shane. Sebuah berita baru. Aku tahu mereka pasti menggunjingkanku, karena yang mereka tahu, aku adalah pacar Kee-an, walau mereka tidak tahu aku sudah putus dengannya. Sebulan yang lalu aku masih di sisi Kee-an sebagai pacarnya dan kini aku sudah berada di sisi Shane. Berita yang menghebohkan, bukan? Tapi aku tidak peduli, toh aku dengan Shane tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya teman biasa.
*
Kee-an, bagaimanapun juga, ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Sementara ia melihat Keavy dengan Shane tertawa dan bergembira bersama yang lainnya. Ia merasakan ada yang mengganjal di hatinya, dan ia tidak bisa menyingkirkannya. Ia tidak percaya, ternyata ia masih memikirkan Keavy .
Cari pegangan, Kee-an, ia berbicara pada dirinya sendiri.
Ia tidak suka situasi ini. Mungkinkah ini karena rasa bersalahnya pada Keavy …ataukah justru rasa marah? Tapi apapun perasaan itu, ia berusaha untuk memendamnya.
*
Aku melirik ke arah Kee-an dengan perasaan khawatir melihat dia minum terus, seperti tidak ada harapan. Kee-an memang biasa minum (bahkan sering mabuk), tapi untuk kali ini aku tidak tega melihatnya seperti ini. Kalau dia masih terus minum, bisa dipastikan dia sakit atau bahkan tidak bangun lagi. Tergambarkan dengan jelas keadaan Kee-an. Ingin rasanya aku menghampirinya dan merangkulnya, tapi itu tidak mungkin, atau itu akan membuatnya semakin marah padaku. Aku mengalihkan pandanganku kembali pada obrolan kami.
*
Kee-an melihat dengan perasaan cemburu. Apa yang dilakukan Shane? He’s asking Keavy  out?  Gimana dengan Gillian. Sialan si Shane! Dan itu lagi, baju apa yang dipakai Keavy? Kee-an memandangi Keavy dari ujung kaki sampai ujung rambut. Keavy  hanya memakai pakaian mini yang tipis. Ia yakin, setengah pria yang berada di ruangan ini ‘menginginkan’ Keavy .

Terhuyung-huyung, Kee-an berjalan menuju Keavy  dan orang-orang yang disekitar Keavy . Dengan kasar ia menarik Keavy  dan meneriakinya.
*
    “Brengsek, kamu Keav! Kamu bener-bener pelacur!! Setelah kamu mengkhianatiku, kamu langsung beralih pada Shane!? Awas aja kalau Gillian tahu.”
Kami tersentak dengan ucapan Kee-an yang tiba-tiba mengacau.
    “Tunggu saja sampai mereka tahu kalau kamu adalah seorang pelacur. Kamu tidur dengan anggota boyband agar wajahmu selalu terpampang di depan koran sebagai hot news!!” lanjutnya semakin tak terkontrol.
Kudekati dia, tak peduli semua mata tertuju padaku.
PLAK !!!, penuh emosi kutampar dia.
    ”Kamu yang brengsek!!” ucapku penuh amarah.
Kee-an langsung ambruk setelah kutampar.
Shane, Bryan dan Mark langsung menghampiri Kee-an dan segera mengeluarkannya dari ruangan itu.
Banyak orang yang menjadi saksi akan kejadian itu, seperti tersihir tidak percaya akan Kee-an, dan aku langsung keluar dari sana.

Aku keluar dengan gemetar dan marah. Sakit di dada menyesakanku. Salah apa aku, sampai harus menerima umpatan ini? Tentu saja, saat itu Kee-an sedang mabuk dan tidak sadarkan waktu menyebutku pelacur, tapi tetap saja tidak bisa dimaafkan. Kee-an jahat!

     “Keavy!” Nicky berteriak memanggil di belakangku.
     “Keav, kamu nggak pa-pa?” tanyanya setelah di hadapanku dengan menggenggam tanganku.
Entah mengapa, begitu tangan Nicky menggenggam tanganku, pertahananku untuk kuat langsung runtuh dan gelap semua.

