Sunday 17 June 2012

At Uncle Mark’s House - Sequel of Westlife VS Jengkol


Rate : K
Pairing :  Finnnin (5 tahun) ,  Ciaran (10 tahun) Mark, Rossie, dan Kee-an.

Summary: Setelah sehari berlalu dari pesta Jengkol Westlife, Mark merasakan akibatnya. Dan dia dikunjungi oleh dua keponakan istimewa yang lebih-lebih membuat dia tak dapat beristirahat dengan tenang di rumah.

Look the Prequel : Westlife vs Jengkol   :)


**** 

Ctak… ctak… ciaaat…., hiaaaaaaaaatttttttt! “Aarrrrrrrrghhhhh!!!!!”

 

BRUG ! Dua tubuh kecil menimpa tubuhnya kelelahan di lantai.

 

    “Dadda mati !!!!” sorak keduanya, dengan masing-masing menghunuskan pedang mainan di perut dan dada ayahnya.

Kee-an tersengal-sengal terlentang di lantai dengan menutup mata pura-pura mati. Dua tubuh kecil sosok kebanggaannya berpakaian bajak laut, lengkap dengan jubah dan topi bajak laut serta penutup di salah satu mata mereka, masih duduk di atas perutnya.

    “Ayo Finn, perompaknya sudah mati, kita bisa cari harta karunnya,” seru Ciaran beranjak berdiri diri perut ayahnya.

Kee-an mengintip dengan membuka tipis salah satu matanya, tersenyum simpul.

Finnian memergokinya.

    “Kak! Perompaknya masih idup!!!”

    “Heh?” Ciaran berbalik. “Dadd_”

Kee-an tersenyum lebar, dan bersorak girang, “Perompaknya hidup lagi dan berubah menjadi …. “monster kitik-kitik” seraya menerkam tubuh kecil Finnian lalu menggelitikinya pinggang perut dan lehernya gemas.

Finnian menggeliat kegelian dengan tawa tergelak.

    “Dadda…, brenti kyaaa haahhha…hehehe, daddaa!” Finnian meronta tergelak tapi tak berdaya dengan gelitikan ayahnya. “Kaakkk, tolong-iiinnn…. kyaaa haahhh…hehehe, brenti daddaa!!!”

    “Pertolongan datang, Finn!” seru Ciaran dan langsung melancarkan jemari kecilnya menggelitiki pinggang ayahnya.

Kee-an yang tak tahan gelitikan langsung menyerah dan melepaskan gelitikan Finnian. Ia tergelak kegelian.

    “Finn, kita serang monster kelitik-kelitik!!!”

Mendengar seruan kakaknya, Finn langsung dengan semangat membantu kakaknya menggelitiki ayahnya sampai benar-benar tak berdaya.

Kamar Ciaran yang sudah seperti kapal pecah ini dipenui gelak tawa kegelian.

    “Ampun…ampun…dadda nyerah!” Kee-an benar-benar takluk juga sudah berhadapan dengan serangan kelitik kedua putranya.

    “Kalimat ajaibnya dulu, Dadda…” sahut Ci tanpa menghentikan kelitikannya.

    “Kalimat ajaib… kalimat ajaib apa ?”

    “Bilang tiga kali “Kudaku keren sekali”…baru kita lepasin…” seru Ciaran penuh kemenangan. Ia tahu ayahnya teriritasi dengan kata kuda, tapi kuasa ada di tangannya, ayahnya sedang jadi korban, pilih mengatakan ‘kuda keren’ atau terus dikelitiki.

Kee-an menutup mata, “Masak harus itu, Ci, kalimat ajaibnya ….?” protes Kee-an.

    “Yup, dadda bilang kudaki keren tiga kali, baru kita bebasin dadda dari monster kelitik, ya nggak Finn?”

Finnian hanya mengangguk, menuruti kakaknya.

Kee-an menghela nafas pasrah. Tapi Ciaran meningkatkan kelitikannya di pinggangya….

      “Iya… iya… dadda nyerah….!”

     “Kalimat ajaibnya, dadd !”

Kee-an menahan nafas sebelum berucap “Kuda Ci, keren sekali …. Kuda Ci, keren sekali…… Kuda Ci, keren sekali….”   

Ciaran tersenyum lebar…., “Kalimat ajaib diterima….,” ia melirik adiknya, “bagaimana, Finn, kita lepasin dadda?”

Sekali lagi Finnian mengangguk, “Yup, lepasin dadda.”

Ciaran mengangguk setuju, dan langsung menghentikan gelitikannya.

Kee-an menarik nafas kelegaan begitu tangan-tangan kecil itu melepas pinggangnya.

    “Ayo, Finn, kita cari harta karunnya sekarang,” Ciaran menggenggam tangan adiknya dan bangkit dari perut ayahnya .

 

Kee-an tersenyum bahagia di tengah engahan nafasnya, memperhatikan dari belakang dua putranya yang sehat dan menggemaskan, putra kesayangan dan kebanggaannya.

 

Tapi senyum bangga langsung sirna dengan Ciaran mengajak adiknya membongkar buku-buku yang sudah tersusun rapi di rak lemari buku (hanya sebagian buku, dari seluruh buku yang dimiliki Ciaran dan tersimpan rapi di perpustakaannya)

 

    “Nggak ada di sini, Finn, petanya…,” Ciaran membuka satu buku lalu menutupnya kembali dan melemparnya begitu saja. Kemudian mengambil buku yang lain, “mungkin di sini….,” membukanya, “Nggak ada juga,” lalu menutupnya kembali dan melemparnya begitu saja- dan terus begitu.

