Thursday 28 June 2012

Cuplikan Trully Rose 2nd Rose Trilogy - Hal 17 - 21

Bulan Juli 2005



Malam ini aku tidur nyaman sekali, berada di pelukan Kee-an yang hangat. Itu cukup membuatku sedikit meregangkan otot-ototku yang kaku, dan kepalaku yang penuh dengan huruf-huruf perancis. Kuharap esok pagi mual dan pusingku hilang, jadi aku bisa kembali mencari bahan untuk ujian. ‘Ups, kata Kee-an, tidak boleh ada buku sama diktat besok.’

 Keesokan harinya keadaanku sudah agak lebih baik dan sesuai janji Kee-an, dia tidak pergi ke mana-mana, menemaniku, juga mengawasiku kalau-kalau aku pegang buku lagi.
Dia sangat memperhatikanku. Dia berusaha membuatku nyaman, dan santai dengan melayaniku.

Aku melihat Kee-an kebingungan setelah menerima telepon dari seseorang.
    “Simon. Dia mau ketemu aku sekarang,” ucap Kee-an ragu padaku. “Tapi aku nggak akan pergi sebelum kamu baikan.”
    “Kamu ngomong apa, sih, Kee? Itu Simon Cowell, produser kamu, kamu harus menemuinya. Aku nggak apa-apa. Jangan khawatirin aku. Jangan perlakukan aku kayak bayi, Kee.”
    “Tapi kamu memang bayiku,” sahutnya dan menciumku. 
    “Aku pengen kamu menemuinya.!” perintahku. “Aaa, nggak ada tapi,” potongku cepat, melihat Kee-an mau membatah.
Akhirnya Kee-an mengalah, “Ok, aku akan pergi. Tapi aku janji, aku akan pulang sebelum jam 7.”
    “Terserah. Sekarang pergi, Kee. Dia sudah menunggu kamu.”
    “Ok, love you.” Kemudian segera pergi menemui panggilan produsernya.

Setelah Kee-an pergi, rasa mualku datang lagi. Aku tidak tahan lagi, dan langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkannya lagi. Aku semakin kesal jadinya. ‘Apa aku akan datang bulan, sampai harus repot begini?’
‘Hey tanggal berapa sekarang? Kenapa aku belum datang bulan juga. Ini sudah hampir terlambat sebulan. Tapi aku pernah seperti ini sebelumnya; pusing, mual, terlambat ‘datang’…
‘Oh no, not again!’
Dengan sedikit panik aku mencari alat pengetes kehamilan di laci toilet yang sedikit tersembunyi, yang tanpa sepengetahuan Kee-an, aku membelinya banyak untuk jaga-jaga. 
Aku segera mengetes urinku (Ini bukan yang pertama kalinya). 



Dengan hati-berdebar-debar dan penuh harap bahwa dugaanku salah, aku menunggu hasil tes tersebut. Ya Tuhan, mudah-mudahan bukan. Kuharap hasilnya negatif seperti yang lalu-lalu.
Kakiku langsung lemas semua, begitu melihat hasilnya.
    “Ya Tuhan!” aku hampir tak mempercayainya. Tanda positif terlihat jelas dan pasti di alat tes tersebut. “Aku positif! Akhirnya kejadian juga.”
Aku meraba perutku dengan masih tak percaya. Aku tidak tahu haruskah aku bahagia atau sedih dengan kehamilanku ini. Aku terduduk lemas di lantai kamar mandi dengan kebingungan. Ini bukan berita bagus untuk Kee-an. Kita sudah sepakat untuk menundanya sampai aku lulus dulu, karena itulah kami selalu berhati-hati dan selalu memakai pelindung, tapi.
    “Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku bilang padanya?” aku benar-benar bingung. “Tentu saja aku harus mengatakannya, ini bayinya. Dia ayahnya. Tapi bagaimana kalau dia tidak menginginkannya, lalu menolaknya … dan meminta untuk aborsi?” aku semakin ketakutan.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi yang pertama dia harus tahu. Kee-an harus tahu aku mengandung anaknya.

Dengan tidak sabar aku menunggu kepulangan Kee-an. Yang akhirnya setelah dia pulang, justru semakin membuatku takut.

    “Ada apa sayang? Kamu masih kelihatan pucat? Kamu mau kita ke dokter?”
    “Nggak, aku nggak butuh ke dokter!” tolakku langsung panik.
Kee-an terheran, “Hey, ada apa? Kamu nggak pa-pa?”
    “Nggak, aku nggak baik-baik saja,” aku tidak bisa menutupi kegugupan dan ketakutanku.
    “Keav…?”
    “Kee… janji, kamu nggak akan marah,” pohonku dengan sangat.
Kee-an semakin terheran dan tak mengerti, tapi kemudian mengangguk berjanji.
Dengan gugup, aku menunjukkan hasil tes itu pada Kee-an.
Kee-an menerima dan melihatnya dengan seksama. Dia terlihat mengerti,
    “Kamu…?” tanya Kee-an hati-hati.
Aku hanya mengangguk, dan tinggal menunggu penolakan Kee-an.
    “Tapi bagaimana bisa? Kita kan, selalu pakai itu, ya kan? Kamu juga minum obatnya, kan?” Kee-an meragukanku.
    “Pastilah, aku meminumnya. Tapi tetap nggak berhasil.”
Kee-an terdiam, “Kamu sudah ke dokter, untuk memastikannya?”
    “Belum. Tapi hasil tes pack menunjukkan tanda positif, yang artinya_”
    “Aku tahu apa artinya!” potong Kee-an cepat. “Tapi kan bisa saja salah!”
    “Kamu mau aku memeriksanya lagi?”
Kee-an mengangguk pasti.

