Wednesday 20 June 2012

Cuplikan Lovely Rose 1st Rose Trilogy Hal. 113 - 122


    “Ayo Bryan, Mark, pasang berapa?” tanya Nicky semangat.

    “£100,” sahut Bryan yakin, menyebut jumlah uang taruhannya.

    “£100? Yang bener, nih?” Mark terbelalak. ”Aku £30,” lanjutnya.

    “Ok, £35,” ucap Nicky seraya melirik Kee-an yang sedang menyusun bola pada segitiga.

    “£35,” sahut Shane.

    “£40,” ucap Kee-an lalu mencabut segitiganya.

Mereka sedang berada di klub, bermain bola biliar. Mereka memang hobi sekali bermain bola sodok ini  dan seperti biasa, pasti pake uang.

    “Wah, kok, kecil-kecil? Nggak berani, ya?” ucap Bryan pongah.

Mark cuma nyengir.

    “Dah, mulai,” Bryan mulai menggosok-gosok ujung tongkat biliar dengan gabus lalu memasang kuda-kuda siap beraksi. 

 

 

Ctar! Seketika, sususan bola yang tadinya rapi, berserakan di atas meja.

Plung…plung…, dua bola langsung masuk lubang.

    “Yes!” sorak Bryan girang dengan senyum kemenangan.

Ia mulai memasang aksinya lagi,

Ctak! Plung…plung, dua bola masuk lagi.

    “Hebat!”

Keempat temannya menunggu dengan sabar.

Kali ini ia memakai atraksi.

Ctak! Tapi sayang atraksinya tidak berhasil, bolanya meleset dari sasaran.

Setelah Bryan, giliran Mark. Sesaat Mark memperhatikan bolanya, berpikir, menyusun posisi terbaik. Kemudian ia memasang aksinya. Dengan serius Mark membidik bolanya.

Ctak! plung.

Mark memilih bola lagi dan membidiknya.

Ctak! Plung.

Ctak! Plung.

Ctak! Plung.

4 bola dapat dimasukkan dengan baik oleh Mark tanpa ada kata sorak terdengar darinya, hanya cengiran yang ada. Ini dia yang asyik dari Mark, tanpa bersuara, penuh perhitungan, dan masuk!

Ctak! Eit, bolanya meleset, menjauhi sasaran.

Mark hanya menghela nafas.

Kee-an siap beraksi, setelah kegagalan Mark.

Kali ini ia memilih bola dengan posisi sulit, bola no. 8. Ia harus menggunakan trik untuk dapat memasukkan bola yang ditujunya.

Ctak! Kee-an menyodok bola dengan kekuatan penuh.

Bola langsung melesat membentur dinding meja biliar kemudian ke sisi yang lain, sisi berikutnya dan sisi berikutnya lagi, tanpa mengenai bola sasaran. Ke-10 mata mengikuti arah bola itu yang hanya mengelilingi lapangan biliar.

Shane tertawa geli melihat bola yang sedang berpusing-pusing ria. Akhirnya kecepatan bola itu berkurang, semakin berkurang dan mulai mendekati bola sasaran yang berada di mulut lubang. Kee-an menunggu dengan tegang.

    “Ayo masuk, masuk,” Kee-an memberi semangat pada bola putihnyanya agar mengenai bola no.8 dan masuk lubang.

Tapi bola putih itu sudah hampir berhenti.

    “Nggak, dia nggak akan masuk,” Bryan pesimis.

    “Nggak, pasti masuk,” sahut Mark yakin.

Tuk, …. plung! Akhirnya bola no. 8 masuk juga.

    “Yes!!” pekik Kee-an girang.

Seketika itu juga tawa Bryan, Mark, Shane dan Nicky, meledak, mengingat bola tadi harus berputar-putar dulu untuk mengenai bola no.8.

    “Hebat, Ki!!” sorak Shane.

    “Makasih, makasih, makasih,” ucapnya penuh kebanggaan.

Kee-an bersiap lagi untuk menyodok bola.

Ctak! plung.

    “Sial,” sesal Kee-an. Kali ini bola yang ditujunya tidak masuk, justru bola putihnya yang masuk. Payah!