 

Kee-an tak berkutik dengan apa yang sedang dilakukan Ci dan Finn. Ia melihat sekelilingnya. Kamar Ciaran  sudah tak berbentuk lagi. Bercerita seperti sebuah kapal di tengah laut, sebentuk kapal mainan yg cukup besar teronggok di tengah kamar…, kain-kain direntangkan bak sebuah layar…., sebuah tiang lengkap dengan bendera bergambar tengkorak dan buku-buku-berserakan di lantai. Kee-an hanya bisa geleng-geleng kepala. Kedua putranya memang terlalu kreatif, terlebih Ciaran, ia selalu punya ide untuk menciptakan sesuatu yang dapat bermain menyenangkan bersama adiknya. Kee-an tersenyum bangga.

 

Tiba-tiba Ciaran berhenti mencari dan melongok jam tangannya.

 

    “Sudah jam 10, Finn, kita berhenti dulu, Shaun The Sheep sudah mau mulai…”

    “Hoh? Shaun The Sheep….,” senyum merekah indah di bibir Finnian.

   “Kita terusin nanti lagi, ya ….,” dan mengulurkan tangan pada adiknya.

Finnian hanya mengangguk menurut.

Ciaran menggandeng adiknya keluar kamar meninggalkan ayahnya yang masih takjub dengan tingkah kedua putranya .

    “Jadi udahan nih, mainnya ….?”

    “Udahan dulu . Nanti diterusin lagi ….,” Ciaran menyahut dengan cueknya.

Kee-an menghela nafas dan geleng-geleng kepala mengikuti mereka keluar.

 

Dalam sekejap mereka sudah duduk manis di depan layar tivi.

 

Kee-an melenggang ke dapur menuju Keavy yang sedang memanggang CupCake, ditemani Rossie sebagai asistennya.

 

    “Jadi, bagaimana Tuan perompak kita ?” Keavy menggodanya, dengan melirik jenaka pada Rossie di sampingnya.

   “Kalah telak…, mereka menggelitikiku dan memaksa menyebutkan kalimat ajaib, dan kau tahu apa kalimat ajaibnya ?”

Keavy menggeleng.

    “Kuda Ci keren sekali,” dengan keki.

    “Mphhhhm,” Keavy hampir meledak tawanya jika tidak melihat wajah suaminya yang memelas kalah. “Kuda Ci keren sekali…., itu kalimat ajaibnya?”

Kee-an mengangguk pasrah.

     “Well, good one…,” Keavy mengambil satu cupcake dan disodorkan ke mulut suaminya yang langsung digigit oleh Kee-an.

    “And this one is good too,” Kee-an berkomentar dengan mulut penuh cupcake.

Keavy mengangguk tersenyum seraya mengecup bibir suaminya, “Thankyou , love .”

   “Look at our boyz…,” Kee-an melirik takjub kedua putranya yang tak lepas kedua matanya menatap plasma 42’ di ruang tengah bergambar shaun the sheep di sana, dengan posisi yang sama, Finnian akan tiduran di kaki kakaknya, dan Ciarana akan memainkan rambut pirang adiknya. “They’re getting bigger everyday…”

   “And getting even gorgeous as they father are …,” timpal Keavy tersenyum bangga.

   “Then that will called my sons…”

Keavy tersenyum simpul…, “Yup, your sons, Mister Gorgeous Egan…,” dengan mengecup kembali tipis bibir suaminya.

Kee-an tersenyum dengan puasnya, sebelum ia bergabung di karpet bersama kedua putranya menonton acara kesukaan mereka, dengan membawa 4 buah cupcakes yang sudah bertoping menarik mata dan lidah, penuh gula warna warni dan coklat.

 

Begitu tahu ayahnya datang, Finnian segera pindah posisi dengan duduk di pangkuan ayahnya, dan bersandar dengan nyaman di dada ayahnya yang bidang. Sementara Ciaran langsung mencomot Cupcake yang berhias wajah smurf warna hijau.

 

Program acara Shaun the Sheep hanya berlangsung setengah jam, dan segera berganti dengan program anak lainnya, yang sama sekali tidak disukai Ciaran dan Finnian….: ‘Barbie- Tumbelina Fairy Tale.’

Finnian segera bangkit dari pangkuan ayahnya begitu program Shaun The Sheep berakhir, dan menuju rak berisi buku gambarnya.

 

    “Gambar, Finn?” Ciaran memastikan.

Finnian hanya mengangguk tanpa berucap dan segera membuka buku gambar besar dan memegang spidolnya. “Kakak, gambar juga …”

    “Iya…, kakak gambar juga…”

   “Mau bikin apa, Finn?” tanya Kee-an penasaran.

   “Kebun binatang…,” sahut Finnian ringan.

Kee-an hanya mengangguk penuh kebanggaan.

    “Nanny Rosssiiiiieee!!!!! Kamar Ci sudah bisa diberesin, kita sudah selesai main bajak lautnya, sekarang kita mau main menggambar !!!!” pekik Ciaran cuek dengan tetap membantu adiknya menggambar di kertas putih besar itu.

 

Rossie yang sedang memasukkan Loyang terakhir berisi cupcake ke dalam Oven bertingkat bagian bawah langsung mendongak

 

 JDUK ! “ADUH!” pekik Rossie tertahan dengan memegang keningnya.

    “Hoah! Maaf!” seru Keavy dengan langsung mengusap-usap kening Rossie yang terkena pintu atas oven yang dibukanya bersamaan dengan Rossie tiba-tiba mendongak. “Maaf, Ross…, kamu juga tiba-tiba mendongak. Sakit nggak?” Keavy langsung tidak enak, terlebih mulai terlihat biru di kening Rossie.

