Friday 29 June 2012

Cuplikan Trully Rose 2nd Rose Trilogy - Hal 41 - 48

25 February 2006

Semua keluargaku sudah berada di sini termasuk keluarganya Kee-an juga Gillian, dan Georgina yang datang langsung ke sini dari Dublin. Mereka menunggu di luar, sementara mama dan  Pat terus menemaniku.

dr. Emily Keaton kembali memeriksaku,

    “Ok, sudah 9,5, kita siap sekarang,” ucap Emily menandakan aku siap untuk segera melahirkan.
    “Nggak! Kee-an belum datang. Kita mesti tunggu dia,” tolakku langsung.
    “Ok. Aku harap anakmu juga bisa menunggu ayahnya datang,” sahutnya ringan.
    “Harus bisa. Aku nggak akan membiarkan dia keluar sebelum ayahnya datang!” sahutku sewot kemudian mengatur emosiku.
Emily hanya bisa tersenyum melihatku stres.
‘Ampun, Kee, cepetan dateng! Anakmu mau keluar, nih,’ aku memohon dengan sangat. ‘Kamu sudah janji, Kee, kamu sudah janji untuk ada di sini, untuk merekam proses kelahirannya’ Aku tercekat, ‘Ya, Tuhan, kameranya!’


    “Gerry! Mana Gerry!?” panggilku panik.
Tak lama kemudian Gerry muncul di hadapanku.
    “Demi adikmu, Gerr, maukah kamu merekam proses kelahirannya?”
    “A…apa!?” Gerry langsung tergagap hendak menolak.
    “Tolong Gerr, ini untuk Kee-an juga. Aku takut dia nggak akan nyampe, dan dia nggak bisa melihat bagaiman anaknya lahir.”
Tampak wajah Gerry yang mulai pucat, “Tapi Keav,… kenapa aku?”
    “Karena kamu abangku” sahutku kesal.
    “Terus…?” Gerry tak mengerti dan masih terdengar untuk menolak.
    “Gerr…!” aku bersiap untuk marah, tapi rasa sakit tiba-tiba terasa dan aku tidak dapat menahannya, “Aaaarrrghhh!!”
    “Ok, ok, aku rekam!” jawab Gerry langsung, tidak tega melihatku kesakitan.
Dengan terpaksa Gerry mengambil handycam yang memang sudah kusuruh untuk dibawa.
Emily kembali memeriksaku karena teriakanku tadi.
    “Sudah  11, sekarang. Lebih dari siap, Keav. Dia akan segera lahir.”
    “Nggak! Dia harus tunggu ayahnya dulu!” aku bersikukuh. “Tunggu ayahmu datang, nak!!” teriakku pada bayiku, sekaligus menumpahkan kekesalan dari rasa sakitnya ini.
    “Maaf, Keav, dia nggak bisa menunggu lama lagi.” Emily sudah bersiap di bawah kakiku untuk mengeluarkannya.
Dia benar, aku sudah tidak kuat untuk menahan dia di dalam sini lebih lama lagi. Dia ingin segera keluar. Air mataku langsung menetes. Kee-an tidak akan melihatnya lahir.
Gerry sudah siap merekam. Aku tidak peduli dengan perasaannya, apa dia takut atau panik.
    “Jangan takut, kami akan di sini,” Pat menenangkanku dengan menggenggam tanganku, begitu juga mamaku.
Memang mama dan Pat pasti akan menemaniku, tapi aku tetap ingin Kee-an yang ada di sini. ‘Aku pengen Kee-an di sini!!! Kee…’
    “Ok, siap untuk mendorong lagi …,” komando dr. Keaton.
Dengan terpaksa, mau tak mau, aku harus segera mengeluarkannya tanpa Kee-an. Kecewa? Sudah pasti!

BRAK!! Pintu tiba-tiba terbuka.