Aku tersadar dan sudah berada di sofa dengan Nicky, Bryan, Gina, dan Kerry mengelilingiku dengan wajah khawatir. Aku langsung teringat apa yang baru saja terjadi dan tak kuasa aku menahan tangis. Nicky menawarkan pelukan, tanpa berpikir panjang aku langsung berhambur ke pelukannya. Tak kupedulikan perasaan Gina, tapi mudah-mudahan ia mengerti.

Tapi berada di pelukan kekasih orang sangat tidak nyaman. Aku tahu diri. Segera kutarik badanku dan berusaha untuk bertahan juga menghentikan tangisku.
    “Aku nggak pa-pa,” aku tetap bertahan.
    “Emang kebangeten, dia,” umpat Bryan kesal.
    “Itu bukan Kee-an, Bry,” belaku perih. ”Dia lagi mabuk, dia nggak tau apa yang diucapkannya di sana.”
    “Meskipun dia mabuk bukan berarti dia bisa berbuat seenaknya, dia menghinamu di depan umum,” Kerry dengan panas.
Sakit sekali mengingat tadi, Kee-an dengan jelas berteriak menyebut aku perempuan murahan di depan umum. Tapi aku berusaha tersenyum dengan menahan tangis pedih di hadapan mereka.
     “Nggak pa-pa, aku ngerti, kok,” aku senormal mungkin.
Aku mengusap air mataku dan bersikap bisa.
    “Jam berapa sekarang?” tanyaku. “Aku harus pulang cepat, besok aku berangkat dengan penerbangan pertama.”
    “Kamu tetep mau pergi?” Gina terheran. “Kamu bisa mengundurkannya kalo kamu merasa belum mampu
Aku menggeleng, “Aku harus pergi. Semakin cepat aku pergi dari sini, semakin cepat aku tidak melihat Kee-an lagi,” jawabku. “Lagipula kejadian ini, pasti akan ada di koran besok pagi, aku nggak akan bisa menghadapinya.”
Bryan, Nicky, Georgina, dan Kerry terdiam.
    “Aku akan mengantarmu,” tawar Nicky.
    “Nggak usah, aku bisa pulang sendiri.”
    “Kamu yakin?
Aku mengangguk memastikan dan berjalan meninggalkan mereka.
Mereka berempat melihat Keavy yang berusaha untuk tidak menampakkan perasaannya di hadapan mereka, tapi mereka tahu sakitnya perasaan Keavy .
*

Shane dan Mark menunggu Kian sadarkan diri dari mabuknya. Mereka bertiga sudah di berada apartemen Kian.