    “Giliran gue,” ucap Shane bersemangat.

Ctak, plung!

Ctak, plung!

Shane berhasil memasukkan dua bola, begitupun Nicky.

    “Ok, bola tinggal dua, semuanya milik gue,” ucap Bryan super yakin setelah kegagalan Nicky.

Mark cuma mengangguk dengan tersenyum.

Dengan semangat pejuang IRA, Bryan menyodok bola putih itu. Tapi seperti Kee-an tadi, bukan bola yang ditujunya yang masuk, melainkan bola putihnya.

    “Sial!”

Mark berusaha menahan tawanya melihat kekesalan Bryan.

Dengan tenang Mark menyodok bola putih itu.

Ctak! plung.

Bola tinggal satu. Bryan mulai was-was. Kalau Mark berhasil memasukkan bola ini, berarti Mark yang akan menang. Gawat!!

    “Gue harus berbuat sesuatu, nih,” batin Bryan. Mark bersiap lagi untuk menyodik bola yang tinggal satu ini. Ketika siap untuk membidik bola, Bryan mengikuti posisinya di sampingnya dengan menghembuskan tiupan halus di telinga Mark.

Awalnya Mark tidak mempedulikannya. Dia tahu Bryan sedang berusaha merusak konsentrasinya, tapi Bryan terus melakukannya,

    “Bryan…,” Mark memperingatkan. Namun tidak digubris oleh Bryan dan tetap meniup.

Mark langsung berdiri, wajahnya dibuat segarang mungkin.

    “Ok…ok… gue nggak akan ganggu.”

Shane, Nicky dan Kee-an tidak dapat menahan tawanya.

Kemudian Mark kembali bersiap dengan posisinya, konsentrasi penuh.

Duk!

    “Aw!!” Mark langsung meloncat kaget. ”Bryannn!!!” pekik Mark kesal.

Bryan sengaja menyodok pantat Mark dengan stik biliarnya.

    “Sorry,” ucap Bryan dengan wajah tanpa dosa.

Mark langsung tersadar. Karena kaget, secara refleks, stiknya menyodok bolanya. Ke-10 mata mengikuti bola yang berpusing-pusing dulu, dan…,

    “Masuk!!” sorak Kee-an girang.

 Mark langsung tersenyum kemenangan pada Bryan,

    “Maaf, ya, nggak mempan, tuh,” ucapnya puas.

Bryan langsung nyengir kesal.

    “Gua menang,” lanjut Mark senang saat mengumpulkan uang.

    “Andrew, tuh,” Shane tiba-tiba menyenggol tangan Kee-an.

Mata Nicky dan Kee-an langsung mengarah ke arah yang ditunjukkan Shane.

Kee-an melihat Andrew bersama gengnya tanpa Keavy. Andrew justru bersama cewek lain. Kee-an baru teringat, sudah beberapa hari ini ia tidak melihat Andrew bersama Keavy. Apa mereka berantem lagi? Kee-an tidak mengerti, tapi hatinya terasa panas melihat Andrew bersama cewek lain, seakan ia bisa merasakan sakit hati Keavybila ia melihat ini juga.

Shane meremas pundak Kee-an agar tenang.

    “Yuk,” Shane mengajak Kee-an duduk bergabung dengan Bryan, Mark dan Nicky.

    “Chears,” Nicky mengangkat gelas.

    “Chears,” sambut keempat temannya seraya mengangkat gelas mereka.

Mata Kee-an masih tertuju pada Andrew. Andrew menyadari ia sedang diperhatikan dan  membalas tatapan Kee-an dengan tajam. Kee-an langsung buang muka, kembali pada Kimpat temannya.

Selang beberapa saat, Kee-an melihat Andrew masuk ke toilet. Setelah pamit pada Nicky, ia menyusul Andrew ke toilet.

 

    “Hi,” sapa Andrew ramah melihat Kee-an masuk ke dalam toilet.

    “Hi,” mau tak mau Kee-an harus menyahutnya.

    Bareng Keavy?”tanya Andrew dingin.

    “Nggak. Loe, kan cowoknya, harusnya Keavy sama loe kan,” sahut Kee-an. ”Kalian berantem lagi, ya?”