Wajah yang sangat aku tunggu muncul di pintu.
    “Apa dia sudah keluar?” tanyanya langsung. “Keav?” seraya menujuku dengan wajah cemas.
    “Kee…!!” aku tak sanggup menahan tangis kelegaan, akhirnya dia datang juga.
    “Nah, tuh ayahnya datang,” sambut Emily ikut lega.
    “Dia belum keluar, kan?” Kee-an sempat mengintip ke bawah kakiku.
    “Dia menunggu ayahnya datang,” sahut Emily dengan tersenyum geli.
    “Bagus,” Kee-an bernafas lega dan kembali mendampingku
Kee-an langsung menggantikan posisi mamanya dan menggenggam tanganku seraya mencium kening dan bibirku.
Karena sudah ada Kee-an, Pat segera keluar sementara mamaku dan Gerry tetap tinggal, agar tidak terlalu banyak orang di dalam ruangan.
    “Aku nggak terlambat, kan?” seraya mengatur nafasnya yang masih memburu.
    “Hampir Kee, _!” aku hampir marah lagi kalau tidak merasakan kontraksiku yang tiba-tiba, membuatku berusaha menahannya rasa sakitnya dan melupakan rasa kesalku ini.
Aku sempat melihat Gerry masih terpatung dengan kedatangan Kee-an yang mengagetkan.
    “Tetap merekam, Gerr!” seruku di tengah kesakitan. Aku tidak mau Kee-an justru sibuk merekam, sementara aku berusaha mengeluarkannya. Aku ingin Kee-an tetap di sisiku, menemaniku.
Gerry kembali dalam posisi merekam.
    “Aagghh!!” aku tak dapat menahannya lagi.
    “Ayo, dorong lagi,” perintah dr. Keaton.
Sekuat tenaga aku berusaha mengeluarkannya, dengan tangan menggenggam kuat tangan Kee-an. Aku ingin cepat-cepat melihat dia.
    “Terus sayang. Tahan …5, 6, 7, 8,” Emily menginstrukturiku dari bawah sana.
Sekuat tenaga aku menahannya.
    ”Lepaskan dan nafas pelan-pelan...”
Aku mengatur nafasku.
    “Sekarang dorong lagi.”
Aku melakukan apa yang diperintahkannya juga saat dia menyuruhku menahannya.
    “Holly-Mary, mother shitt!! Itu dia, aku lihat kepalanya!” ucap Gerry spontan dan girang dengan tetap merekam.
Umpatan tak terkontrol keluar dari mulut Gerry, membuat mama melotot padanya, begitu juga aku, Kee-an dan Emily.
Gerry tersadar bahwa dia dipelototi. “Apa?” protesnya.
    “Nggak boleh ngumpat,” mama memperingatkannya.
    “Sorry, ma, kelepasan.”
Mama hanya mesem saja, sementara aku mendengus kesal, dan kembali merasakan sakitnya, membuatnya semuanya kembali berkonsentrasi.
    “Hey, kenapa ada dua? Anakmu kembar, Keav!” lapor Gerry girang.
Aku dan Kee-an, terlebih mama, terkaget. ‘Kembar?’
    “Bukan. Ini bukan kepala mereka,” ralat Emily langsung. “Ini pantatnya. Dia sungsang.”
    “Apa?”
    ”Tunggu dia tertahan, tapi jangan khawatir.”
Aku langsung tegang, ‘Tuhan, tolong aku dan bayiku,’ aku memohon dengan sangat.
Entah berapa kali aku mendorongnya, bergelut dengan rasa sakit yang luar biasa (kalau bisa, aku tidak ingin mengalaminya lagi).
Kee-an dan mama terus membimbingku juga memberiku semangat dan dorongan.
    “Yak, dorong, sayang. Tahan …5, 6, 7, 8…, bagus…”
Aku mengatur nafasku yang sudah di ujung tali. Tangan Kee-an tak lepas menggenggam tanganku. ‘Kenapa dia belum keluar juga?’
    “Sekarang, satu kali lagi, dorong yang kuat, dan dia akan segera keluar,” Emily mengomando.
Aku pun bersiap lagi dengan hampir putus asa. Kukumpulkan semua tenagaku yang tersisa. Akhirnya setelah kukeluarkan semua tenaga penghabisanku, ….
    “Dia keluar, Keav. Dia sudah keluar!” lapor Gerry semakin girang dengan terus merekam. “Dan cowok tulen!” lanjutnya pasti, setelah melihat dengan yakin alat kelaminnya dengan jelas.
Mata Kee-an dan mama langsung berbinar saat melihat sesosok bayi di tangan Emily kemudian menyerahkannya pada seorang suster.
    “Dia sudah keluar, Keav, dia sudah keluar,” Kee-an tak kalah girangnya. “Kamu berhasil, sayang!” dia langsung memeluk dan menciumku.
Begitu leganya aku, mendengar bayiku telah lahir. Tapi kenapa aku tidak mendengar suara tangisnya?
    “Ya, Tuhan,” desis mama membuat wajah Kee-an tiba-tiba berubah pucat dengan terus memperhatikan bayi kami yang dibawa suster untuk diperiksa. ‘Ada apa dengan dia?’
*
Kee-an menghampiri bayinya yang sedang ditangani oleh seorang suster. Jantung Kee-an serasa berhenti dan darah berdesir dingin begitu melihat mata sang bayi tertutup, dengan leher terlilit tali pusar, begitu juga dengan Gerry yang terpaku. Dia hampir saja menjatuhkan handycamnya. Dia sangat kecil, berwarna ungu dan terlihat tidak bernafas.
    “Dia nggak pa-pa, khan?” bisik Kee-an pada ibu mertuanya.
Corrine mengangguk dan terus memperhatikan suster itu yang merogoh mulut si bayi dan mengeluarkan sesuatu dari dalam mulutnya, kemudian dilanjutkan dengan memasang oksigen padanya.