    “Di mana gue?” tanya Kee-an kebingungan begitu tersadarkan diri di sebuah sofa.
    “Bangun juga loe,” sambut Mark dingin.
    “Di apartemen. Loe tadi mabuk, kita yang bawa loe pulang,” jawab Shane sama dinginnya.
    “Makasih.” Tapi kemudian dia menyadari Mark berdiri menatapnya dengan tatapan dingin. Sementara Shane menatapnya dengan tatapan menghakimi.
    “Kalian ngeliat apa, sih?” tanya Kee-an protes dipelototin kedua temannya.
    “Loe nggak ingat, apa yang udah loe lakuin?” tanya Shane.
    “Gua cuma ingat, Keavy nampar gua, nggak tau kenapa?”jawabnya tanpa rasa bersalah.
Mark dan Shane hanya geleng-geleng kepala.
    “Emang gua ngapain?”
Shane melirik ke arah Mark, lalu kembali ke arah Kian, ”Percuma kalau kita bilang juga, loe nggak tau peduli apa malah seneng,” ucapnya Shane pesimis.
    “Emang gua ngapain!?” tekan Kee-an sedikit marah.
    “Loe udah nyakitin Keavy, tau! Di depan orang banyak elo teriak-teriak, nyebut dia cewek murahan. Kebangetan loe, ya!?” ucap Mark bernada marah.
    ”Hah?” Kee-an tak percaya.
    “Iya!” sahut Shane.
    “Tega, ya loe, nyebut dia cewek murahan. Nuduh dia kalau dia sengaja cari muka dengan jalan dengan gue buat terkenal. Kalo elo mau nyalahin dia, elo yang salah, karna gue yang ngajak dia buat nemenin gue.”
    “Oh, jadi sekarang loe, suka dia?” sahut Kee-an dengan sinis. “Gillian mo loe kemanain, heah?”
Shane hampir pingsan dengan ucapan Kian. “Ya, Tuhan, Ki! Gua ngajak Keavy, bukan karena gua ‘suka’ sama dia! Gua ngajak dia, karena Gill nggak bisa nemenin gua, dan kenapa gua pilih dia, karena dia sahabat gue, dan gua sayang sama dia. Gill tahu kok, gue ngajak Keavy.”
Kee-an masih dengan wajah sinisnya.
    “Kenapa, sih, loe? Kenapa loe jadi jahat gini sama dia, begitu benci sampe nggak bisa maafin dia?”
    “Karena dia udah nyakitin gue!”
    “Dan dia sudah minta maaf. Nggak bisa loe, maafin dia, barang sedikit aja? Loe nggak tahu gimana sedihnya loe putusin?”
    “Gua nggak peduli!”
Shane dan Mark hanya bisa geleng-geleng kepala.
    “Mungkin elo nggak peduli, tapi kita masih peduli. Karena dia masih temen kita, kita masih sayang dia, apalagi melihat apa yang udah elo lakuin sama dia!” jawab Shane.  “Ternyata bener apa yang ditakutin Keavy. Lebih baik kalian cuma jadi sobatan daripada jadi pacar yang malah bikin dia sakit.”
    “Elo nggak tau, kan, kalo dia sempet masuk rumah sakit?” tanya Mark sinis.
    “Masuk rumah sakit?” kali ini ia terpaku, walau berusaha ia sembunyikan.
    “Ya. Dia terlalu mikirin elo, sampai nggak mau makan dan akhirnya masuk rumah sakit. Dia bener-benar hancur, loe putusin,” sahut Shane.
    “Tapi gimana sama Daniel?” berusaha untuk tidak peduli.
    “Daniel? Keavy nggak pernah berhubungan lagi sama dia sejak loe mutusin dia, karena emang dia nggak pernah ada hubungan apa-apa sama Daniel. Loe udah salah sangka dan salah sangka loe itu udah ngehancurin Keavy. Dia nggak pernah menyukai siapapun kecuali elo. Cuma elo yang dia suka! Elo!”
    “Tapi terserah, elo emang nggak akan peduli lagi,” seraya beranjak dan menuju pintu.
Mark memandangnya pedih, “Loe, bener-bener jahat, Ki” dan mengikuti Shane keluar kamar.
Blam!
Kee-an terpekur dengan apa yang diucapkan kedua temannya. Kepalanya pusing sekali. Ia beranjak lalu menuju ke kamar mandi untuk cuci muka.

Di depan kaca wastafel dia memandang wajahnya sendiri. Kusut sekali. Tapi kemudian terngiang kembali ucapan-ucapan dari Mark dan Shane. Dan Keavy , tiba-tiba ia melihat Keavy  di kaca, memandangnya dengan tangisan.