Andrew tak menjawab.

    “Lagi berantem bukan berarti cari yang lain,” sindir Kee-an.

Andrew menoleh, ”Kita udah putus, kok,” sahutnya masih tenang.

    “Hah?”

    “Dia nggak ngasih tau loe?” Andrew terheran. ”Gua yang mutusin,” lanjutnya ringan.

    “Hah? Tega bener, loe mutusin dia lagi! Dia sangat mencintai loe, tau!” Kee-an mulai naik darah.

    “Hey, gue juga cinta dia!”

Bruk! Tiba-tiba Kee-an mendorong tubuh Andrew yang besar dan mencengkeram kerah baju Andrew.

    “Jangan bilang loe cinta dia kalau loe nyakitin dia!” tekan Kee-an marah.

    “Lepasin tangan loe!” Andrew memperingatkan dengan tajam. Ia tidak suka diperlakukan seperti ini.

Kee-an segera melepaskan tangannya.

    “Gue cinta dia!” ucap Andrew tajam.

    “Trus kenapa loe putusin dia?” tanya Kee-an tak kalah tajamnya.

    “Karena dia mencintai loe. Dia lebih cinta loe, daripada cinta gue!”

Kee-an hampir saja tertawa mendengar ucapan Andrew.

    “Udahlah, Nggak usah pake gue buat jadi alasan,” balas Kee-an. Jelas dia cinta gue. Keavy ama gua kan sobatan, loe juga tau itu kan? Elo emang nggak bisa membedakan mana cinta persahabatan dan mana cinta kekasih. Bodo aja, elo cemburu. Sebelumnya elo juga tau kan, gua sama Keavy udah deket banget? Kalo loe cemburu, kenapa loe ‘jadian’ sama Keavy? ”

    “Elo emang keterlaluan. Elo udah nyakitin Keavy dua kali, tau nggak! Dan semuanya karena elo cemburu? Tau gini, gua nggak akan ngebiarin Keavy ‘balik’ lagi sama elo!”

Andrew benar-benar tidak terima dengan omongan Kee-an,

    “Heh, denger ya!” kini giliran Andrew yang mendorong Kee-an sampai terjatuh, ”Jujur, gue emang cemburu. Gua cemburu sama kedekatan loe dengan Keavy, tapi kecemburuan gua ada alasannya, Karena dia emang mencintai loe. Gua udah nggak sengaja membaca buku hariannya, dan semuanya tertulis tentang perasaannya sama loe. Gimana cintanya dia ama loe, gimana dia nggak bisa jauh sama loe. Mikir dong, gimana perasaan gue waktu tau itu, ternyata cewek yang gua cintai diam-diam mencintai cowok lain. Dia mencintai sahabatnya sendiri!”

Kee-an terpaku dengan ucapan Andrew dan tak percaya.

*

    “Mana Kian?” tanya Bryan.

    “Tadi pamitnya ke toilet,” jawab Nicky.

    “Andrew juga nggak ada di mejanya,” lanjut Shane setelah melihat meja gengnya Andrew.

Bryan langsung beranjak dari tempat duduknya.

*

    “Loe nggak sadar apa, kalo dia emang mencintai loe? Cintanya ama loe bukan sekedar cinta sahabat atau adik-kakak, tapi lebih! Gua aja nggak buta!”

Kee-an tergugu tak bisa berucap.

    “Loe juga cinta dia, kan?” tanya Andrew tajam.

Kee-an menatap Andrew dan tidak mengerti.

    “Terus kalo dia emang cinta gue, kenapa waktu gua nembak dia, dia nolak?”

Andrew tersenyum sinis, ”Mana gua tau.”

Kee-an bener-bener tidak mengerti.

    “Kian!?” tiba-tiba Bryan masuk ke toilet dan menemukan Kee-an terduduk di lantai. Kemudian ia beralih pada Andrew,

    “Heh, yang adil dong? Nggak liat apa, badan loe segede apa!?” protesnya karena menyangka Kian dan Andrew berkelahi.

    “Loe nggak usah ikut campur, deh. Ini antara gue sama dia!” balas Andrew.