Rossie mengusap-usap keningnya, “Panas sih…,’ sahutnya pahit. Ya iya terbentur pintu oven yang panas kan lumayan.

    “Aduh…. Sebentar aku olesi obat dulu…,” Keavy langsung menuju kotak obat dan mengambil obat pertolongan pertama luka bakar.

 

   “Heh? Kenapa Ross…?” Kee-an langsung ke dapur mendengar insiden kecil di dapur.

   “Kejeduk pintu oven…,” Rossie nyengir malu.

Kee-an hanya mesem, dan melihat istrinya sudah kembali mengambil obat yang dimaksud.

Keavy langsung mengolesi salep putih di kening Rossie.

    “Nggak papa, kan Ross?” Keavy memastikan.

    “Iya, nggak papa,” Rossie nyengir pasrah. “terima kasih.”

Keavy tersenyum masih tidak enak.

    “Tugas selanjutnya sudah menunggu…,” balas Rossie melawan kekikukan Keavy, dan langsung menuju kamar Ciaran untuk merapikannya.

 

Kee-an dan Keavy hampir tertawa lepas bersama dengan kejadian tadi, terlebih dengan bulatan putih di kening Rossie, tapi langsung ditahan, tidak enak dengan ROssie.

   “Behave, Mr. Egan…,” Keavy memperingatkan dengan berusaha menahan tawanya.

   “I’am!” seru Kee-an benar-benar susah payah menahan tawanya.

 

*

 

Rossie berdiri tertegun di depan pintu kamar begitu melihat kamar Ciaran yang benar-benar seperti kapal pecah, kain-kain menyebar tidak jelas, kapal mainan teronggok di tengah kamar, belum lagi buku-buku yang tersebar di lantai. Dan dia harus membereskannya? Butuh beberapa saat untuknya menarik nafas dan mengendalikan urat sabar akan dua anak asuh tersayangnya ini.

 

    “Keavy…keavy anakmu memang super hebat,” keluhnya, terimplisit rasa bangga. Dan langsung mulai membereskan kamar Ciaran, yang entah dari mana ia harus memulainya.

 

Di tengah ia membereskan kamar Ciaran yang baru setengah jalan, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Rossie meliriknya dan melihat nama Barry di layar. Ia langsung mengangkatnya.

 

      “Ya, Barry…?” sahut Rossie dengan tetap menata buku-buku Ciaran di rak.

      “MAYDAY, MAYDAY, CODE RED-CODE RED!”

Rossie langsung tersiaga dengan kalimat CODE RED dari seberang sana.

BRUK ! “Aduh!”  pekik Rossie tertahan

Saking kaget dan tidak terkonsentrasi, Rossie menjatuhkan buku-buku yang akan ia taruhkan kembali ke rak, tapi tak melihat apakah sudah sampai di rak atau belum, Rossie sudah terlanjur melepaskan tangannya karena kaget.

    “Aduuuhh…” desis Rossie dengan  langsung memegang kakinya. Dua kali dia ketiban sial hari ini.

    “Heh, kenapa, Ross?” Barry lebih kaget lagi.

   “Eh, nggak pa-pa, cuma kejatuhan bukunya Ciaran…”

   “Hoh?”

   “Udah nggak pa-apa, Code Rode apaan?” ia langsung kembali focus dengan kata Code Red Barry.

   “Mark diare! Kebanyakan makan jengkol kemarin.”

   “Heh, diare? Kebanyakan jengkol?”

   “Hiya, bolak bolik ke kamar mandi dari tadi pagi, ga selese selese. Sekarang dia nyariin kamu Ross…, dan dia ngancam nggak akan minjemin aku mobil malam ini, kalau nggak berhasil bawa kamu ke rumah.”

   “Ish, ancemannya….” Rossie dongkol.

   “Ayolah…, pacarmu itu, emang manjanya nggak ketulungan.”

   “Abangmu itu…”

   “Calon suamimu…” balas Barry tak mau kalah.

   “CUKUP! Ya udah jemput aku! Jangan lama-lama ya  _ ”

   “Aku sudah di depan gerbang belakang rumah,”

   “Heh, rumah siapa?”

   “Ya rumah, Kian, Rossie…!!!” dengan menahan emosinya. Nggak heran abangnya sama Rossie cocok, mereka sama-sama suka telat konek. HALAH.

    “Oh,” Rossie langsung melongok ke jendela dan terlihat Barry di atas motornya melambaikan tangannya dari balik pagar tinggi kediaman Kel. Egan. “ya sudah aku langsung turun ….,” tanpa pamitan dari seberang, Rossie langsung menutup teleponnya dan lari ke jendela, akses tercepat ke arah gerbang, dan segera menuruni pohon yang tumbuh sehat dan tinggi di dekat jendela sebagai tangga naik-turun yang alami, tanpa sempat berpamitan dengan siapapun.

 

Barry memperhatikan cewek yang dicintai abangnya itu dengan lincah menuruni pohon yang berada tempat di samping jendela kamar Ciaran. Tergugu dia melihatnya, abangnya akan menikahi gadis keturunan tarzan? Terlebih dengan lincah ia berlari-lari menujunya, dan terlihatlah bulatan putih di kening Rossie.

 

    “heh, kenapa dengan jidatmu?” tanya Barry langsung.

   "Memang kenapa?"

   “Itu benjol?”

   “Ooh, kena pintu oven.”

   “Heh?”

   “Udah jangan banyak tanya, bawa aku ke abangmu sekarang juga.”

   “WOKEH!!”
Dengan cepat Rossie langsung naik ke belakang Barry.