    “Benarkah gua jahat? Benarkah gua udah nyakitin Keavy?” Kee-an bertanya pada dirinya. ”Tapi dia lebih dulu nyakitin gua,” belanya. Ia masih ingat saat ia memergoki Daniel mencium Keavy dan Keavy  tidak menolaknya. Ia tahu Daniel adalah teman Keavy , tapi tidak boleh seenaknya ia mencium Keavy begitu dong. Semua juga tahu Keavy  adalah pacarnya.
Kee-an benar-benar kecewa. Walau Keavy  sudah mengatakan kalau di antara mereka tidak ada apa-apanya tapi ia tidak percaya. Ia melihat sendiri bagaimana Daniel menciumnya. Maka tanpa berpikir panjang, ia langsung memutuskan Keavy. Tak peduli Keavy  menangis mengatakan kalau ia masih mencintainya dan tidak ingin putus. Hatinya sudah sakit dikecewakan begitu.
*

Aku tak sanggup lagi menahan tangisku begituku sampai di flat. Langsung kukurung diriku di dalam kamar dan menangis sepuasnya. Hatiku kembali sakit dan lebih menyakitkan. Luka yang sudah mulai sembuh, kini terbuka lagi, bahkan lebih besar. Siapa yang tidak sakit dipermalukan seperti di depan umum terlebih lagi Dilakukan oleh orang yang sangat dicintai. Dua kali ia menyebutku cewek murahan. Jahat sekali dia!
‘Kenapa Kee-an tega berbuat begitu? Besar sekalikah salahku, Kee?’
Kupandangi koper-koper yang sudah kukemas rapi. Besok aku akan ke Amerika. Aku akan mencoba memulai hidup baru. Hidup tanpa Kee-an di kepala dan di hatiku. Sudah tidak ada harapan lagi Kee-an akan kembali. Kee-an sudah sangat membenciku.
***

Keesokan harinya, headline news, bertuliskan:

“KIAN EGAN MABUK DI PRA IRMA”: “Akhirnya kita mengetahui, mengapa Kee-an tidak lagi terlihat bersama kekasihnya Keavy  Collins. Itu dikarenakan mereka sedang ada masalah. Kian yang dalam keadaan mabuk menyerang Keavy saat dia terlihat bersama Shane Filan, teman satu bandnya, pada acara Pra Irma semalam”

Kee-an terpekur dengan tulisan di koran itu. Bagaimana dengan Keavy?
Kee-an menyadari kalau dia memang sangat cemburu walau ia tahu yang lebih berhak cemburu adalah Keavy. Dirinya sering dikelilingi gadis-gadis cantik, dan idolanya seperti Mariah Carey, dan Britney Spears. Ia juga menyadari kalau sejak masih sekolah dulu dia sudah banyak yang suka dan hingga kini yang menyukainya semakin banyak. Kalau tidak, bagaimana mungkin tahun kemarin ia mendapatkan penghargaan ‘Boy of The Year‘?
 Banyak teman-teman ceweknya ingin jadi pacarnya dan Keavy  tahu itu. Tapi Keavy tidak pernah cemburu. Terlebih setelah ia terkenal lebih banyak mempunyai penggemar gadis-gadis, Keavy tetap menanggapinya dengan biasa. Apakah saat itu memang Keavy tidak punya perasaan apa-apa dengannya? Ah tidak, ia tahu Keavy  sangat menyayanginya. Dan setelah mereka pacaran, belum sekali pun Keavy menunjukkan rasa cemburunya. Keavy masuk rumah sakit karena terlalu memikirkan dia. Keavy  sangat mencintainya. Jadi siapa yang jahat dan egois?
Memikirkan Keavy membuat dirinya mulai merindukan Keavy. Ia rindu dengan senyumnya, dengan tangisnya, dengan keras kepalanya dan terlebih lagi dengan aroma tubuhnya yang sering ia cium saat ia memeluk dan mendekap Keavy.
‘God, what I’ve done to her?’



12. Hidupku Bersinar Kembali

               
Sudah seminggu aku di Amerika. Pekerjaan dengan ‘My Town sudah selesai dan semuanya berjalan lancar. Mereka menyenangkan dan bisa membuatku sedikit melupakan Kee-an. Seharusnya aku sudah kembali ke Irlandia, tapi aku belum ingin pulang. Aku belum bisa pulang. Pulang ke Irlandia, terlebih pulang ke Sligo. Pulang ke rumah melewati rumah Kee-an, tentu saja mengingatkanku padanya, sementara aku harus bisa melupakannya, walau tidak semudah yang dijalankannya. Maka aku memutuskan untuk tetap di sini sebentar. Aku belum tahu kapan aku akan pulang atau bahkan akan menetap di sini terus. Aku tak pernah tertinggal berita, termasuk mendengar dari Gillian, Westlife memenangkan 3 Meteor dalam IRMA.