    “Ada apa, ma, Kee, Gerry?” aku dengan cemas.
Gerry langsung menghampiriku dan mendampingiku.
    “Apa dia baik-baik saja? Apa dia sehat? Apa dia hidup?” aku semakin takut. Aku tidak mau sesuatu terjadi pada bayiku.
    “Tentu, semuanya baik-baik saja,” Gerry berusaha menenangkanku, walau masih terlihat wajah cemas dan panik, sama dengan wajah Kee-an.
Tiba-tiba, akhirnya, aku mendengar tangisan bayiku yang lumayan keras. Jangan tanya bagaimana leganya aku mendengar itu. ‘Dia menangis. Dia hidup!’ Aku menangis lega.
Senyum lega tersungging dari bibir Gerry. Kee-an kembali padaku.
    “Dia sehat, Keav,” ucapnya dengan tersenyum lebar seraya menggenggam tanganku dan mengecup keningku. Mataku sudah basah dengan air mataku.

    “Kian,” Corrine memanggil Kee-an, dan segera ia menghampirinya. Ia melihat bayinya sudah bersih.
    “Kamu potong tali pusarnya,” dengan memberikan sebuah gunting pada Kee-an. Kee-an menerimanya dan siap menggunting.
    “Potong di mana?” dengan ragu dan takut.
    “Potong di sini,” sahut sang suster.
Kee-an masih terlihat ragu untuk memotongnya.
    “Jangan takut, tidak akan menyakitinya,” Corrine meyakinkan menantunya.
Dengan kalimat itu, Kee-an memotong tali pusar bayinya.
    “Pintar,” Corrine tersenyum lega.
Suster segera membungkus bayi itu dan menyerahkannya pada Kee-an. Kee-an sangat takjub menerimanya.