 

   “Siap…?” Barry memastikan

   “Siap!” Rossie langsung memegang pinggang Barry. Dan terciumlah itu aroma tubuh yang sama dengan abangnya. Aroma khas Klan Feehily.

Tanpa menunggu lagi, Barry langsung tancap gas pulang ke rumah.

 

*

 

Ciaran masih asyik ikut membantu adiknya menggambar kebun binatang yang dibuat Finnian, dan sudah hampir selesai, sebelum akhirnya ia putuskan untuk mengecek kamarnya, karena kok nggak ada suara-suara aneh dari kamarnya yang biasa Nanny Rossie teriakkan kalau sedang membereskan kamarnya. Penasaran ia bangkit dan menuju kamarnya.

 

   “Nann Rossie…,” panggilnya melongok ke dalam kamar.

Oke, kamarnya sudah mulai rapi, tidak ada lagi kapal besar dengan tiang dan tirai-tirai, teronggok di tengah kamar, tapi beberapa buku masih tergeletak di bawah rak, seperti yang dijatuhkan, dan tidak ada Nanny Rossie…

   “Nann Rossiee !!??” panggilnya dengan melongok kamar mandi, melongok bawah tempat tidur, juga melongok dalam lemari. TIDAK ADA. Mata Ciaran menangkan jendela kamarnya yang terbuka lebar.

   “Heh, Nanny Rossie kabur ….”

Ciaran langsung lari ke luar kamar.

 

    “MAAAA!!!!    NANNY ROSSSSIIIIEEEE KABUUUUUUURRRRRRR!!!!!!!”pekiknya keras sekali.

 

    “Heh!?” baik Kee-an dan Keavy terkaget dengan pekikan Ciaran. Mereka langsung menghampiri Ciaran

 

   “Kabur? Kabur bagaimana Ci?” Keavy memastikan.

   “Iya, Nanny Rosie nggak ada di kamar. Sudah aku cari-cari nggak ada, dan jendelaku terbuka lebar. Nanny Rossie kabur, maaa!!!”

   “Ish, nggak kabur, Ci, bentar, maa telepon Nanny dulu ….,” Keavy langsung menuju telepon yang  terduduk manis di meja di samping tempat tidur Ciaran.

*

Hadoh, boncengan Barry benar-benar mimpi buruk, berasa naik di motor yang disetiri The Doc Valentino Rossi. Ngebut! Mungkin kalau jalanan yang dilalui mulus sih, nggak apa-apa, tapi kalau jalannya bergelombang dan belum di aspal… (ingat rumah Mark lebih pedesaan daripada rumah Shane terlebih Kee-an), itu cerita lain. Sudah tidak tergambarkan lagi rasa linu, nyeri di pantatnya saat Barry menerjang bebatuan dan bolongan jalan. Yang ada hanyalah pekikan mengaduh dan protes Rossie mengiringi perjalanan mereka, dan disahuti oleh kata ‘maaf-tapi ini darurat’ cuek tanpa menurunkan kecepatannya. Rossie hanya bisa pasrah.

Keadaan diperburuk dengan tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi.

    “Mati aku, Keavy pasti nyariin aku.”

Susah payah, Rossie mengambil ponselnya dengan tangan yang lain tetap berpegangan kuat di pinggang Barry.

 

    “YEA KEAV!!!”

 

Reflek Keavy menjauhkan ganggang telepon dari telinganya begitu terdengar teriakan kencang dari seberang sana.

    “Rossie…?” panggil Keavy hati-hati dengan perlahan  mendekatkan kembali ke telinganya. “Di mana kamu?”

    “MAAAAFFF, KEAV!!!! BARRY JEMPUT AKU, MARK SAKIT, AKU HARUS KE SANA, MAAF NGGAK SEMPAT PAMITAN!!!” serunya kencang melawan deru suara motor Barry.

Keavy harus menjaga jarak dari telinganya, jika ingin telinganya tetap sehat.

    “Oh, ya sudah nggak papa, kalau Mark sakit. Nanti kita juga ke sana deh.”

    “OKEEEEHHHH!!!!!!”

    “Siap-siap Ross, pegangan yang kuat….” terdengar suara Barry dari sana.

Tapi belum sempat Rossy siap, ia merasa tubuhnya melayang di udara, dan bokongnya sudah tidak lagi menyentuh jok motor.

    “AAAAAARRRRRRGGGGGGHHHHHHHH!!!!”

 

BRUK!!! begitu bokongnya sudah membentur jok motor yang sudah mendarat dengan mulus namun keras di tanah.

HOSH HOSH HOSH!!!!

   “BARRYYY!!!!!” pekik Rossie kesal.

 

Keavy yang hanya bisa mendengar kegaduhan di seberang sana tanpa tahu apa yang terjadi hanya bingung,  “Rossie!?” tanya Keavy hati-hati.

    “AKU NGGAK PA-PA, KEAVY, AKU NGGAK PA-PA…, BARRY BARU SAJA NGAJAK AKU BUNGY JUMPING! MELOMPATI SUNGAI KECIL!  SUDAH YAAA, DAAAAAHHHH!!!!”

Klik. Hubungan terputus.

 

Keavy berkedi-kedip sesaat sebelum menyadari telepon diputus dari sana.

    “Nanny Rosie?” tanya Ciaran tak sabar.

Keavy langsung tersenyum menenangkan putranya, “Nanny Rossie sedang ke rumah Oom Mark, Oom Mark sakit.”

    “Oooo, ke rumah Om Mark….,” Ciaran manggut-manggut. “Eh, Om Mark sakit? Sakit apa, maa?”