Mendengar kabar Westlife mengingatkanku pada Kee-an. Aku masih memikirkannya, mencintai Kee-an, dan tetap berharap dia akan kembali. Tidak ada yang bisa menggantikan Kee-an di hatiku. Tapi itu tidak mungkin. Kee-an sudah sangat membenciku dan tak akan lagi kembali padaku. Aku harus bisa hidup tanpanya.
***

Masih terdengar seruan para penggemar meneriaki nama mereka saat mereka menuju belakang panggung. Peluh membasahi tubuh mereka tapi mereka senang dapat menghibur dan memuaskan penggemarnya.
    “Pertunjukan yang hebat, anak-anak!” Anton tersenyum puas seraya memeluk anak-anaknya.
Mark, Kee-an, Shane, Nicky dan Bryan hanya tersenyum lebar sama puasnya dengan tur manajer mereka. Mereka sedang berada di Denmark.
    “Hebat!Anton seraya menepuk-nepuk  pundak Kian.
    “Yeah, sangat hebat. Terima kasih teman-teman!” sahut Kee-an pada teman-temannya.
    “I love this show!!!” seru Bryan puas.
    “Yeah!!” pekik Mark lega.
    “Waktunya pesta!” seru Shane gembira disambut tak kalah gembiranya oleh keempat temannya.

Setelah tur show selesai dan berjalan sukses, seperti biasa, mereka selalu merayakannya dengan pesta di klub.

Semuanya tampak bersenang-senang dan lega. Satu lagi pertunjukan  mereka berjalan sukses. Tapi tidak dengan Kee-an, ia masih terus dibayang-bayangi rasa bersalah dan penyesalan terhadap Keavy, tapi ia belum sempat menemui Keavy, karena dia sudah disibukkan dengan jadwal pertunjukkannya mereka di berbagai negara. Bila ditelepon pun selalu dalam keadaan tidak aktif. Ataukah Keavy masih marah padanya, hingga tak mau menjawab teleponnya? Tapi wajar kalau Keavy marah padanya, ia sudah menyakiti hati Keavy. ‘I miss you so much,’ desis Kee-an dalam hati.
 