Kami langsung ke kamar mandi.

    “Kamu punya banyak?” Kee-an terbelalak melihat aku menyimpan banyak alat tes di lemari.
    “Yeah. Setiap bulan, kalau aku telat, aku selalu memeriksanya,” jawabku jujur.
    “Tapi kamu nggak pernah kasih tahu aku,” protes Kee-an tidak terima.
    “Oh, harus? Terus bikin kamu marah kayak gini!?” balasku sengit.
Kee-an langsung terdiam.
Aku tak mempedulikannya dan mulai mengetes  urinku sekali lagi.

Dengan berdebar-debar kami menunggunya. Lima menit kemudian hasil tersebut tetap menunjukkan hasil yang sama. Tanda positif berwarna biru terlihat jelas dan pasti. Mau tidak mau Kee-an harus mempercayainya.
    “Tetap positif. Aku bener-bener hamil.”
Kee-an terpekur kebingungan.
    “Kita akan punya bayi, Kee. Kamu akan jadi ayah.”
    “Nggak bisa!” tolak Kee-an mentah-mentah.
Aku tersinggung dengan penolakannya.
    “Keav, kita kan udah sepakat, ingat?” Kee-an langsung melembutkan suaranya.
    “Aku tahu! Karena itu aku panik sekali waktu tahu aku hamil. Kamu pikir, aku nggak takut dan stres, apa, setiap aku terlambat bulan dan memeriksanya? Dua kali aku terlambat, dan negatif. Ini yang ketiga, dan aku berharap tetap negatif. Tapi ternyata tidak. Tanda positif itu sangat jelas. Sekarang aku ketakutan setengah mati dan panik, and panik Karena aku yakin kamu akan nggak mau menerimanya, iya kan?”
    “Kamu mengira aku tidak akan menerimanya?” Kee-an berbalik tanya.
Aku berkerut terheran, “Jadi…?”
    “Kira-kira berapa umurnya?”
    “Aku nggak tahu.”
    “Apa masih sempat untuk menggugurkannya?” tanpa beban.
    “Kee-an!!” aku terbelalak tak percaya.
    “Hey, kita sudah sepakat,” protesnya mengingatkanku.
    “Tapi ini anak kamu, Kee!”
    “Aku tahu! Tapi aku tetep nggak bisa menerima bayi ini sekarang. Nggak bisa.
Aku langsung terduduk menangis tak percaya, Kee-an memang tidak menginginkannya.  “Teganya, kamu, Kee!”
    “Oh, Keav, tolong dong, kamu harus mengerti aku_”
    “Nggak, aku nggak bisa ngerti. Gimana aku bisa ngerti, kalau kamu menolak bayi kamu sendiri. Ya Tuhan, aku bener-bener nggak percaya!” aku penuh emosi dan langsung masuk ke ruang belajarku.

Di dalam ruang belajarku, aku menangis tak karuan. Marah, kesal dan kecewa. Aku masih belum mempercayainya, Kee-an menolak bayinya ini dan ingin aku menggugurkannya? Bila aku menggugurkannya aku akan sangat berdosa. Tanpa alasan yang tepat dan terpaksa, menggugurkan kandungan merupakan dosa besar. Tapi aku tahu, Kee-an belum siap menerimanya, dan tidak akan menerimanya. ‘Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan?’

Aku mengurung di kamar belajar hinggaku tertidur. Keesokan harinya, aku dibangunkan dengan ketokan pintu dari Kee-an.

    “Keluarlah, Keav. Jangan kayak anak kecil, dong.”
Aku langsung membuka pintu dengan penuh emosi, “Oh, ya? Siapa yang kayak anak kecil, kamu atau aku? Kamu menolak anak kamu sendiri dengan alasan belum siap, apa itu bukan kayak anak kecil!? Kamu yang kayak anak kecil!” serangku marah.
Tiba-tiba Kee-an menciumku dengan cepat. Aku kaget sendiri.
     “Jangan cium, aku!!” tolakku kesal.
     “Itu ciuman ‘selamat pagi’ Keav,” sahutnya tak peduli.
Aku semakin kesal dengannya. Sempat-sempatnya dia mencuri kesempatan menggunakan ritual pagi kita di saat kita sedang berantem.
Kee-an mengerti aku masih marah.
    “Kita sudah membicarakannya, dan aku nggak bertengkar dengan kamu. Kamu masih belum sehat.”
    “Oh, kamu masih memikirkanku, tapi gimana dengan bayimu? Apa nggak kamu harus pikirka dia juga!!?”
    “Oke! Terserah! Tapi aku tetap nggak mau bayi ini. Belum,” tekannya, kemudian keluar dari apartemen dengan membanting pintu (seperti biasa).
    “Aarrghh! Brengsek kamu, Kee!!” pekikku kesal.
Aku kembali menangis dan semakin kebingungan. Aku benar-benar tidak tahu, apa yang harus aku lakukan..
Aku tidak memberi-tahukan pada siapapun tentang kehamilanku ini. Aku tidak ingin membuat heboh dulu. Aku yakin, Kee-an juga tidak ingin orang lain mengetahuinya. Apalagi bila nantinya bayi ini harus aku gugurkan, itu akan membuat aib bagi kami berdua. Berita ini harus aku simpan dulu.


TBC



Mhmmmm, kira-kira bagaimana Kee-an bisa luluh ya ? baca lanjutanya di Trully Rose  2nd Rose Trilogy   yaaaaa :)   555 halaman

No comments:

Post a Comment