    “Belum tahu, maa juga …”

   “Kita tengok sekarang yuk, Maaa….,” ajak Ciaran langsung.

Keavy surprise dengan ajak Ciaran langsung. Diliriknya Kee-an.

    “Dadd, kita tengok Om Mark yuk….” Ciaran menarik-narik tangan ayahnya.

Kee-an pura-pura menimbang, “Ng…. ayo deh…, kita tengok Oom Mark ….”

Ciaran terbelalak senang, “HOREEEYYY!!!! Finnnn!!!!! Kita nengok Om Mark…., Om  Mark sakit, Finn!”

    “Huh?” tapi belum melepaskan konsentrasinya dari kertas gambarnya.

   “Aku siapin Snowy  ya, dadd….,” Ciaran penuh semangat.

Kee-an tersengat, “Eh, Snowy? Ngapain nyiapin dia?”

   “Iya, kita ke sananya naik Snowy aja …” dengan berbinar matanya, berharap bisa meluluhkan hati ayahnya.

    “TIDAK! Tidak pake Snowy! Kita naik mobil…!” putusnya keki, sudah dua kali hari ini, ia dongkol karena mahkluk satu itu.

    “Tapi, dadd….?”

    “Tidak ada Snowy, Ci, kecuali kita tidak jadi ke rumah Om Mark,” terpaksa mengancam.

Ciaran sempat merengut, tapi apa daya, ayahnya tidak akan luluh.

    “Oke, naik mobil, Dadd….,” Ciaran mengalah.  “Finn…., kita ke rumah Om Markkk!!” seraya menghampiri adiknya dan mengajaknya bersiap-siap.

 

***

 

Kedua kaki Rossi masih bergetar begitu menginjakkan halaman depan rumah Mark.  Giginya berasa beradu gemelutuk.

 

   “Rossi, kamu nggak apa-apa, kan?” Barry langsung memastikan dengan cemas.

Rossie menggeleng nanar…., tubuhnya terasa limbung, efek dari perjalanan yang mengerikan dengan Barry.

    “Bagus, ayo!” tanpa ampun, Barry sudah menarik tangan Rossie masuk ke dalam.

   “Eh, Barry!” Rossie memekik kaget, tapi tak dapat berbuat apa-apa.

 

Barry menarik Rossie menuju kamar kakaknya di lantai atas.

Sempat terdengar Barry menyapa mamanya saat melintasi Marie yang Rossie pun hanya bisa berucap, “Siang, Tante….” tanpa sempat berucap banyak.

 

    “Mark, pesenanmu datang nih!!” seru Barry dengan membuka lebar pintu kamar kakaknya.

PESSSS….. Tercium bau tidak enak menyelimuti kamar Mark Feehily yang berukuran 4 x 4 tanpa AC hanya terdapat jendela yang besar dan menghadap langsung kandang ayam. BAGUS, Nice view, Mark. Tapi sebenarnya baunya bukan dari kandang ayam di luar, tapi dari kentut Mark yang tidak berhenti berhembus keluar.

 

    “MMPPPPHHH”, keduanya langsung tutup mata dan menahan nafas.  Dan mereka merasa ada yang melesat di depan mereka dengan kalimat “Maaf!”

 

BLAM ! pintu kamar mandi ditutup.

 

Hening sesaat mereka berdua, sebelum akhirnya Barry membuka mata pertama dan mencoba membuka saluran pernafasannya.

 

    “Well, Rossie, he’s all yours….” Barry menelan ludah, sebelum keluar meninggalkan kamar.

Rossi masih berkedip-kedip, mencoba beradaptasi dengan segela kejadian yang terjadi dalam 15 menit ke belakang. Hingga tersadar ia sudah berada di kamar Mark, dan Mark sudah masuk ke kamar mandi terburu-buru.

 

    “Eh, say….?” berbalik menuju pintu kamar mandi. “You okay there….?” penuh perhatian.

    “Rrrr….., not really …,” terdengar sahutan lirih dari dalam. “I’ve got six times since this morning.”

    “Huh?” Waduh ke belakang sesering itu bisa gawat.  “memang kenapa? Kamu makan semur jengkol lagi ?”

    “Iya, ngabisin yang dibawa ke rumah kemarin.”

Rossie menepok jidat, ‘Adow’ benjol kan, kepalaku…’  “Ya sudah, aku buatin Oralit dulu ya , punya Norit nggak?”

    “Nggak tahu, tanya mama, sana….”

Rossie hanya memutar bola matanya, dan segera keluar kamar mencari Tante Marie.

 

Ternyata mereka menyimpan norit, dan mamanya kaget, Mark ke belakang terus dari tadi pagi, karena ternyata Mark tidak bilang ke ibunya dan hanya bilang pada Barry. Kalau bilang kan, sudah dari tadi tuh anak minum norit.  Ah, betapa pintarnya kau, Mark Feehily……pintar sekali.

   

Setelah mendapatkan norit, Rossie langsung menuju dapur dan membuatkan segelas larutan gula dan garam, sebagai pengganti cairan yang keluar banyak sejak pagi.   

 

Kembali ke kamar Mark, Mark sudah selesai dengan tugasnya. Wajahnya pucat dan lesu. Ia langsung menuju tempat tidurnya dan terkapar di sana.

 

    “Rossiee, tolongin aku ….,” rintihnya manja. “eh, kenapa jidatmu, say?”

   “Kejedut pintu oven.”

   “Pintu oven?”

   “Iya, tadi pagi aku dan Keavy buat Cupcakes, dan kepalaku kejedut pintu oven saat Keavy membukanya.

    “Sakit?”