Bryan siap memukul Andrew, tapi,

    “Bryan, berhenti! Kita nggak berantem,” tahan Kee-an.

    “Tapi?”

Kee-an segera bangkit.  ”Kita cuma ngobrol.”

    “Loe cinta dia, dan dia juga cinta loe, jadi loe tau artinya kan?” ucap Andrew serius pada Kee-an.

Kee-an berusaha menangkap arti ucapan Andrew dan hampir tidak mempercayainya.

    “Kenapa loe bantu gue? Bukannya loe juga masih cinta dia, kan?”

    “Gue sangat mencintainya, dan akan selalu begitu. Tapi gue lebih milih untuk dia bahagia, jadi kita harus putus, karena gua tahu dia nggak akan bahagia sama gua. Tapi loe, cuma loe yang bisa bikin dia bahagia. Cuma loe yang dia cinta dan satu-satunya yang bisa bikin dia bahagia,” ucap Andrew. Kemudian ia berjalan menuju pintu.

Kee-an hampir saja tidak mempercayai ucapan Andrew. Keavy benar, Andrew sangat baik dan berhati besar.

    “Hey …,” panggil Kee-an pelan.

Andrew menengok ke arah Kee-an.

    “Makasih,” ucap Kee-an.

Tanpa tersenyum, ia mengangguk kemudian keluar dari toilet.

    “Kian, loe nggak pa-pa?” tanya Bryan langsung begitu Andrew keluar. Sejak tadi ia hanya memperhatikan antara Andrew dan Kee-an tanpa tahu apa yang mereka bicarakan.

    “Yeah, gue nggak pa-pa,” sahutnya seraya berjalan menuju pintu keluar.

    “Trus, ini kenapa? Apa yang terjadi?” Bryan mengejar Kee-an yang keluar dari toilet.  ”Heh, Kian!?”

Kee-an kembali ke meja anak-anak dengan wajah semrawut dan duduk di sebelah Mark. Bryan mengikuti di belakang.

    “Ada apaan, sih?” Nicky bertanya pada Bryan.

Bryan mengangkat bahu, ”Nggak tahu.”

Mark, Nicky, Shane dan Bryan memperhatikan Kee-an yang kebingungan.

    “Apa sih, liat-liat!!?” protes Kee-an langsung.

Keempatnya langsung buang muka.

 

Kee-an masih memikirkan Keavy, dan bener-bener tidak mengerti. Tapi kalau memang benar Keavy mencintainya, berarti ia masih punya kesempatan untuk lagi untuk ‘menembaknya’ dan kali ini Keavy tidak mungkin bisa menolaknya.

***

 

Duarr!!

Seseorang mencoba mengagetkanku dari belakang dan kali ini berhasil.

    “Astaga Kee-an!!! Gila kamu, ya!” teriakku kaget setelah tahu itu Kee-an. “Kamu mau bikin aku jantungan!

Kee-an tertawa kesenangan.

    “Udah, jangan ketawa…”

    “Iya, kalo ketawa, aku jadi jelek, kan?” potong Kee-an wajahnya langsung dimanyunkan.

    “Aduh, ampe marah gitu. Enggak, kamu cakep kok. Cakep banget.”

Kee-an tersenyum manis, manis sekali.

    “Tadi malam aku ketemu Andrew,” ucapnya.

Aku tercekat.

    “Dengan cewek lain,” lanjutnya lagi.

    “Oh, yeah?” nadaku menggantung.

    “Kok, kamu nggak cemburu?”

    “Kenapa harus cemburu?” tanyaku sedikit gusar.

    “Oh, iya, ya, kenapa juga harus cemburu, kamu kan udah putus sama dia, ya kan?” todong Kee-an langsung.

Aku benar-benar kaget. Dari mana ia tahu, aku sudah putus dengan Andrew. Pasti Andrew yang memberi-tahukan.

    “Kenapa kamu nggak bilang? Kenapa?” tanya Kee-an lagi.

Aku terdiam.

    “Waktu kamu ‘balikan’ lagi sama Andrew, kamu juga nggak ngasih tahu. Sekarang juga nggak. Masa’ aku harus tau dari Andrew? Kami hampir saja berantem, gara-gara ngelihat dia sama cewek lain.”