    “Dia tampan sekali, Keav!” seraya membawanya padaku. Dia menyerahkannya ke pelukanku.
Jantung dan perasaankuku terasa jungkir balik. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menggendong bayi merah, bayiku sendiri. Ya Tuhan! Rasanya …, Aku menangis terharu, bayiku!?
    “Kee…?” aku meliriknya dengan hampir tak percaya. “Ma?”
Kee-an mengangguk seraya tersenyum menahan tangisnya dan rasa bangga, begitu juga dengan Gerry, terlebih mama.
Emily menghampiriku dengan wajah tersenyum lega dan ikut bahagia, “Selamat, Keav, kalian berdua. Jangan khawatir dia sangat sehat. Anak yang baik.”
Aku dan Kee-an hanya bisa tersenyum bahagia dan masih belum mempercayainya.
    “Terima kasih, dok,” ucapku tulus, karena sudah membantu persalinanku.
Emily mengangguk dengan tersenyum.
Dengan hati-hati aku mencium kening bayiku untuk yang pertama kalinya, diikuti Kee-an.
    “Love you, Keav. Terima kasih banyak,” Kee-an mengecupku bibirku.
Mama hanya mengecup keningku, dia sudah speachless menerima cucu pertamanya.
    “Selamat, sis,” ucap Gerry seraya mengecup keningku.
Kami memandang lekat dia.
    “Tampan sekali dia, Kee.”
Kee-an mengangguk, “Ya, sangat tampan.”
    “Nama itu?” tanyaku memastikan pada Kee-an.
Kee-an mengangguk pasti.
Aku kembali memandangi bayi kecilku yang tampan ini, “Ciarán Kevin Phillipe Francis Egan, selamat datang di dunia, nak.”
Kee-an mengangguk dengan tersenyum. Itulah nama yang kami siapkan untuknya.
Ciarán, terdengar kuno memang, tapi sangat Irlandia. Aku menyukainya. Ciarán berarti orang yang kuat dan seorang pemimpin; Kevin dari nama ayah Kee-an; Phillipe dari nama papaku; Francis dari nama tengah Kee-an (Kian John Francis E.); dan tentu saja nama keluarga Kee-an, Egan.
     “Ma?” aku menolehnya masih dengan penuh haru. Dengan hati-hati Ciarán berpindah ke pelukan neneknya.
    “Cucu pertamaku, cucu lelakiku,” mama pun masih terlihat takjub. Ya, ini adalah cucu pertamanya. Dia memandang  Ciarán, “Biar nenek lihat wajahmu, Ci.”
    “Eh, itu nama panggilanku  (Ci=Ki, sama-sama dibaca K),” bisik Kee-an geli padaku.
Aku pun tersenyum geli mendengarnya.
    “Ini rekamannya, Ki. Ini adalah momen yang tidak akan gue lupakan. Kalian membuat gue melihat semuanya,” ucap Gerry pada Kian dengan tersenyum geli.
    “Pengalaman yang menakkjubkan, kan?” Kee-an tersenyum sungging. “Terima kasih”
Gerry mengangguk.
    “Ma, boleh aku gendong?” Gerry meminta pada mama untuk juga dapat menggendong Ciarán.
Dengan hati-hati, mama menyerahkan Ciarán pada Gerry.
    “Hello kawan kecil,” ucapnya pada Ciarán. “Ya, Tuhan, gue jadi paman sekarang,” ia tertawa sendiri, seperti yang tidak percaya.
    “Ya, Gerr, Paman Gerry,” aku memastikannya.
Seorang suster menghampiriku dan meminta kembali Ciarán untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya dan aku akan dipindahkan ke kamar biasa.
Gerry dan Kee-an teringat dengan orang-orang yang menunggu di luar, dan segera keluar untuk memberi-tahukan bayinya telah lahir dengan tanpa bisa menutupi rasa bahagianya.
    “Ma, aku berhasil,” aku berbinar masih tidak percaya.
Mama mengangguk dengan tersenyum, “Ya, sayang, kamu berhasil. Kami sangat bangga padamu, kamu beri kami cucu yang manis. Terima kasih.”
Aku tidak dapat berucap apa-apa selain memelukku erat.
Aku masih bisa mendengar pekik gembira dan bahagia Kee-an: ‘Gue jadi ayah sekarang!!’ di luar sana. Aku hanya tersenyum terharu mendengarnya. Jangan tanya bagaimana bahagianya aku. Aku sangat bahagia. Kami sangat bahagia.
Tapi mereka baru bisa menemuiku dan Ciarán setelah kami dipindahkan ke kamar biasa, bukan di kamar persalinan ini.

                Semuanya sangat gembira menyambut kelahiran Ciarán, terutama papaku. Akhirnya ia mendapatkan cucu pertamanya yang ternyata dariku. Hidup mereka semakin lengkap, dan aku sudah lebih membahagiakan orang tuaku. Tapi ada yang lebih membahagiakanku, yaitu: Kee-an menemaniku saat Ciarán lahir sesuai janjinya dan melihatnya lahir.

                25 February 2006, pukul 9:30 am, di Rumah Sakit Umum Sligo, putra pertama kami lahir, Ciarán Kevin Phillipe Francis Egan. Lahir dengan berat 3,5 kg, dan panjang 53 cm. Angelifes kelima.

Kami sebuah keluarga sekarang. Aku, Kee-an dan Ciarán. Hidup kami terlengkapi sudah. Ini adalah awal dari keluarga kami

No comments:

Post a Comment