    “ya, lumayan, sih,. Tapi sudah nggak lagi.”

    “Sini aku, cium, biar cepet sembuh,”

Rossie tersenyum senang dan mendekatkan keningnya ke bibir Mark.

Cup.

    “Sudah, cukup, sekarang giliranmu yang harus cepat sembuh,” langsung naik ke atas tempat tidur, “Iya…iya sayang, aku di sini….minum ini dulu yuk,” dengan menyodorkan satu butir norit ke mulut Mark.

   “Pait, nggak?”    

   “Yah, namanya Norit, pasti pahit lha,”  

   “Nggak mau ah…,”

   “Ish, jangan kayak anak kecil, mau sembuh nggak? Kamu kan nggak seumur Finnian….” Sumpah, terkadang mengurus Mark sama butuh kesabaraannya seperti mengasuh Ciaran dan Finnian.

Mark hanya merengut tapi diturutinya dengan membuka mulut, dan membiarkan butir kecil berwarna hitam pekat, berasa  pahit itu masuk ke dalam mulutnya, didorong oleh air mineral.

Mark harus menutup mata rapat-rapat saat pil pahit itu menyentuh dan menyangkut di bagian belakang lidahnya.

   “Air… air! Pahit!!” serunya panik mencari gelas yang dibawa Rossie

Rossie langsung memberikan gelasnya dan Mark menghabiskan langsung seluruh air yang ada di dalam gelas

 

   “Aaaaahhhh…..,” Mark menarik nafas lega pil hitam jahanam itu akhirnya masuk dengan suskse ke dalam perutnya, dan sudah tak terasa lagi pahit di lidah dan mulutnya.

   

     “Nah, sekarang ini,” Rossie menyodorkan satu gelas lagi yang berwarna putih keruh.

     “Apaan lagi, nih?”

     “Larutan Garam dan gula.”

     “Buat?”

     “Buat pengganti carian tubuhnya yang hilang dari tadi pagi, sayangku, cintaku…,” Rossie dengan gemas. 

    “Oooo….” dan tanpa ragu diminumnya larutan itu. Rossie hanya geleng-geleng kepala.

    “Dan sekarang istirahat, aku di sini nemenin kamu…”

    “Owh, thankyou, my Rossie, what would I do without you?” dengan mata mata berterima kasih mesra.

Rossie tersenyum penuh cinta dan mengecup tipis bibir kekasihnya. “Lain kali, kira-kira ya, kalau makan jengkol, jangan maruk n kebanyakan. Mabok jengkol kan jadinya ….,” Rossie mulai berceramah.

Mark langsung manyun dan menarik bantalnya untuk menutupi wajah dan telinganya dari ceramah kekasihnya ini. Ia sudah merana dengan perutnya ini, janganlah ditambah dengan kicauan burung Rossie, meski aslinya suara normalnya memang seindah burung beo….*ISHDZIG!

   “Eh, Mark…,” Rossie sudah siap protes dengan sikap Mark, tapi langsung luluh begitu terdengar dengkuran halus dan beraturan.

   “Jiah! Tidur nih anak, perasaan belum aku kasih obat tidur…” tapi langsung tersenyum, Mark pasti sangat kelelahan dan lemas setelah 6 kali balikan ke kamar mandi mengeluarkan yang seharus menjadi sumber tenaganya. Dikecupnya kening Mark penuh cinta, “Get some rest, love, I’ll be here, when you wake up…,”

Mark hanya mendesis dalam alam bawah sadarnya.

PESSSS –  senyum kelegaan tersungging tipis di bibir yang terlelap tidur itu.

Rossie spontan menahan nafas dan menutup matanya rapat-rapat.

 

Butuh beberapa saat untuk Rossie berani membuka mata dan membuka kembali saluran pernafasan hidungnya.

Dilihatnya sosok laki-laki yang begitu ia cintai sudah terlelap dengan nyamannya.

    “You are not perfect, Mark, but that’s why I love you so much…” dikecupnya sekali lagi kening kekasihnya, sebelum ia tiba-tiba tersadr dengan radar istimewa yang menangkap sinyal tidak enak.

 

    “OOMMM MAARKKKK!!!” pekikan cempreng terdengar di pintu depan bawah hingga kamar Mark.

 

Rossie menepok jidat, ‘Aduh, dua tuyul kesayangannya, datang!’ Ia segera bangkit dari duduknya, bersamaa Ciaran dan Finnian muncul di pintu.

 

    “Om?” Ciaran dengan tatapan polosnya.

    “Sssh…., Om Mark sedang tidur, jangan diganggu, kita keluar saja ya…,” Rossie langsung menggiring dua anak asuhnya keluar kamar Mark, membiarkan Mark istirahat dengan tenang.

    “Tapi, kita kan mau nengok Om Mark, katanya Om sakit ?” protes Ciaran. “Ih, Nanny kenapa jidatnya?” menunjuk bulatan kecil di kening Rossie.

    “Nggak papa, sayang, nanny nggak apa-apa…”

    “Iya, kita  mau nengok Om Mark,” Finnian menimpali.

    “Iya, sekarang sudah tidak lagi, dan om Mark sedang istirahat, jadi jangan diganggu. Ci ingin Om Mark cepat sembuh, kan?”

Ciaran mengangguk pasti.

    “Makanya kita keluar, jangan di kamar sini,” setengah menyeret Ci untuk mau keluar seluruhnya dari kamar Mark.

Setengah terpaksa Ciaran pun ikut keluar yang diikuti Finninan.

 

Di luar Keavy dan Kee-an terlihat sedang bercengkerama dengan Tante Marie dan Om Oliver.