    “Tolong, Ki, jangan mabuk,” sebuah suara mengejutkan Kee-an.
Kee-an segera melirik asal suara itu.
    “Apaan sih?” Kee-an berbalik bertanya.
    “Ki, gue tahu, kalau muka lagi gitu. Elo lagi mikirin sesuatu, kan?”
Kee-an tak menyahut.
    “Karena gua tahu elo, lagi mikirin sesuatu, gua juga yakin, buntutnya elo pasti fly. Jadi sebelum elo fly, gua udah meringatin elo,” lanjut Nicky.
Kee-an tertawa geli.
    “Ayolah, cerita, ada apa?”
Kee-an terdiam sejenak. Nicky siap mendengarkan.
    ”Gue kangen dia, Nix,” ucapnya lirih.
    “Siapa? Loe ketemu cewek baru?” sahutnya dengan nada bersemangat.
    “Bukan. Keavy. Gue kangen dia.”
Nicky langsung tersenyum kulum.
    “Apa gua nggak salah denger, nih?” Nicky pura-pura tidak mengerti.
    “Iya, gua kangen, dan gua sangat menyesal apa yang udah gue lakuin sama dia.”
    “Udah seharusnya elo nyesel. Elo udah nyakitin dia,” sahut Nicky.
    “Gue tahu. Karena itu, gue pengen ketemu, gue pengen minta maaf. Tapi sampe sekarang gue nggak punya waktu buat ketemu dia. Gue nggak tahu, apa dia masih mau ketemu gue,” ucap Kee-an pesimis.
    “Loe masih cinta dia, kan?”
Kee-an melirik sesaat pada Nicky,
    “Ya, gue masih cinta dia,”  jawabnya akhirnya.
Nicky hanya mengangguk mendengar pengakuan Kee-an. Dia sebenarnya sudah menduga, Kee-an memang masih mencintai  Keavy.
    “Besok gua mau ke rumahnya, mau minta maaf sama dia,” ucap Kee-an.
Nicky menggeleng, “Terlambat, Ki,”
Kee-an langsung menegang, “Apa maksud loe, terlambat?”
    “Ya, kalau besok loe datang ke rumahnya, loe nggak akan nemuin dia. Mau rumahnya di Sligo atau flatnya di Dublin, dia nggak akan ada di sana”
Kee-an tak mengerti.
    “Dia pergi.”
    “Pergi? Kemana? Inggris, Prancis, atau_?”
    “Amerika.”
    “Amerika?” Kee-an terkaget. ”Kapan? Terus ngapain dia ke sana?”
Nicky hanya geleng-geleng kepala,
    “Elo nggak tahu kalau dia sedang kerja dengan ‘My Town’?”
Kee-an menggeleng.
    “Loe bener-bener tutup telinga, ya, semua tentang Keavy? Kita semua ngantar dia ke bandara. Dia pergi seminggu yang lalu. Tapi dia sudah mutusin untuk tinggal di sana. Dia lebih baik tinggal jauh dari loe.”
Sekali lagi Kee-an merasakan penyesalan di hatinya.
    “Dia masih cinta loe, Ki,” lanjut Nicky.
Kee-an melirik Nicky meragukan, tapi Nicky mengangguk pasti.
    “Gua harus ke Amerika besok, buat nemui dia,” putus Kee-an.
    “Apa? Nggak bisa! Loe nggak boleh ke mana-mana, kita masih ada pertunjukan!” halang Nicky.
    “Nggak! Gue harus ke sana!”
    “Dan ninggalin anak-anak? Oh, nggak bisa, loe nggak boleh pergi. Gue tahu, elo cinta dia dan pengen ketemu dia buat minta maaf, tapi kita harus menghadiri acara IRMA besok lusa, Ki, dan juga kita masih ada beberapa show sampai lima hari kedepan. Tunggu sampai semuanya beres, baru loe boleh pergi!” putus Nicky
Kee-an langsung terduduk. Apa yang dikatakan Nicky memang benar. Ia punya tanggung jawab dengan grupnya. Dia tidak bisa pergi ke Amerika besok.
    “Kapan kita ke Amerika?” tanya Kee-an.
    “Sekitar tanggal 13. Tapi itu, kan ke Venezuela.”
Kee-an tidak mendengar jawaban Nicky. Di kepala hanya ada Keavy .
    “Keav, tunggu aku,” desis Kee-an dalam hati.
***

Aku pulang ke apartemenku dengan badan letih. Setelah dua minggu tinggal di New York ini, aku tetap menari di sebuah club tari di sini, tapi belum kuputuskan untuk bekerja di sana. Ini sekedar untuk mengisi waktu. Sebenarnya aku belum yakin sepenuhnya dengan keputusanku ini. Semakin aku berusaha melupakannya, semakin sulit aku menghilangkannya dari kepalaku. ‘Ya Tuhan, tolong aku.’

                Saat aku berjalan di koridor apartemen, aku langsung terpaku dengan seseorang yang sedang duduk tertidur di depan pintu apartemenku. Ingin langsung kupanggil keamanan untuk mengusir pria itu, takut-takut dia akan berbuat jahat. Wajar aku waspada, aku kan perempuan yang tinggal di apartemen seorang diri. Tapi langsung kuurungkan niatku karena aku merasa mengenali orang itu setelah kuperhatikan baik-baik.
Deg.

No comments:

Post a Comment