Aku tetap terdiam bingung harus bicara apa.

    “Andrew sudah cerita semuanya…juga tentang kenapa dia mutusin kamu,” lanjut Kee-an.

Aku tercekat dan menatap Kee-an. Kee-an tersenyum manis.

    “Kenapa harus bohong, Keav? Kenapa kamu harus nolak aku saat aku ‘nembak’ dulu, itu khan sama aja membohongi diri sendiri. Sakit, kan?”

Aku mulai meneteskan air mata. Bener Kee-an, membohongi hati sendiri, sakit sekali.

    “Kamu mencintaiku juga, kan?” tanya Kee-an hati-hati.

Aku tidak menjawab tetap menunduk.

    Keav?” desak Kee-an.

    “Kamu udah tau, aku nggak usah ngomong lagi.”

    “Yeah, tapi aku pengen dengar dari kamu sendiri. Dari bibirmu sendiri.”

Aku terdiam sesaat, memandang mata Kee-an yang biru, seakan terus mendesak agar aku mengucapkannya.

    “Iya, Kee-an, aku memang mencintaimu, sangat mencintai kamu! Tapi kalo kamu memintaku untuk jadi pacarmu, aku nggak bisa.”

    “Kenapa?” Kee-an terheran.

    “Kamu tahu kenapa.”

Kee-an menggeleng, ”Nggak, itu cuma ketakutan kamu aja. Kita bahkan belum mencobanya. Aku yakin kamu bisa. Kita udah lama sahabatan, pasti nggak akan jauh beda.”

    “Ya beda, sekarang kamu bukan Kee-an yang dulu lagi, sekarang kamu udah terkenal. Fans kamu di mana-mana.”

    “Aku masih Kee-an yang dulu. Aku masih Kee-an yang sayang sama kamu, yang cinta ama kamu, nggak ada yang berubah. Percayalah, kita akan baik-baik saja. Aku sangat mencintaimu, Keav,dan aku mau kamu jadi pacarku.”

Aku menggeleng, ”Maaf, tapi aku nggak bisa, aku terus menekan perasaanku.

Kee-an menghela nafas putus asa.

    “Ya, udah. Kalo kamu emang nggak mau, aku nggak bisa maksa. Kita emang ditakdirkan cuma sebagai sahabat, walau aku pengen lebih. Aku sayang kamu, Keav.”

Kee-an mencium keningku lalu beranjak dan berjalan ke arah pintu.

Aku menarik nafas dalam-dalam memikirkan ucapan Kee-an, ‘aku juga sayang kamu.’I love him so much. Aku nggak mau berbohong lagi, aku ngga mau kehilangan dia. Tanpa sadar pipiku sudah basah.

    “Kee…” aku memanggilnya.

Langkah Kee-an terhenti.

    “Minta aku sekali lagi,” ucapku lirih.

Kee-an segera berbalik dan tersenyum tipis.

    “Mau kamu jadi pacarku?”

Aku mengangguk, ”Iya, Kee, aku mau”

Kee-an langsung tersenyum lebar.

    “Kee-an…,” aku langsung berhambur ke pelukannya. Kembali ke pundaknya yang besar, pundaknya yang selalu kurindukan.

    “Kee, maafin aku,” isakku tak tertahankan di pundaknya.

    “Stss… udah, aku ngerti kok,” Kee-an memelukku erat.

    “Aku cinta kamu, Kee, aku sangat mencintaimu,” ucapku tak tertahankan.

Kee-an hanya mengangguk, tahu apa yang aku rasakan

Kee-an melepaskan pelukannya. Dia memandangku dengan sangat dalam dia menciumku di bibir. Dia sering menciumku di bibir, tapi tidak seperti ini rasaanya. Ciuman ini begitu berbeda. Penuh hasrat dan penuh cinta.

 

Hari ini, 16 Juni 2001, semua telah berubah. Kami bukan lagi teman. Kami sepasang kekasih, dan aku sangat, sangat bahagia. I love you so much, Kee.

 

TBC


mau tahu kelanjutannya?  ..... ada sepenuhnya di Lovely Rose 1st Rose Trilogy :)

No comments:

Post a Comment