 

   “Gimana Mark?” Keavy langsung bertanya.

   “Sudah nggak papa, sudah aku beri norit sama oralit tadi, sekarang dia tidur.”

   “Kenapa dia?”

   “Mabok jengkol,” Rossie menelan ludah malu.

Kee-an hampir tertawa tapi ditahan karena di hadapan ortu-nya Mark. “Jengkol yang kemarin?”

    “Yup, dia habisin semua sisanya di rumah. Begini deh jadinya.”

   “Dan dia tidak bilang sama tante kalau dia ke belakang terus dari tadi pagi, tau-tahu, Barry sudah jemput Rossie ke sini. Maaf lho ya, sayang, sudah merepotkanmu.”

    “Nggak apa-apa kok, tante…” Rossie  tersenyum sanjung dipuji oleh calon ibu mertua.

 

Ciaran memperhatikan dari jauh para orang dewasa itu bercakap-cakap. Sudah pasti dirinya tidak akan diajak serta dan pastinya juga lama. Tapi dia ke sini kan mau nengokin Om Mark. Apa judulnya menengok, kalau tidak lihat Om Mark…

Ciaran memastikan Nanny Rossie tidak melihatnya, lalu mengenda-endap ia kembali ke kamar Om Mark.

 

Ciaran tersenyum sungging, begitu melihat ternyata Finnian sudah berada di sana – entah bagaimana ceritanya- dan sudah duduk di samping Om Mark yang masih terlelap tidur. Tapi apa itu yang di tangan Finnian, dan apa yang Finn lakukan di wajah Om Mark?

 

Ciaran hampir memekik histeris saat melihat Finnian dengan asyiknya menggambar di wajah Om Mark dengan spidol merahnya.

 

    “Finnian,” desis Ciaran menahan suaranya, agar Oom-nya tidak bangun.

Finnian menengok dan tersenyum lebar, “Kak, bagus kan kak, om Mark sakit cacar air ….”

Ciaran melihat dengan pasti hasil karya adiknya di wajah Om Mark…

Antara sakit perut menahan tawa plus bersiap-siap dimarahi maa dan dadda…

Wajah Om Mark sudah dipenuhi bulat-bulat kecil berwarna merah.

Ciaran menutup wajahnya sendiri, “Aduh Finn…., Tante Rossie pasti marah besar ini ….”

   “Huh?”

   “Ayo, kita keluar dari sini, sebelum ketahuan tante Rossie, maa dan dada….” Seraya menarik tangan adiknya turun keluar kamar.

   “Kak, aku pengen di sini….!”

   “Sssh…, jangan di sini, kita main di luar. Kita lanjutkan pencarian harta karun kita.”

   “Harta karun, kak?” langsung tertarik.

   “Iya,” dengan cekatan mereka berdua sudah keluar rumah melalui pintu belakang tanpa diketahui orang dewasa.

 

Di halaman Ciaran langsung menemukan sekop kecil. Diambilnya lalu diberikannya pada adiknya.

 

   “Finn, harta karunnya ada di dalam tanah, Finn gali saja sampai ketemu harta karunnya.”

   “Iya, kak?”

   “Iya, tapi satu galian saja ya ….?”

 

Tiba-tiba,

 

   “CIARAAAANNNNN !!!!!!” pekikan marah Mark terdengar keras dari dalam rumah.

Ciaran terhenyak menutup mata, sementara Finnian sontak menangis kaget. ‘Waduh Om Mark sudah bangun’

    ”Sssshh, jangan nangis…, jangan nangis Finn, kakak yang tanggung jawab. Finn main di sini saja.”

 

    “CIARAAAANNN!!!!” pekik marah selanjutnya terdengar dari ayahnya.

    “IYAAAA!!!!! – Pokoknya Finn di sini aja, jangan ke mana-mana ya .”

Finnian hanya mengangguk, dan melihat kakaknya melesat masuk ke dalam rumah .

 

                Ciaran sudah siap menghadapi kemarahan ayahnya, terlebih kemarahan Nanny Rossie. Dan benar saja, para orang dewasa sudah berkumpul di kamar Oom Mark, dengan oom Mark sudah terbangun dan menyadari wajahnya sudah dipenuhi butiran-butiran spidol berwarna merah.

 

    “Apa ini, Ciaran…?” Nanny Rossie sudah berkacak pinggang. Baik wajah Nany Rossie dan Om Mark, juga ayahnya, sudah merah padam menahan marah.

Ciaran mencoba memberi senyuman tanpa dosa. “Cacar Air, Nann….”

kesemuannya hanya geleng-geleng kepala.

    “Tapi jangan takut, dadd, itu bisa dihapus kok, Finn bawa spidol yang bisa dihapus….”

   “Finn? Jadi ini hasil karya Finnian?” Kee-an memastikan.

UPS! Ciaran menutup mulutnya karena kelepasan bicara. “Tapi aku yang nyuruh kok, Dadd.., bener aku yang nyuruh.”

Mark melihat Ciaran berusaha melindungi perbuatan adiknya, sama seperti dulu saat ia selalu melindungi perbuatan/kenakalan Barry ataupun Colin di depan orang tua mereka.

    “Sudah cukup, nggak papa, kok, asal bisa hilang saja,” Mark langsung membela keponakannya yang istimewa ini.

Senyum lega merekah dengan pembelaan Oom, “Bisa hilang kok, Om, beneran….aku hapus sekarang juga bisa kok….beneran…”  dengan sungguh-sungguh.

    “Ya sudah, kamu hapus dan sebagai hukumannya, tidak ada berkuda selama seminggu…”

Ciaran terhenyak pucat, “heh, seminggu dadd? Nggak kelamaan tuh?”

    “Nggak kelamaan, dan kalau sekarang belum juga mulai dihapus, akan menjadi 2 minggu hukumannya.”

   “IYA!!!” pekik Ciaran langsung dan segera berlari ke kamar mandi mengambil lap dan air.

 

Sumpah, Kee-an, Keavy, dan Rossie hanya bisa menarik nafas mengontrol emosi kesabaran mereka.

 

   “Sampai bersih ya, Ci…,” pesan Kee-an sebelum keluar dari kamar bersama Keavy dan Rossy.

   “Iya dadd…” sahut CI patuh.

 

Selepas ayah dan ibu keluar, Ciaran masih tak berani menatap mata oomnya…

 

    “Maaf ya, oomm…. Aku nggak tahu tadi Finn masuk ke kamar oom, tahu-tahu dia sudah duduk di samping om dan menggambar di wajah oom."

    “Nggak papa, Ci, karena yang parahnya juga, Oom nggak terasa apalagi kebangun saat Finn gambar…,” Mark harus nyengir malu dengan kebiasaan tidurnya yang tak bisa terganggu oleh apapun juga.

Ciaran ikut nyengir…

    “Sini, oom bantu….”

Ciaran tersenyum lega.

    “CIARAAAAAAANNNNN!!!!” Ciaran seperti tersengat listrik lagi saat mendengar teriakan ayahnya dari bawah. Segera ia melongok dari jendela besar kamar Om Mark.

Dan ia terhenyak kaget dengan apa yang ada di bawah sana. Hasil karya Finnian lainnya.

    “Ya, ampun Finn….,”

    “Kenapa lagi, adikmu?” Mark ikut melongok ke jendela dan langsung tergugu dengan apa yang dilihatnya. Halaman belakang rumah sudah dipenuhi bolongan-bolongan kecil dari hasil karya sekop Finnian.

   “Kakak bilang, cari harta karunnya sampai ketemu, harta karunnya ada di dalam tanah katanya ….,” suara isak ketakutan Finnian terdengar sampai atas. “Dadda, jangan marah….”

Kee-an langsung menggendong bungsunya dan memeluknya menenangkan.

   “Shhsss, dadda nggak marah, bukan salah Finn,” menepuk-nepuk punggung Finnian di gendongannya, tapi matanya mengarah ke atas, pada si sulung. “Turun,” pelan tapi tegas.

Ciaran menelan ludah dan mengangguk. Ia menengok pada Om Mark, tapi Oomnya mengangguk,

    “Turun saja, oom bisa hapus sendiri ini, Ci beresin yang di bawah saja,”

    “Iya, om…, maafin kita ya, om…”

   “Iya…” Mark tersenyum menenangkan.

Ciaran tersenyum lega sebelum dengan pasrah turun ke bawah.

 

Tak perlu lagi Ciaran memberikan penjelasan tambahan akan apa yang dilakukan Finnian, tapi itu cukup menambah masa hukumannya tidak berkuda hingga 1 bulan lamanya *SIKSAAN BERAT – dan harus menutup kembali galian-galian kecil yang dibuat Finnian, dengan dibantu Colin, yang tentu saja, Colin merengut nggak kira-kira ketiban tugas beginian.  

 

Sekitar pukul 2, Ciaran baru dapat menyelesaikan pekerjaanya, sebelum akhirnya ia tergeletak kelelahan di lantai, dan janji dalam hati, ‘Nggak ada lagi main bajak laut mencari harta karun.’

 

Kee-an menengok putranya yang tergeletak di tanah kelelahan. Halaman belakang sudah semua tertutup rapi. Sempat khawatir Ciaran pingsan, tapi ia melihat mata Ciaran berkedip-kedip. Kee-an harus tersenyum.

 

Didekatinya putranya dan digendongnya.

Ciaran terkaget dan langsung tersenyum lega, dengan senyuman ayahnya.

    “Sudah cukup, kita pulang yuk…”

    “Finn?” Ciaran memastikan.

   “Sudah pulang dari tadi dengan Maa.”

   “Oo,” lalu mengangguk dan merapatkan tubuhnya di dada ayahnya. “Pamitan Oom Mark dulu, boleh?”

Kee-an sempat terdiam, lalu tersenyum, “Boleh …” dan membawa Ciaran ke kamar Mark.

 

Kee-an dan Ciaran tertegun dengan Oom Mark terlelap tidur di tempat tidur, ditemani Nanny Rossie yang ketiduran di samping Mark dengan kepala saling bersentuhan.

Ciaran melirik ayahnya dengan tersenyum.

Kee-an menurunkan Ciaran.

 

Didekatinya mereka lalu dikecup satu persatu di kening mereka sebelum ditariknya selimut hingga menutupi dada keduanya. “Maafin Finn dan Ci, ya Omm, Nanny…..,” ucap Ciaran pelan.

Tentunya tak ada sahutan dari keduanya.

Kee-an tersenyum kagum

Ciaran mengangkat tangannya minta digendong. Kee-an langsung menggendongnya.

    “Maafin Finn dan Ci, ya, dadd… …”

   “Iya,” dengan mengangguk dan mengecup kening Ciaran, dan segera keluar dari kamar, menuju mobil yang sudah menunggu mereka di luar.

 

 

THE END

 

 

Okay, mungkin tidak seperti yang diharapkan dan tidak banyak unsur jengkol di dalamnya. Tapi beginilah sequel yang terpikirkan olehku. Semoga masih bisa dinikmati dan sangat terhibur hehehehehe.


No comments:

Post a Comment